Ada tugas?
Aku mau melangkah lebih dekat dengan bangkuku, tapi sepertinya lebih baik aku bertanya pada Wonpil saja mengingat betapa tidak bergunanya aku memiliki teman sebangku.
"Wonpil, hari ini ada tugas?" Meja Wonpil juga sama saja. Ramai. Tapi bedanya kalau yang di belakang sana ramai tidak penting, kalau disini ramai mengerjakan tugas.
Wonpil mendongak dari buku yang ia kerjakan. "Iya, tapi sepertinya kamu aman karena ini masih pertemuan pertamamu dengan guru itu." Katanya sambil tersenyum, kemudian kembali pada pekerjaannya.
Aku melirik Sungjin yang duduk di samping Wonpil, kemudian tanpa aku sadari aku tersenyumㅡyang segera aku hentikan, bisa dianggap gila aku. Sungjin dengan serius juga mengerjakannya. Sesekali bertanya pada Wonpil bagian yang tidak ia mengerti. Entah kenapa aku suka melihatnya. Hehe.
Karena aku tidak mau mengganggu mereka, aku kembali ke bangkuku. Justru sekarang aku yang sangat merasa terganggu.
Jangankan duduk, mendekat saja aku tidak bisa. Kursiku sudah dipakai dua orang. Mejaku dipakai bersandar oleh sisanya –bahkan ada yang duduk di atasnya.
Aku menghela napas, sebelum mencoba meminta Kembali hak ku. "Permisiㅡ"
"PERGI SANA! APA URUSANMU?!"
Aku melongo.
Hah?
"Tapi itu bangkuku!"
Sesaat suasana kelas hening. Beberapa murid yang sedang mengerjakan tugas melongok keadaan kami.
"WHOAH JADI DIA ORANGNYA!!"
"JANGAN HARAP KAMU BISA MENDEKATI KAK DOWOON YA!"
"JANGAN CARI-CARI KESEMPATAN!"
Tiba-tiba pusat mereka beralih padaku. Aku hanya memandang mereka satu-persatu dengan pandangan panik.
KENAPA JADI AKU?!?
"HEH! BERISIK SEKALI SIH!! PULANG SANA!! MENGGANGGU TAHU!!" Seru Younghyun sambil menendang mejanya sendiri, membuat suara gaduh. Gadis-gadis itu memaki pada Younghyun, yang dibalas tawa tidak percaya laki-laki itu.
"Pergi, atau kupanggil guru kelas kami! Biar dicatat nama-nama kalian itu! Dasar kurang kerjaan!" Serunya lagi. Gadis-gadis itu membalas dengan berteriak random, lalu kembali fokus pada pangeran mereka.
Aku menghela napas, tiba-tiba kepalaku pening.
Aku berjalan menuju bangku di sebelah Younghyun yang juga kosong. Benar juga ya? Kenapa aku memilih sebangku dengan pangeran kesiangan tidak jelas itu? Kenapa aku tidak memilih duduk di samping pegawai paruh waktu yang terlihat lebih 'aman' daripada dengan anak yang langsung menghindar di hari pertama bertemu?
Tapi aku segera merasakan kalau Younghyun ini juga luar biasa ketika aku menarik kursi disebelahnya.
"Kamu mau mati ya?" Tanyanya pendek dan pelan, dengan tatapannya seakan mau membunuhku.
APA SEMUA ORANG DI KELAS INI DILATIH UNTUK MENATAP ORANG SEPERTI ITU??
"Kamu lihat sendiri bangkuku diinvasi, ini untuk sementara waktu saja." Jawabku lelah, lalu melesakkan pantatku asal di kursi samping jendela, kemudian melempar tatapanku keluar agar tidak bertemu pandang dengan Younghyun yang masih belum berhenti menjadi psikopat.
Perlahan tapi pasti, meskipun aku juga sebenarnya tidak mau, aku meratapi nasib yang membuatku terlempar sampai ke sini.
Seandainya saja kecelakaan itu tidak terjadi, aku tidak akan terdampar dan merasa terasingkan di kelas menyebalkan ini. Aku bisa saja masih berada di sekolah lamaku, berada di kelas yang cukup menyenangkan, memiliki teman sebangku yang baik dan kocak, dikelilingi teman-teman yang kumiliki sejak aku masih kecil, dan lulus bersama mereka.
Tapi sekarang, aku malah masuk ke sekolah asing yang katanya sekolah orang-orang penting tapi attitude murid-muridnya tak kalah bersaing dengan preman atau mafia. Bahkan, orang-orang dewasa di sini sempat ribut mau dimasukkan ke kelas mana aku ketika pertama kali aku ke kota ini.
Betul. Sekelompok orang dewasa, yang otak dan mentalnya sudah berkembang dengan sempurnya, bertengkar di hadapan seorang remaja bloon bau kencur tidak tahu apa-apa.
