Secret

Renjun mengamati gadis di depannya yang sepertinya seumuran. Tangannya masih menggantung di hadapan Renjun. Renjun sendiri masih enggan untuk membalas sapaannya.

"Kenapa? Kamu nggak suka temenan sama aku?" tanya gadis itu. Renjun menggeleng cepat, segera ia sambut tangan gadis itu.

"Aku Seorim, kamu siapa? kelas berapa?"

"Aku Renjun, kelas 4."

"Wah... sama kayak aku!" Seorim tersenyum. Renjun hanya menatap dalam diam.

Dan itulah pertama kali Renjun mengenal Seorim. Seorang gadis riang yang selalu mengenalkannya pada semua temannya. Renjun baru pindah ke daerah situ kemarin, tapi Seorim sudah membawanya keliling kompleks rumah mereka naik sepeda. Seorim menunjukkan tempat bermain favoritnya, minimarket favoritnya, penjual es krim favoritnya, dan tempat persembunyian favoritnya. Awalnya Renjun takut ia tidak punya teman ditempat barunya. Tapi karena ada Seorim, bisa dibilang rasa takut itu hilang.

Renjun sangat berterima kasih pada Seorim.

Awalnya Renjun agak sedikit kesal karena Seorim yang berisik dan tidak bisa diam selalu mengikutinya -ralat, menyeretnya kemana-mana. Gadis itu sangat bertolak belakang dengan dirinya. Renjun lebih memilih diam jika tidak ada yang harus dikatakan, dan lebih sering terlihat menyendiri dibanding bermain dengan teman-temannya.

"Sombong sekali."

Begitu pemikiran beberapa anak di sekolahnya. Renjun tidak peduli sebenarnya, tapi Seorim sangat marah ketika ada beberapa anak yang menyebutnya begitu. Kejadian itu berulang sampai mereka lulus SD karena SMP dan SMA mereka berbeda. Berkat lama bergaul dengan Seorim, Renjun dapat sedikit terbuka dengan teman-temannya sehingga Seorim tidak perlu datang ke sekolahnya hanya untuk memarahi anak-anak nakal.

Meskipun beda sekolah, Seorim masih senang bertemu Renjun dan Renjun sendiri sering datang ke rumah Seorim sekedar untuk bermain, membaca bersama, atau belajar. Seperti hari ini, Renjun sedang mengerjakan tugas sekaligus belajar dengan Seorim dan beberapa teman dari SMP nya.

"Hei, ulang tahunmu sebentar lagi, kan?" celetuk salah seorang teman Seorim.

"Oh, iya benar! Jangan lupa kadonya yah!" Seru Seorim yang langsung di hadiahi 'huu' oleh teman-temannya.

"Mana ada orang yang ulang tahun minta hadiah terang-terangan!" Seru temannya yang lain.

"Ya betul, dong! Bukannya malah aneh kalau aku yang memberi kalian hadiah waktu aku ulang tahun?" Sahut Seorim tak mau kalah. Teman-temannya hanya mengangguk, malas berdebat dengan Seorim karena serius atau tidak, Seorim selalu menang.

"Kamu juga, Jun, masa tetangga sendiri nggak pernah ngasih hadiah?" Seorim menatap mata Renjun yang balas menatapnya lurus. Renjun hanya mengangkat bahu. Benar juga ya, ia sering menghadiri pesta ulang tahun Seorim tapi ia tidak pernah memberinya hadiah -ibunyalah yang keesokan harinya mengantarkan makanan favorit Seorim dan bingkisan sederhana.

"Tapi biasanya ibu-"

"Yang dari kamu, bukan dari Tante Hwang!"

Renjun terdiam setelah disahut oleh Seorim. Iya juga ya...

Maka saat ulang tahun Seorim, Renjun memberinya hadiah. Sebuah gambar buatannya sendiri dengan pigura simpel dari kertas karton yang juga buatannya sendiri. Renjun suka menggambar, sehingga bisa dibilang goresan miliknya tidak jauh dari kata 'sempurna'. Gambar yang ia berikan pada Seorim ialah seorang gadis muda dengan baju kesayangannya berwarna biru, dan terlihat bahagia. Seorim sangat senang. Gambar itu merepresentasikan dirinya.

Renjun juga senang, melihat Seorim tersenyum.

Sejak saat itu, Renjun selalu memberinya hadiah gambar di saat-saat terpenting Seorim. Gambar itu bermacam-macam. Ada pose jelek Seorim, gambar sketsa Seorim ketika ia masih bayi -fotonya Renjun temukan di kolong sofa ruang duduk Seorim. Gambar ketika Seorim sedang bersama teman-temannya, bersama Renjun, dan banyak lagi. Gambar-gambar itu menjadi koleksi tersendiri untuk Seorim.

