Semester ganjil, 2012
Pindah saat semester awal tahun ketiga dimulai? Kenapa? Uang?
Lalu mereka mengamatiku dari atas turun ke bawah, tak mereka temukan apapun selain bau biasa-saja-tidak-mencolok yang selalu kuat menguar dari tubuhku. Makin penasaranlah mereka.
Apa-apaan anak baru ini?
"Nah, sekarang coba kamu perkenalkan diri."
"Selamat pagi semua!" Kataku seceria mungkin sambil tersenyum lalu membungkuk setelah wali kelas kami mempersilakan padaku memberi awalan di depan kelas pagi ini. Aku menyebutkan nama dan asalku. "Aku harap kita bisa berteman baik. Mohon bantuannya." Lagi-lagi aku tersenyum seraya pandanganku menyapu seluruh kelas.
Oh, aku menemukan beberapa wajah yang tak asing.
Pegawai paruh waktu di minimarket tadi malam, gadis pemberani yang blak-blakan, laluㅡ
"Duduk di bangku kosong di belakang itu ya, di sebelaㅡ"
"ㅡkucing?"
Sahutku memotong perkataan guru. Anak laki-laki di sana, dengan tatapan paling kosong yang pernah aku lihat seumur hidupku yang ia lemparkan keluar jendela, adalah anak laki-laki yang mengabaikanku ketika bertemu kucing tadi malam. Sekarang dia memandangku datar.
Sedikit aneh dan... menyebalkan.
"Oh, jadi kalian sudah saling kenal, baguslah."
Aku hanya nyengir canggung. Yah... kenal bagaimana ya? Diajak bicara saja dia enggan. Perlahan aku segera menuju bangku setelah dipersilahkan, dan acara perkenalan pagi itu pun berakhir. Ketika wali kelas kami keluar, suasana kembali gaduh.
Tapi tidak dengan aku dan seseorang di sampingku.
Sekarang dia justru bersiap tidur dengan meletakkan kepalanya di meja.
"Hai, akuㅡ" Dia melewatkan begitu saja tanganku yang terjulur, kembali fokus tidur. Kepalanya membelakangiku. Aku menghela napas.
Tahan... tahan... cuma satu tahun saja, bahkan tidak genap.
Apes sekali mendapatkan teman sebangku yang seperti ini. Aku sendiri sudah termasuk yang tidak mudah berteman dan cenderung tidak pedulian. Bagaimana caranya aku berbaur dengan anak ini, ya?
Karena bosan, aku edarkan pandangan ke seluruh ruangan yang ramai. Setelah menyapa-berkenalan-basa-basi dengan murid-murid di dekat mejakuㅡkecuali teman sebangkuku sendiri, aku menyiapkan buku untuk pelajaran hari ini. Tanpa sengaja, mataku bertumbuk pada tatapan seorang gadis yang duduk di meja paling depan dekat pintu.
Aku tersenyum, tepat ketika dia membuang muka ke depan. Oh, kebetulan yang cukup membuatku kepikiran.
Karena bosan, aku edarkan pandangan ke seluruh ruangan yang ramai. Setelah menyapa-berkenalan-basa-basi dengan murid-murid di dekat mejakuㅡkecuali teman sebangkuku sendiri, aku menyiapkan buku untuk pelajaran hari ini. Tanpa sengaja, mataku bertumbuk pada tatapan seorang gadis yang duduk di meja paling depan dekat pintu.
Aku tersenyum, tepat ketika dia membuang muka ke depan. Oh, kebetulan yang cukup membuatku kepikiran.
Tenang, aku dan dia belum pernah bertemu, dan tidak pernah punya masalah sebelumnya. Jadi, tidak ada alasan untuknya membuang muka seperti itu. Sekalipun ada, itu bukan karena aku.
Tak lama pintu terbuka, kemudian guru pelajaran pertama hari ini masuk. Gadis di dekat pintu itu berdiri, dan memimpin memberi salam.
---
Saat pelajaran, aku sama sekali tidak bisa fokus. Menguap, menggaruk, mencorat-coret, memegangi perutku agar suara keroncongannya tidak terlalu terdengar.
Urgh... apakah aku gugup karena hari pertamaku di sekolah ini?
Tidak juga, seingatku aku selalu begini. Apalagi saat pelajaran matematika, dan kebetulan yang sangat bagus karena saat ini mata pelajaran yang sedang kami bahas adalah matematika.