Aku menghela napas. Tanpa sadar air mata menggenang di pelupuk. Aku mengusir pikiranku jauh-jauh. Aku tidak boleh menangis, aku sudah berjanji tidak akan menangis.
Aku mengedarkan tatapanku ke penjuru kelas untuk mengalihkan perhatian.
Nayeon duduk di depan sana, sudah selesai mengerjakan tugas entah kemarin kapan dan terlihat berbincang kecil dengan teman sebangkunya yang baru saja datang dan panik. Wonpil dan Sungjin juga sama, makin panik karena sebentar lagi bel masuk. Si daun juga, tentu dengan lalat-lalat yang melengkapinya. Aku menghela napas. Kalau orang sebangkuku doyan tidur, orang yang duduk di sebelahku sekarang tidak bisa lepas dari ponselnya.
Kemudian aku lanjutkan ke depan, di lajur yang sama dengan kursi yang aku duduki ini. Beberapa bangku di sana, aku melihat gadis pemberani itu, sedang bercanda dengan teman sebangkunya yang mirip animasi chicken little. Oiya... aku belum tahu namanya.
"Younghyun, murid perempuan itu siapa namanya?"
Younghyun mengangkat kepalanya, mengikuti telunjukku. "Jieun." Jawabnya pendek, lalu kembali fokus dengan ponselnya.
Aku bersyukur dia masih mau menjawab pertanyaanku, membuatku tidak terlalu menyedihkan seperti ketika berada di samping daun yang selalu mengganggapku tidak pantas untuk diajak bicara.
"Cantik..." kataku, jujur. Memang benar kok, aku sungguhan. Melihatnya tertawa karena lelucon si ayam, lalu mengingat bagaimana dia membela Younghyun saat dituduh. Bisa dibilang, aku kagum padanya. Parasnya cantiik, kepribadiannya menarik. Kurang apa lagi coba?
Merasa ditatap aneh, aku membalas tatapan Younghyun.
"Apa?" Tanyaku malas.
"Kamu suka perempuan?"
Tiba-tiba aku ingin mengadukan kepalanya dengan meja kayu yang terlihat cukup keras.
Tidak mungkin kan aku berteriak bilang...
'AKU SUKANYA SUNGJIN!!'
Setelah wali kelas kami datang, keadaan bangku kembali sepi. Younghyun sudah menendang-nendang kaki kursi yang kududuki sejak tadi. Mengusir. Tapi ternyata, meskipun lalat-lalat itu sudah pergi, bekas-bekas mereka masih mengotori bangku.
Bungkus cokelat, hadiah, surat, semuanya berhamburan –yang aku sangat yakin ini bukan punyaku. Dulunya mungkin meja ini jadi gudang penyimpanan Dowoon, tapi sekarang kan, sudah ada yang menempati!
Aku melirik Dowoon kesal, yang dilirik tidak peduli.
"Hei, iniㅡ"
"Buang saja." Katanya pendek. Aku mendelik.
Ya aku tahu lalat-lalat itu memang mengesalkan, tapi bukan berarti Dowoon bisa bertingkah menyebalkan seperti ini bukan?
"Jahat sekali! Ini kan hadiah dari mereka, masa mau dibuang begitu saㅡ"
"Kalau begitu buatmu saja."
"HEH."
"Apa sih?? Dibuang tidak boleh, kuberikan juga tidak mau. Lalu aku harus apa??" Kata Dowoon malas.
Aku mendecak sebal. Maksudku paling tidak dia bisa menghargai pemberian fansnya. Aku ingin memarahinya, tapi mengingat guru yang masih bicara di depan, sepertinya bisik-bisik menjadi opsi aman.
"Apa? Bukan aku juga yang meminta mereka melakukan ini, kenapa aku harus menghargainya?" Sahut Dowoon tepat saat aku akan membuka mulut.
Aku melotot. Apa dia membaca pikiranku?
"Tetap saja, mereka tulus memberikanmu hadiah macam-macam. Kalau tidak mau, ya, bilang dari awal! Biar mereka tidak keterusan." Kataku berusaha mempertahankan argumen.
"Kamu pikir aku tidak melakukannya?" Dowoon mendengus.
Aku diam. Benar juga. Maniak seperti mereka –fans-fans itu, biasanya berubah menjadi bebal. Apapun yang dikatakan idolanya, entah mereka jadikan agama atau malah justru diabaikan begitu saja. Asal keinginan terpenuhi, mereka senang.
Dalam kasus Dowoon, lalat-lalat itu adalah keterangan yang terakhir.
"Paling tidak baca surat-surat ini, daripada tidur melulu." Kataku sambil memilah-milah barang yang berserakan di mejaku, lalu memberikan beberapa lembar kertas yang bertuliskan... semuanya hampir sama : 'Untuk kak Dowoon', 'Kak Dowoon', 'Sayangku', dan semacam-macam itu. Ada tujuh jumlahnya.