Renjun bersyukur melihat Seorim bahagia.

Tapi sepertinya kali ini Renjun sedikit kesal pada Seorim. Saat ini mereka sudah SMA. Renjun masuk ke SMA khusus putra di daerahnya, sedangkan Seorim masuk ke SMA negeri. Ketika hendak masuk ke rumah, Renjun melihat Seorim pulang bersama seseorang yang mengganggu pikirannya. Sunwoo. 

Di sekolahnya, Sunwoo terkenal sebagai laki-laki menyebalkan yang dibenci setengah mati oleh murid laki-laki lainnya karena sok dan suka mencari masalah tapi dipuja setengah hidup oleh murid perempuan karena -katanya- pembawaannya yang cool dan bad boy. Tapi dimata Renjun yang sudah mengerti dunia 'laki-laki' itu, Sunwoo tetaplah orang brengsek.

"Dia siapa?" tanya Renjun setelah Sunwoo pergi.

"Dari kelas sebelah, namanya Sunwoo."

"Jangan sering-sering main sama dia, aku nggak dengar kabar bagus tentangnya."

"Haha, jangan terlalu dipikirin, dia nggak kayak kelihatannya kok."

"Aku serius, aku harap kamu nggak ketemu dengannya lagi."

"Hei, yang satu sekolah sama Sunwoo itu kan, aku? Kenapa jadi kamu yang merasa lebih tahu tentang dia?"

"Kenapa kamu kayaknya pengen banget sama Sunwoo terus? Memangnya kamu suka dia?"

"Kenapa kamu kayaknya pengen banget aku nggak sama Sunwoo? Memangnya kamu suka aku?"

Kata-kata terakhir Seorim membuat Renjun tidak berkutik. Renjun hanya mengangkat bahu dan kembali berjalan masuk ke rumahnya. "Terserah kamu saja." Ucapnya menutup percakapan yang membuat hubungan pertemanan Renjun dan Seorim menjadi renggang.

Keesokannya Renjun masih melihat Sunwoo bersama dengan Seorim, saat berangkat sekolah maupun pulang sekolah. Entah kenapa Renjun ingin melindungi Seorim dari seorang Sunwoo yang selalu membuat Renjun gelisah itu. Tapi Renjun segera menepis pikirannya.

'Memang aku siapanya?

Kenapa aku peduli banget sama urusan Seorim?

Memang aku temannya, tapi teman juga pasti ada batasnya kan?

Jangan melampaui batas itu, Renjun.'

Hingga akhirnya pertanyaan-pertanyaan Renjun terjawab.

Saat ini hujan deras. Bel pulang sekolah sudah berbunyi dari tadi tapi karena hujan deras yang tidak kunjung berhenti, ia terpaksa pulang dengan menerobos bersenjatakan payung yang masih membuatnya basah kuyup. Saat sampai di depan rumahnya, ia melihat Seorim terduduk, menyembunyikan wajahnya dengan tangannya. Pakaiannya basah kuyup, tidak terlindung apapun dari hujan. Renjun segera menghampirinya, memayungi Seorim yang belum menyadari kehadirannya.

"Jung Seorim!"

"Hm? Renjun..." Meskipun wajahnya basah karena hujan, Renjun sangat tahu Seorim sedang menangis.

"Kenapa nunggu di sini?! Kenapa nggak masuk ke rumahmu?! Kamu bisa sakit tahu!" Renjun buru-buru membuka kunci pintu dan mempersilakan Seorim masuk ke rumahnya yang sepi karena kedua orangtuanya bekerja.

Seorim, tidak menjawab, justru berdiri dan memeluk Renjun. Gadis itu kembali menangis.

"Kamu benar tentang Sunwoo, aku minta maaf," isaknya. "Dia taruhan 'siapa yang bisa mengajakku kencan' dengan teman-temannya. Dia menang, dia dapat hadiahnya, aku dibuang. Padahal sebelumnya..."

"Apa? Apa yang terjadi?"

"Sebelumnya... Dia perhatian, suka ngobrol denganku, ngasi coklat atau permen, selalu nanya kabar, antar kesana sini, dan dia baikk banget. Tapi sekarang, aku cuma mainan, aku sakit hati dianggap seperti itu, dicampakkan." Seorim menghela napas. "Aku benci Sunwoo, aku benci dia yang nggak menghargai perasaan orang lain. Kalau dia orang baik, dia nggak akan taruhan dari awal, kan?!" Seorim meracau.

Renjun mendesah lega. Sepertinya Seorim tidak apa-apa karena dia sudah mulai 'terdengar' suaranya. Dari ceritanya, Sunwoo belum melakukan 'hal kurangajar' pada Seorim seperti gadis-gadis lain hasil kabar burung di sekolahnya. Kalau sampai Seorim kenapa-napa, Renjun mungkin akan mengerahkan pasukan dari sekolahnya -yang terkenal garang dan cukup ditakuti, untuk menghabisi Sunwoo.

