TL : 4. No Regret

 “Hah?” Bin ngowoh, masih belum bisa menangkap kata-kata Iru sepenuhnya.

“Iya! Jadi waktu aku mau jemput seperti biasa tiba-tiba perempuan ini bangun dan bisa lihat aku!”

“Gimana?” Laki-laki tinggi itu masih hah-hoh karena lagi-lagi sulit mencerna yang ia dengar.

“Ya gitu, Bin! Dia bisa lihat aku, tidak terima aku jemput bayinya, terus malah mendorong lagi perahunya ke tempat awal! GILA MEMANG!”

“… Maksudnya?” Bin mengerutkan kening, what a bizzare situation.

“BINN!!!! Begini lho, jadi setelah dia Tarik aku ke dasar sungai, dia mengikuti –”

“JADIIIII, waktu dia mau curi anakku, aku segera mengambilnya balik dan mengembalikannya ke tempat seharusnya anakku berada! Memangnya itu salah?!” Soraya memutus percakapan kedua pria di hadapannya yang semakin lama semakin-makin.

“Aku tidak mencuri! Lagipula –“

“TERUS APA?! Merampas?!” Sengit Soraya.

“DASAR PEREMPUAN BERANDAALL! DENGAR!” Seru Iru, membuat Soraya dan Bin langsung terdiam baik gerakan maupun suara mereka. “Lagipula itu sudah bukan dunianya! Kamu yang salah di sini! PAHAM?!” Iru menyurungkan telunjuknya pada si perempuan, membuatnya mundur beberapa langkah sebelum terduduk di sofa apartemen Iru.

Soraya menelan ludah, lumayan gentar juga hatinya melihat Iru yang dari tadi diam tiba-tiba menggelegar. Apalagi kalau membaca situasi, sepertinya hal ini bukan hal kecil dan Sorayalah penyebabnya.

Tapi anakku harus hidup!

“Uh… Iru, tenang dulu…” Bin mendudukkan Iru di sudut sofa yang berseberangan dengan Soraya, dan mengangsurkan air minum pada Soraya –yang tentu saja tidak langsung diminum karena Soraya masih belum paham dengan ‘dunia’ yang ia pijak saat ini.

“Tidak apa-apa, diminum saja. Kamu sudah bukan bagian dari mereka kalau situasinya sudah sejauh ini.” Ujar Bin tenang –tapi datar, yang membuat Soraya semakin takut dengan keadaannnya saat ini.

Bin mengusap wajahnya, ikut lelah. “Wow…” Laki-laki tinggi itu menatap Iru yang masih shock. “Terus sekarang kalian bagaimana?”

“Mana ku tahu! Kamu Tanya aku, aku harus Tanya siapa?!”

Jawaban Iru membuat Bin ingin membanting pintu dan kembali saja ke apartemennya. Tapi tidak. Bin paham Iru hanya sedang kalut, dan Bin akan berusaha membantunya meskipun ia juga tidak yakin apakah kemampuannya bisa menandingi porsi masalah episode ini.

“Sepertinya ini tidak mungkin kalau terjadi begitu saja. Pasti ada pemicunya, ada sebab yang mengakibatkan Soraya bisa ‘terbangun’, dan memiliki kekuatan untuk mendorong perahunya sampai kembali lagi.” Bin berhati-hati memilih kata-katanya, takut Iru tertrigger.

Iru melirik Bin lalu membuang napas. “Aku pikir juga begitu. Aneh sekali, sudah hampir seribu tahun aku mengabdi, baru kali ini aku mengalami kejadian konyol tidak masuk akal seperti sekarang.”

Bin mengangguk-angguk. “Berharap saja kalau ini semua hanya kesalahan, dan tidak ada pemicu yang benar-benar serius.” Katanya berusaha menenangkan.

Iru memperhatikan Soraya yang akhirnya berani meminum air dalam gelas yang diangsurkan Bin. Perempuan itu lumayan kacau penampilannya, mengingat dia baru saja mengalami proses ‘melahirkan’. Raut lelahnya masih tersisa, jejak-jejak berjuangnya masih terlukis di sorot matanya yang kuyu.

Iru menelan ludah, mengingat bagaimana perempuan yang seharusnya dalam keadaan ‘lemah’ ini masih mampu menariknya sampai ke dasar perairan, menahannya di sana, setelah sebelumnya mendorong perahu kembali ke tempat asal. Memberi ancang-ancang agar mahasiswa master di atasnya lebih mudah mendayung ke tujuan mereka dengan selamat. Tujuan tempat anak-anak mereka mendapat kehidupan.

Iru mendecih. Kehidupan apanya? Mereka tidak semestinya hidup. Nama mereka sudah tercatat di kartu, dan sudah dianggap ‘mati’ ketika mereka menaiki perahu pertama kali. Kehidupan seperti apa yang mereka harapkan ketika langit sudah mencatat kematian mereka? Justru Soraya yang namanya masih ‘hijau’, tapi kehidupannya sudah seperti tertulis dengan ‘tinta merah’.