Dowoon bersungut-sungut, merapikan surat-surat yang secara paksa kujejalkan ke area meja miliknya.
"Ini cokelatㅡ"
"Aku tidak suka makanan manis." Katanya cepat ketika aku menyerahkan beberapa cokelat dan kue serta permen.
"Terus ini bagaimana?"
"Aku tidak mau tahu."
"HEㅡish!" Aku menatapnya sebal. Dia benar-benar tidak mau peduli. "Ya terserah mau kamu apakan, yang penting ini milikmu, jangan buat mejaku berantakan!"
Ya iya lah? Dari awal bahkan aku tidak ada sangkut pautnya. Hanya karena aku duduk di sebelahnya saja aku jadi ikut terlibat.
Dengan malas Dowoon menerima semua makanan yang aku geser ke mejanya. Kemudian, dia menggeserkan kembali ke mejaku. "Nih, sudah aku pegang kan? Awalnya ini punyaku, tapi sekarang aku berikan buat kamu!"
Aku mengatupkan mulutku kuat-kuat, gigiku sampai bergemeretak saking gemasnya. Tanpa sadar aku memukul belakang kepalanya. Tentu saja dia melotot dan menatapku lagi-lagi seperti ingin membunuhku.
"Kenapa kamu berikan lagi padaku?!" bisikku kesal.
"Tadi katanya terserah mau kuapakan?!"
"Ya tapiㅡ!" Aku menarik napas. Tidak ada gunanya berdebat. "Berikan pada Younghyun sana! Dia pasti mau!"
Kataku menggeserkan semua makanan itu kembali ke mejanya. Dia mendesah sebal, kemudian meletakkan asalㅡkarena kesal. Separuh di meja Younghyun, yang tentu saja disambut tatapan sumringah dari pegawai paruh waktu itu,
kemudian separuhnyan ia geser lagi ke mejaku. Aku mendelik.
"HEH, Yoon Doㅡ!"
"Tuh, sudah kan! Jangan berisik lagi!" Katanya lalu meletakkan kepalanya di meja. Baru setengah jalan badannya sudah tegak lagi, menghadap kearahku. Aku menahan napas karena terkejut.
"DAN JANGAN PUKUL AKU LAGI." Katanya tajam, lalu kembali pada posisi favoritnya.
Dowoon sudah berubah jadi tembok lagi. Mau tidak mau, aku masukkan semua itu ke laci agar mejaku rapi. Kemudian aku mengeluarkan buku untuk pelajaran selanjutnya. Guru kelas kami sudah keluar beberapa saat tadiㅡketika aku dan Dowoon ribut tidak jelas. Sekarang kelas kembali gaduh.
Diantara kegaduhan itu, aku baru saja menyambut damai. Lagi-lagi, aku seperti orang asing yang tidak tahu apa-apa di sini.
Sampai kapan sih mereka mau ada disini?
"Itu dia orangnya!" Seseorang berseru. Seketika banyak kepala mengarah padaku. Aku cuma berdiri diam, mencium sesuatu yang tidak baik.
"Hei! Kamu!" Salah seorang mengacungkan jari telunjuk.
"Aku?" Bingung, aku menunjuk diriku sendiri. Apa urusannya aku sama mereka?
"HA! Memang aku terlihat bicara pada orang lain?" Serunya masih tidak santai.
Aku menelan ludah. Meskipun dia adik kelas, garang juga. Apalagi dia punya pasukan di belakangnya.
"Kenapa hadiah-hadiah kami bisa ada di lacimu?!" Salah seorang lainnya mendekat, membuatku mundur beberapa langkah. Bukan apa-apa, hanya saja aku tidak terlalu suka dekat dengan orang yang membuatku terancam.
"Oh... itu–"
"Kamu merebutnya dari Kak Dowoon ya?!"
"Hah?" Aku membulatkan mata. Enak saja!
"Iya kan?!"
"Tidak! Apa kalian tidak tahu kalau Dowoon tidak suka diberi hadiah!"
"HAH! SEKARANG KAMU BERLAGAK TAHU SEGALANYA TENTANG DIA!" Anak itu merangsek maju, kemudian menarik kerah seragamku.
"Ah!" aku memekik.
"MEMANGNYA KAMU SIAPA?!" Sambung si kucir satu lagi.
"Aduh lepaskan!" Aku memandang ke penjuru kelas yang aku yakin sudah hampir penuh terisi tapi tidak ada yang peduli apa yang sedang terjadi. Bahkan beberapa hanya melengos dengan tatapan kosong. Mungkin ini kejadian biasa disini?