Renjun membalas pelukan Seorim yang mulai terisak lagi, mencoba menenangkannya dengan mengelus kepalanya.

"Ya sudah... Jauhi Sunwoo, ya? Jangan sama Sunwoo lagi, lupain Sunwoo." Kata Renjun sambil menahan debaran di dadanya karena ia bisa merasa napas Seorim dari balik kemejanya.

"Iya itu gampang sih, aku juga udah ilfeel duluan sama Sunwoo! Tapi sakit hatinya itu! Aku sebel aku gampang banget dibodohi, aku ngerasa bego, aku malu juga tadi di kantin diketawain sama temen-temennya. Aku malu sama diriku sendiri, aku malu sama kamu... Renjun." Seorim akhirnya melepaskan diri. Menunduk, tidak berani menatap Renjun.

Renjun ingin terkikik kalau saja dia tidak ingat Seorim sedang dalam mode 'serius'. "Kenapa malu sama aku?"

"Ya kan! Kamu udah ngingetin aku dari awal, aku malah bandel terus... bilang yang aneh-aneh..."

Renjun memutar memorinya dimana ia terakhir bertukar kata dengan Seorim kurang lebih sepuluh hari yang lalu. '...memangnya kamu suka aku?'

Tiba-tiba pipi Renjun memanas, dan dia tidak lagi berani menjatuhkan pandangannya pada Seorim yang masih menunduk di depannya. Renjun berdehem. "Yyaah... oh... itu... nggak apa-apa, jangan terlalu dipikirin."

Seorim mendongak, membuat Renjun kembali menjatuhkan pusat fokusnya pada kedua mata si gadis. "Jangan dipikirin?"

Renjun mengangguk, menepuk-nepuk pundak Seorim sekilas sambil kembali menghindari tatapan Seorim. "Intinya nggak apa-apa kok, nggak ada yang perlu dikhawatirkan." Pokoknya jangan sampai kamu ngerasa nggak nyaman, Seorim...

"Oh..."

Kemudian hening menyapa di antara mereka. Baik Seorim maupun Renjun tidak ada yang bersuara, sampai mata Renjun bertumbuk pada genangan air di lantai di bawah Seorim.

"EH! Tunggu sebentar ya!" Renjun segera melesat ke dalam meninggalkan Seorim yang bingung sendirian. Tak lama kepalanya sudah ditutupi handuk kering yang wanginya sama seperti wangi pakaian-pakaian Renjun.

"Aduh!"

"Eh, sorry..." Renjun terkekeh, lalu mulai mengusap-usap kepala Seorim, rambut Seorim, kemudian wajah...

"Uh... aku sendiri aja." Potong Seorim cepat sebelum suasana menjadi semakin aneh. Renjun mengangguk dan membiarkan Seorim mengambil alih handuk yang masih ada di tangannya.

"Kamu udah makan? Kenapa nggak pulang ke rumah tadi?"

Seorim menggeleng. "Mau cepet-cepet cerita ke kamu." Katanya, sengaja menurunkan handuknya menutupi wajahnya yang merona merah.

"O-ooh..." Renjun mengusap tengkuknya. "Hm, mau makan? Tapi biasanya aku cuma pakai telur atau sosis atau nugget, atau kamu mau aku bikinin mi rebus?"

Seorim terdiam sebentar sebelum menjawab, "Ngga-... hmmm... boleh deh mi rebus, tapi aku bikin sendiri aja ya? Ada telur?"

"Ada, kamu ganti baju dulu gimana? Pakai kaosku nih, sama celana training ini." Renjun mengangsurkan dua helai pakaian yang diambilnya bersamaan dengan handuk tadi.

Kemudian mereka berdua sudah mulai bercengkerama lagi. Di dapur sambil menunggu mi matang, sambil mengepel lantai karena tetesan air dari seragam mereka, sambil menjemur buku-buku mereka -terutama buku-buku Seorim, yang basah, sambil belajar, dan mengerjakan tugas seadanya. Sampai sore, sampai orangtua Renjun pulang, sampai Seorim pamit dan Renjun mengantar Seorim ke rumahnya yang notabene hanya berbatas satu tembok di samping rumahnya.

"Ya udah, masuk rumah sana. Kamu habis hujan-hujanan gitu, langsung mandi, langsung istirahat, sama jangan lupa minum obat kalau nggak enak badan." Kata Renjun sambil membuka pagar rumah Seorim lalu mengikutinya sampai teras rumah.

"Makasih, Renjun," ujar Seorim. Renjun bisa melihat ketulusan di mata Seorim yang sedang tersenyum itu. Mau tak mau Renjun berdebar juga.