Berbeda denganku, si kucing masih nyaman meletakkan meja di kepalanya. Tidak bergerak, tidak bersuara sama sekali. Aku sedikit menegakkan duduk ketika guru sudah berhenti menulis di papan tulis dan berbalik. "Kalau ada yang bisa maju menyelesaikan soal ini dengan benar dan tepat, kita istirahat lebih awal."
Aku membulatkan mata. Oh, tolong siapa saja berdiri dan majulah.
TIba-tiba pegawai paruh waktu minimarket yang duduk berseberangan dengan si kucing berdiri dan mengacungkan tangan. Kami menatapnya dengan penuh harap. Guru matematika itu juga sepertinya senang waktu mengajarnya bisa selesai lebih cepat.
"Younghyun! Wah bapak tidak menyangkaㅡ"
"Saya izin ke toilet, pak!" Katanya cepat lalu bergegas jalan lurus menuju pintu belakang. Seisi kelas mulai mengumpat pelan-pelan. Aku bengong.
APA-APAANㅡ?!?
"Hmm... yah, memang aku yang salah. Berharap apa aku padanya." Rutuk guruku pelan tapi masih terdengar sampai penjuru kelas. Aku mengamininya.
"Kudengar murid pindahan itu kelasnya di sini ya? Bagaimana kalau kamu saja? Kamu..."
SIAL.
Guru itu mencari-cari, sampai akhirnya menemukanku yang sedang mengangkat tangan pelan-pelan.
"Nah! Coba perlihatkan seberapa baik kemampuanmu!"
Tak ada pilihan lain, aku harus maju. Teman-teman sekelas mengiringi dengan tatapan penuh harap. Beberapa malah menghujaniku dengan tatapan jangan-mengacaukan-ini-atau-kucegat-kamu-pulang-sekolah. Semakin dekat aku dengan papan tulis, semakin sumringah senyuman guru. Aku menelan ludah, menerima kapur, dan menatap papan tulis dengan nanar.
Rasanya aku ingin menangis.
Jangan lupakan kalau aku mendadak mual.
Beberapa detik aku hanya diam berdiri memandangi papan tulis. Perlahan senyum di wajah guruku luntur. "Sepertinya kamu masih butuh menyesuaikan diri, ya? Hahaha! Karena ini hari pertamamu... haha... ha..."
Aku bisa melihat rona wajah guru itu berubah menjadi suram. Iya, karena dia mendapat salah satu murid tidak berguna lainnya yang harus ia gembleng agar bisa lulus tahun ini. Aku kembali ke bangkuku dengan malu setelah dipersilakan.
Melihat teman sebangkuku yang masih sama posenya sedari tadi membuatku semakin kesal.
Ini bukan awal yang baik.
"Kalian tidak ada yang mau maju mengerjakan? Bagaimana sih! Kalian sudah kelas tiga! Ujian sebentar lagi! Bagaimana mau lulus kalauㅡ!"
Bla-bla-bla.
Aku menghela napas. Lebih baik waktu ceramah itu digunakan untuk mengajari kami, para bebal yang tidak mengerti limit-limit tidak jelas itu Pak, daripada buang-buang waktu. Bahkan waktu istirahat juga sudah mau dekat. Sama saja, tidak jadi selesai cepat.
"Ya sudah, daripada tidak ada yang mau maju, ace kelas ini saja!"
Aku mengedarkan pandang. Ace? Yang mana ya kira-kira?
"Yoon Dowoon!"
Segera setelah sebuah nama terpanggil, aku merasa ada pergerakan dari bangku yang serasa kuburan di sampingku. Aku membulatkan mata.
Dia?? yang kerjaannya hanya tidur terus??
Hahaha... mana mungkin. Aku tahu Tuhan Maha Adil.
Tapi ketika dia berjalan, tatapan teman sekelasku sudah berbeda. Bukan tatapan was-was dan penuh harap, apalagi tatapan mengancam sialan itu. Tatapan mereka adalah sebuah kelegaan, membayangkan jam istirahat di depan mata. Aku memicingkan mata.
Haha? Tidak mungkin, kan? As if it is!
Mataku membulat makin lebar ketika Dowoon kembali ke bangkunya, diiringi senyuman lega guru dan bel istirahat. Kelas kembali ramai, dan aku masih memandang anak laki-laki yang duduk di sebelahku dengan tatapan tidak percaya.