"DENGAR!" Aku mengacungkan telunjuk di depan wajahnya. "Aku tidak mengambil hadiah kalian, aku juga tidak peduli kalian mau suka dengan Dowoon atau apa, silahkan. TAPI JANGAN GANGGU AKU! ANGGAP SAJA AKU TIDAK ADA!" Teriakku frustasi.
Aku kembali berjalan menuju bangku, tapi lagi-lagi tanganku dicegat oleh anak itu. "AKU BELUM SELESAI!"
"Apa lagi sih?!" Aku memandanginya kesal.
Apa-apaan sih? mencari masalah! Drama sekali caranya! Dan kenapa aku juga jadi ikut-ikutan dalam drama bodoh ini?
Tiba-tiba cengkeraman tangan itu terlepas begitu saja. Mata lalat-lalat itu sekarang terpaku pada satu titik. Aku mengikuti arah kepala mereka.
Yoon Dowoon.
Tanpa berkata apa-apa dia berjalan melewati kami dan duduk di bangkunya. Lalat-lalat itu tiba-tiba mundur dan berhamburan keluar kelas.
"WHOA WHOA!"
Itu suara Younghyun, yang dengan berlebihannya seolah-olah tertabrak. Dibelakangnya ada Jieun dan chicken little mengikuti.
"Sepertinya habis ada perang." Kata Younghyun sambil mengacak rambut Dowoon ketika melewati kami menuju bangkunya. Jieun hanya menatapku sebentar, seolah memastikan apa ada luka di wajahku. Aku mengusap sudut bibirku, takut ada makanan yang masih membekas. Kemudian Jieun kembali ke bangkunya disusul chicken little.
Aku menghela napas, kemudian menuju bangku. Tiba-tiba aku merasa lelah.
"Hei..." Dowoon bersuara. Aku menoleh kearahnya, dia menatap ke depan.
Apa dia menanyaiku? Atau sekedar bersuara saja?
"...Mereka mengganggumu?" Kali ini Dowoon mengatakannya sambil melihat ke arahku. Aku sedikit terkejut, karena baru kali ini kami berbicara sambil menatap wajah satu sama lain. Aku mengangguk.
"Fans mu sedikit bar-bar ya? Haha..." Kataku sambil bercanda. Dowoon diam saja. Aku juga. Di saat seperti ini aku mulai terpikir untuk pindah tempat duduk. Lebih baik aku duduk sendirian saja, toh, masih ada dua pasang bangku kosong di sebelah kananku.
Kepalaku mulai mengamati empat meja kosong yang sudah jadi tempat menyimpan kertas-kertas asturo dan balon-balon yang belum ditiup –mungkin sisa menghias kelas untuk festival ulang tahun sekolah.
Tapi aku dikagetkan dengan tingkah Dowoon yang membuatku harus memajukan kursiku ke depan kalau tidak mau ditubruk. Sepertinya dia terburu-buru sampai tidak sadar kalau masih banyak ruang. Dia meremat surat-suratnya sebelum pergi dari situ.
Aku melongo.
Mau apa dia?
"Haha, sepertinya akan ada cerita baru buat Dowoon." Kata Younghyun yang tiba-tiba sudah duduk di bangku Dowoon. "Biasanya dia terlihat bosan, mengantuk, dan... ya itu, bosan!"
"Hah?"
"Atau tidak?" Younghyun hanya tersenyum geli, kemudian tertawa kecil. "Yah... maksudku, lucu melihat Dowoon yang seperti ini. Tadi pagi juga, baru kali ini dia melemparkan makanan begitu saja ke arahku, aku jadi keenakan." Kata Younghyun membuka permen yang dia ambil dari sakunya.
"Yang seperti ini harus di manfaatkan!" Katanya lalu menepuk kepalaku sambil tersenyum jenaka, kemudian kembali ke bangkunya.
"Bicara apa sih kamu?!" Kataku ke arah Younghyun, tapi tiba-tiba Dowoon sudah duduk lagi di bangkunya, menghalangiku bertemu pandang dengan Younghyun. "Kamu darimana?"
"Aku bicara sedikit sama mereka, daripada bikin masalah saja..."
"Hah? Apa?"
"Aku bilang ke mereka jangan ganggu lagi, merepotkan." Katanya lalu menyiapkan buku karena guru pelajaran selanjutnya sudah masuk kelas.
Selama pelajaran, kami diam. Aku masih melirik-lirik ke samping kanan, mencari cara untuk membereskan meja-meja tidak berpenghuni itu.
"Tidak ada tempat, sudah duduk saja di sini." Kata Dowoon pelan. "Nanti pasti menimbulkan pertanyaan. Aku repot, kamu repot. Tetap seperti ini saja."
Aku hanya mengangguk. Dowoon mengamatiku sebentar, kemudian tersenyum.
klik ini untuk ke daftar isi.
klik ini untuk ke part selanjutnya.
-------------------------------
Comments
Post a Comment