Dan itu terakhir kali Renjun melihat Seorim. Dua hari ini ia tidak mendengar suara Seorim yang selalu berteriak jika akan berangkat sekolah. Ternyata gadis itu sakit, akibat hujan deras kemarin. Sepulang sekolah ini, Renjun akan menjenguk Seorim. Tak lupa ia siapkan beberapa buah-buahan dan gambar yang ia buat khusus untuk Seorim. Gambar itu berupa Seorim yang menggunakan kostum bak superhero wanita, tangannya mengepal kuat keangkasa, sedangkan dibawah kakinya ada laki-laki kucel -sosoknya mirip Sunwoo, yang memohon ampun pada Seorim.

Renjun tertawa kecil saat membuatnya.

Ibu Seorim menyambut Renjun dan mengantarkannya ke kamar Seorim. Sampai di depan kamar, ibunya pergi untuk mengecek apa nasi yang dimasaknya sudah matang. Sejujurnya meskipun sering main ke rumah Seorim, dia tidak pernah masuk ke kamarnya karena... buat apa? Di ruang tamu atau di meja makan atau di dapur saja sudah cukup buat Renjun. Tidak seperti Seorim yang suka grusak grusuk tiba-tiba masuk ke kamar Renjun kalau sudah dipersilakan masuk ke rumahnya. Renjun tidak keberatan sih, hanya saja ia terpikir iya juga ya, aku belum pernah masuk ke kamar Seorim.

Renjun mengetuk, lalu membuka kamar Seorim setelah terdengar suara Seorim mengizinkannya masuk.

"Hei, apa kamu sudah baika-" Suara Renjun terputus. Netranya tertumbuk pada sesuatu di nakas, kemudian beralih ke meja belajar, kemudian beralih ke dinding kamar Seorim.

"Hai Renjun! Aku udah nggak apa-apa kok!" Sahut Seorim dari atas kasur, senang karena kedatangan Renjun. Tapi laki-laki itu tidak menjawab.

"Renjun?" panggil gadis itu pada Renjun yang sepertinya tidak mendengar suara apapun saat ini.

Iya, beberapa detik Renjun tidak bisa mendengar, apalagi bersuara apapun. Saat ini matanya fokus pada dinding putih yang berhiaskan gambar-gambar. Itu hadiah dari Renjun. Semuanya, Seorim pasang di dinding kamarnya, agar setiap saat gadis itu bisa melihatnya.

Renjun merasa pijakannya hilang, ia melayang. Sebelum akhirnya ia tersadar, ia sudah duduk di samping kasur Seorim. Dipandanginya wajah Seorim yang masih sedikit pucat. Gadis itu masih menatapnya bingung. Renjun tidak mampu berkata-kata.

Jadi inikah rasanya?

"Kenapa, Njun?"

"Kamu nyimpen semua itu?" Tanya Renjun sedikit tidak percaya.

"Iya lah! masa aku buang..." Seru Seorim, tapi kemudian suaranya mengecil. "Lagipula, kalau aku pajang kan, aku bisa lihat setiap saat... Jadi aku ingat teru- eh, jadi ngerasa deket- ah! Anu... Ng..." Kata Seorim patah-patah. Renjun tersenyum kecil.

"Yaah pokoknya karena aku suka gambar buatanmu makanya-"

"Oi, Seorim." Potong Renjun dengan suara datar. Seorim semakin takut kalau dia salah bicara.

"Hm?"

"Kamu mau tahu rahasia?" Tanya Renjun. Seorim mengerutkan keningnya.

"Rahasia apa?"

Renjun berdehem, akhirnya ia tahu jawaban pertanyaan-pertanyaannya selama ini.

"Aku suka kamu." Renjun meraih tangan Seorim. "Ternyata selama ini aku suka kamu." Matanya menghujam ke obsidian milik Seorim.

Seorim sedikit terkejut, tidak siap dengan pengakuan tiba-tiba Renjun. Pandangannya jadi tidak fokus karena gugup. Tapi kemudian ia tersenyum.

"Njun, kamu mau tahu yang lebih rahasia lagi?"

Kekehan Seorim membuat Renjun nervous. "Apa?"

"Aku selalu suka kamu." Kali ini Seorim menggenggam tangan Renjun erat. "Suka, suka, sukaaa banget. Kalau nggak ada Renjun, aku berantakan." Kali ini Seorim tertawa lepas. Renjun awalnya melongo, lalu paham, lalu mengusak kepala Seorim gemas.

"Dasar! Lagi demam aja masih sempet-sempetnya bikin orang lain ikutan panas dingin!"

Renjun boleh jadi anak laki-laki berusia 17 tahun yang paling bahagia saat ini.

----------------------
pernah dipost di wattpad.
----------------------

Comments