Perempuan ini kuat jug –

“Dia kuat sekali tahu.” Ujar Iru tiba-tiba, membuat Bin menoleh pada Soraya. Perempuan itu memandangi Bin dan Iru bergantian, mencari konteks.

“Dia itu Samson, bukan perempuan. Masa aku di dorong, ditenggelamkan. Badanku sampai sakit semua.”

“Itu sih, kamunya saja yang lemah!” Canda Bin.

“SEMBARANGAN!” Seru Iru, memberi gesture seolah akan memukulnya. Mereka berdua terbahak. Bin paham, ini cara Iru untuk mencairkan suasana.

“Nah, mbak. Laki-laki ini memang menyebalkan, tapi sebenarnya baik kok. Namanya Iru. Kalau saya Bin, salam kenal! Dengan mbak…?” Bin mengulurkan tangan, akan disambut Soraya kalau saja Iru tidak menebaskan topinya ke kuasa Bin.

“Jangan coba-coba.” Desis Iru. Bin terkekeh.

“Wah, paham juga ternyata.”

“YA IYA LAH! Dasar Bin tukang terselubung!”

“Hehe, iya-iya maaf.” Bin menyimpan tangannya lagi. “Namanya siapa?” Fokus Bin kembali pada Soraya. Perempuan itu masih terbelalak dengan kejadian barusan, tapi segera memposisikan diri.

“So-Soraya.” Ia menatap Bin, sedikit takut lagi karena tatapan Bin sekarang menyimpan sesuatu.

“Dulu pernah mengalami kecelakaan bis? Kurang lebih sepuluh tahun lalu?”

“Uh… iya?”

“Ooh…” Bin mengarahkan atensinya pada Iru. “Krisan biru?”

“Ho oh.” Iru menjawab sekenanya. Berjalan menuju pintu yang diketuk. Muncullah Kai, tetangga sekaligus leader grup kecil mereka.

“Sepertinya ada masalah besar ya? Sampai-sampai aku ditugaskan membawamu ke musyawarah kecil…” Kai masuk, menyapa Bin sebentar lalu menelisik Soraya dari atas sampai bawah. “Dia juga.”

“Kai, tapi dia manusia?”

“Memangnya kenapa? Dia manusia. Ingatannya masih intact, tapi dia sudah masuk terlalu dalam. Tidak bisa keluar lagi, meskipun dengan cara sulit sekalipun juga tetap mustahil. Pemakamannya sebentar lagi dimulai. Secara fakta dia sudah mati, berkas-berkasnya bisa menyusul.” Mata Kai sekarang beralih ke Iru. “Begitu kan, Iru?”

Yang jadi tersangka melongo, menunjuk dirinya bingung. “Aku? Yang mengurus dia aku?”

“Siapa lagi? Masa Bin? Dia punya andil apa?” Kata Kai. Bin hampir tertawa melihat ekspresi plongah-plongoh Iru. Kemudian Iru frustasi.

“ARGH!”

“Ya sudah, sampai ketemu di sana. Disiapkan saja.” Kai mengarahkan dagunya pada Soraya.

“Yaah nasib-nasib…” Kata terakhir Bin sebelum melenggang keluar dari apartemen Iru. Mempersilakan mereka berdua bersiap diri menghadapi musyawarah di organisasi cabang.

Tersisa dua orang di sana, yang masih diam-diam saja. “Uh… kamu dengar kan? Kita harus pergi. Kalau kamu mau cuci muka dulu, di sana kamar mandinya.” Iru menunjuk ke suatu arah. Soraya mengangguk, hendak berdiri tapi tubuhnya terhempas begitu saja karena tiba-tiba kakinya seperti jelly. Iru menatapnya tanpa refleks yang berarti.

“Kenapa? Shock?” Tanya Iru, yang masih di balas diam oleh Soraya. Perempuan itu mulai berkaca-kaca matanya. Gelombang puluhan perasaan mulai menerpanya. Menerima info-info tentang situasinya saat ini ternyata bukan hal mudah. Banyak yang ia takutkan, dan khawatirkan.

“Menyesal karena sudah berbuat sampai sejauh ini?”

Soraya menatap Iru tajam atas kata-kata laki-laki itu. Dari puluhan perasaan yang ia rasakan, ‘menyesal’ tidak ada di dalamnya. Soraya menggeleng mantap, menguatkan dirinya untuk berdiri dan berjalan ke kamar mandi. Membasuh wajahnya, merapikan rambut dan pakaiannya, lalu dengan percaya diri menuju ke musyawarah kecil bersama Iru.

Betul-betul perempuan keras kepala…

… tapi juga perempuan kuat.


=============================
klik di sini untuk daftar isi
klik di sini untuk ke part selanjutnya
klik di sini untuk ke part sebelumnya
=============================

Comments