"Kamu?? Bagaimana...??"
Dia memberikan senyuman kecil, dengan matanya yang masih datar. Kalau tatapannya bisa bicara, kira-kira begini :
'Apa kamu bocah tengil? Belum pernah lihat yang seperti ini ya? Tutup mulutmu yang menganga, kasihan nanti lalat bosan kalau terperangkap di kepala kosong milikmu itu.'
Rasanya ingin kutinju wajahnya.
Apalagi setelah dia kembali tidur dibangkunya.
TIDUR LAGI?! ASTAGA. APA DIA KURANG GIZI??
Melihat Dowoon meletakkan kepalanya di meja dengan lengan yang melingkarinya, membuatku mau tak mau membuang napas panjang. Orang ini...
APAKAH SEBEGITU TIDAK INGINNYA DIA BERBICARA DENGANKU?? SEBENARNYA APA SALAHKU??
Aku menggelengkan kepala, mengusir pikiran yang tidak-tidak. Oiya, aku baru ingat perutku keroncongan. Tapi sialnya, bangku orang-orang yang tadi aku ajak berkenalan sudah kosong, dan satu-satunya orang yang terdekat denganku adalah si tukang tidur ini. Mau tak mau aku harus bertanya pada orang ini dimana letak kantinnya. Siapa tadi namanya?
Dongwoon?
Daun?
Ah,
"Dowoon..." Aku menusuk-nusuk lengannya menggunakan pulpen. Tidak ada reaksi.
"Yoon Dowoon." Aku menusuknya lebih cepat dan keras. Akhirnya dia mengangkat kepalanya, dan menatapku seperti...
APAKAH DIA MENATAPKU SEPERTI INGIN MEMBUNUHKU?! WHOA BOCAH SIALAN INI DI HARI PERTAMA SUDAH MENGUSIK SARAF EMOSIKU YHA HM BAIKNYA AKU HARUS BAGAIMANㅡ
Baiknya, aku harus sabar, dan bertanya dimana letak kantin kalau aku tidak mau mati kelaparan.
"Itu... kantin..."
"Apa kamu ini anak kecil, hah?" Jawabnya ketus. Aku melotot.
WHOA BENAR-BENAR YHA HAHA APA AKU HARUSㅡ
Apa aku harus bertanya lebih halus? "Hm... Tapi kan, sekolahnya besar...? Boleh minta petunjuk aku harus belok ke mana?
Tidak ada jawaban. Urgh! Sebelum emosiku meledak sepertinya aku sudah harus tidak ada di tempat ini. Aku menghentakkan kaki, dan menghempaskan kursiku begitu saja, meninggalkannya. Kalau aku terlambat sedikit saja, mungkin aku akan duduk sendirian karena dialah yang akan kumakan.
HAH! MEMANG HANYA KAMU SAJA MURID DI SEKOLAH INI?! KALAU AKU MAU AKU JUGA BISA TANYA PADA YANG LAINNYA!!
Sepanjang koridor tak bisa kupungkiri kalau aku merutuki teman sebangku yang tidak biasa-biasa saja itu. Apakah salah kalau aku meminta teman sebangku yang biasa-biasa sajaa??
BRUK.
Seseorang menyenggol bahuku dari belakang, diikuti banyak orang lainnya. Aku menatap ke arah si pelaku utama yang sudah duluan berjalan cepat melarikan diri, disusul oleh rombongan gadis-gadis yang mengikutinya.
"BAH! Yoon Dowoon??" Aku berkacak pinggang, tanpa sadar namanya terlontar begitu saja dari mulutku. Tak habis pikir.
WHOAH!! BENAR-BENAR! AKU DAN SEORANG YOON DOWOON MEMANG BUKAN PADUAN YANG PAS!!
"Sudah, biarkan saja, dia memang seperti itu, tapi dia baik, kok." Tiba-tiba bahuku ditepuk dari belakang. Aku menoleh. Murid laki-laki dan teman sebangkunya yang duduk dua meja di depanku. Dia tersenyum, lalu mengangsurkan tangan. "Aku Wonpil." Katanya ramah. Mau tak mau aku tersenyum sambil membalas perkenalannya.
"Kalau yang ini Sungjin." Aku menoleh ke murid laki-laki yang ada di sampingnya. Dia tersenyum sambil mengajak Hi-Five. Oh, Tuhan... apakah Engkau mengirimkan malaikat turun ke bumi?
Karena aku melihat cahaya surga pada dirinya sekarang~
*CRINGEEE*
Aku menyadarkan diri, dan membalas sapaannya.
"Mau ke kantin, kan? Kami juga." Kata Wonpil.
Aku bersyukur aku mengenal Wonpil saat ini, karena monster di perutku sudah hampir berontak. Akhirnya kami bertiga berjalan bersisian menuju ke kantin. Dengan Sungjin di pojok kiri, Wonpil di tengah, dan aku di kanan.
Wonpil, apakah aku boleh bertukar tempat?
"Bagaimana rasanya sebangku dengan Dowoon?" Tanya Wonpil membuka percakapan. Aku hanya terkekeh kecil.
Belum ada satu hari tapi aku sudah ingin mengata-ngatainya.
"Dowoon memang begitu anaknya, tidak terlalu terbuka dengan orang baru." Sungjin menambahi. Tidak terlalu katanya? Kalau menurutku sih itu sudah keterlaluan.
"Oiya, jangan kaget ya, bangkumu akan selalu ramai." Kata Wonpil lagi, sambil dibalas tawa kecil dari Sungjin. Aku mengernyitkan dahi.
"Yah... seperti yang kamu lihat tadi, dia cukup populer." Sungjin menjelaskan. "Jadi kamu bakal ikut kecipratan kuah perhatian juga."
"Jadi maksudmu... aku harus berhadapan dengan gerombolan itu tadi... setiap istirahat?"
Sungjin mengangguk. "Setiap pagi, setiap istirahat, pulang sekolah, jam kosong, setiap saat."
"Literally, setiap ada kesempatan, gerombolan fans itu tidak akan meninggalkan Dowoon." Wonpil meyakinkanku.
Aku menelan ludah. Entah itu si daun, entah itu siapa, memang apa sih hebatnya dia? Selain itu, memangnya ini masih era mengidolakan seseorang sampai fanatik seperti itu?
Apakah dia seorang trainee? Sebentar lagi debut? Atau dia suka membagi-bagikan uang? Atau contekan? Atau...?
Tapi kalau dipikir-pikir, kasihan juga si daun itu. Hidupnya seperti tidak tenang, selalu ramai kemana-mana. Apa dia semacam tokoh populer yang ada di komik-komik atau drama-rama romance?
Lagipula, walaupun penggemar, apa untungnya sih ngendon di sekeliling Dowoon yang kelihatannya peduli saja tidak? Lihat saja, rombongan itu pecah ketika Dowoon dengan sengaja memasuki toilet laki-laki, dan mereka diusir oleh murid lainnya. Jelas, sepertinya Dowoon juga tidak senang dengan kehadiran orang-orang yang menyebut diri mereka fans Dowoon.
Tiba-tiba, seseorang menyeruak diantara aku dan Wonpil. "Ck, apa kalian harus berjalan berdampingan bertiga?! Mengganggu, tahu! Koridor ini milik umum!"
Suara galak itu dari pegawai paruh wakㅡmaksudku Younghyun. Sekarang dia memandangi kami bertiga dengan mata rubahnya yang tajam.
"Hei... hei... santai sajalah!" Wonpil mengalungkan tangannya di leher Younghyun, lalu menyeretnya menuju kantin. Tidak mempedulikan Younghyun yang meronta-ronta minta dilepas. Suasana lumayan damai sepeninggal dua orang yang badannya terlihat kontras itu.
Sekarang hanya sisa aku dan Sungjin. Tanpa sengaja aku menangkap tatapan sendu milik Sungjin ketika dia melihat Younghyun.
Tapi sejurus kemudian, Sungjin tersenyum. "Ayo," katanya, menggoyangkan kepala memberi tanda untuk mengikutinya. Melihat senyumnya, apalagi dengan dia berjalan bersisian denganku seperti sekarang membuat hatiku berdetak lebih cepat.
Apa ini yang namanya suka?
Aku tersenyum-senyum sendiri. Tapi tunggu...
-------------------------------
klik ini untuk ke daftar isi.
klik ini untuk ke part selanjutnya.
klik ini untuk ke daftar isi.
klik ini untuk ke part selanjutnya.
klik ini untuk ke part sebelumnya.
-------------------------------
-------------------------------
Comments
Post a Comment