Soraya paham bahwa ia harus mempertaruhkan nyawanya agar anak yang dikandungnya bisa terlahir ke dunia ini, seperti ibu-ibu lainnya. Soraya tahu apa yang ia lakukan, dan Soraya tidak akan menyerah demi anak pertamanya ini.
Tapi yang Soraya tidak paham adalah, kenapa orang-orang bilang anaknya tidak menangis padahal ia bisa mendengar jelas bayi merah itu meraung-raung di dekapan laki-laki berpakaian hitam-hitam yang juga kaget melihatnya.
“Mau dibawa kemana?!” Teriak Soraya. Segera ia turun dari ranjang tempatnya ia ‘diproses’. “KEMBALIKAN ANAKKU!”
Laki-laki itu memang awalnya terkejut, lalu memutar mata. “Kembalilah… Aku masih harus menjemput dua orang lagi tahu, dan kamu bukan salah satunya!”
“BAWA SINI BAYIKU!!”
“DIAAM!” suara laki-laki itu menggelegar, membuat dua orang bayi di tangannya diam sedetik, tapi kemudian menangis lagi.
“SIAPA KAMU!? ANAK SIAPA LAGI YANG MAU KAMU CURI!?”
“Aku bukan pencuri tahu!” Laki-laki itu menghela napas, menyadari kalau tidak ada gunanya berdebat dengan perempuan keras kepala ini. Laki-laki itu memilih untuk meninggalkan Soraya dan melanjutkan tugasnya. Toh, Soraya bukan tanggung jawabnya kali ini.
Tapi dia lengah, dan bayi merah itu sudah di tangan ibunya. Laki-laki itu mendelik.
“PEREMPUAN NAKAALL!!”
“Aku yang antar! Aku yang bawa bayiku!” Seru Soraya, mulai bisa mencium keadaan. Ia melirik ke arah Kasur dan ke arah kerumunan suster. Mereka sedang berusaha, dan Soraya merasa ia juga harus berusaha.
Setelah memberi isyarat ke laki-laki – yang mulai pasrah karena ia pasti kena getahnya juga nantinya, akhirnya mereka berdua berjalan, dengan menggendong bayi masing-masing. Seperti mimpi, Soraya tiba di tempat tujuan selanjutnya. Kali ini seseorang juga bangun sambil menggendong bayinya.
“Oke, komplit.” Laki-laki itu menghela napas. “KAMU!” Serunya pada Soraya. “PERGI! KEMBALI SANA!”
“TIDAK SEBELUM AKU SAMPAI DI TEMPAT TUJUAN ANAKKU!”
Laki-laki itu mengusap wajahnya kasar. Keras kepala, sama seperti dulu.
Makanya sekarang mereka, tiga orang dewasa dan tiga orang bayi menaiki perahu yang mengapung perlahan di atas perairan yang tenang. Laki-laki itu masih berpikir bagaimana caranya agar mengembalikan Soraya dengan senatural mungkin tanpa diketahui ‘pihak berwajib’.
Seharusnya dari awal aku tidak mengizinkannya ikut. Seharusnya aku bisa lebih tegas lagi. Namanya dilarang ya dilarang!
Laki-laki itu membuang napas kasar.
Tapi kenapa dia ikut bangun? Aku hanya bertanggung jawab atas tiga bayi dan seorang ibu, dan Namanya bukan Soraya…
Laki-laki itu melirik Soraya yang memeluk bayinya erat.
Ini yang Namanya keajaiban seorang ibu tapi kutukan untuk kami? Mereka bilang mereka menciptakan Ibu sebagai tangan Tuhan di bumi?
Laki-laki itu mendengus. Tuhan yang ia tahu tidak pernah menyusahkannya. Tapi perempuan ini membuatnya sakit kepala.
“Aku bisa membantu menggendongnya, jadi anda bisa mengemudikan perahu ini dengan mudah.” Mahasiswi yang terakhir dijemput menawarkan bantuan. Laki-laki itu menurut. Toh, perempuan ini satu tujuan dengannya, tidak akan macam-macam. Perhatiannya tercurah pada Soraya dan bagaimana caranya mengembalikannya.
Ketika laki-laki itu akan membetulkan posisi dayungnya, tiba-tiba tubuhnya didorong dari belakang. Dengan sigap laki-laki itu menyeret siapapun pelakunya. Tebak, ia Soraya.
“LEPAS!!”
“APA YANG KAMU LAKUKAN!”
Sekarang mereka berdua – laki-laki itu dan Soraya, berusaha untuk terapung. Soraya tahu kemana perahu ini akan berujung, dan Soraya tahu harus ada yang menahan laki-laki ini agar tidak kembali ke perahu.
Maka Soraya menyeret laki-laki itu ke dasar perairan yang tak berujung. Laki-laki itu meronta, baru kali ini merasakan kekuatan yang tidak bisa ia kalahkan dengan mudah. Namun ia bukan manusia, dan ia berbeda dari Soraya.
Dengan susah payah ia mengunci kedua tangan Soraya dan kembali ke atas, untuk mendapati perahunya sudah hilang. Laki-laki itu tahu apa artinya, dan ia tak akan pernah membuat mudah urusan atas Soraya dan orang-orang yang seharusnya ikut dengannya itu.
Orang-orang itu menjalani takdir yang seharusnya tidak mereka tapaki, dan laki-laki itu tidak akan bisa kembali sebelum semuanya ia kembalikan ke normal lagi. Tapi toh, ada satu yang tidak akan bisa ia rubah.
Ia menatap Soraya yang mengatur napas ketika mereka sampai ke tepian. Laki-laki itu bahkan hanya tahu ujung ke ujung, ia tidak pernah penasaran dan tidak mau tahu bagaimana rupa sekeliling perairan itu. Tapi sekarang, mereka terdampar di tempat yang mereka berdua sama sekali tidak mengenalnya.
“Apa yang kamu dapat dengan berbuat seperti ini?” Laki-laki itu tidak bisa menahan geramannya.
Soraya tidak gentar. Sambil memeras rambutnya, ia menjawab “Kesempatan hidup untuk anakku.”
Laki-laki itu mendengus. “Kesempatan apanya.”
“...kamu adalah kesempatan, pelajaran, berkah, dan sesuatu yang berharga.” Soraya terdiam sebentar sebelum melanjutkan. "Seseorang -bukan, sesuatu bilang padaku hal itu. Betul, aku adalah kesempatan untuk orang lain, aku adalah kesempatan untuk anakku." Kemudian ia menatap laki-laki itu dalam. Baru kali ini Soraya bisa melihat wajahnya. “Kita pernah bertemu kan?”
Soraya ingat, di pinggir jembatan, tubuhnya tersangkut entah besi entah apa dari konstruksi bangunan beton tersebut. Di ambang batas sadar dan hilang, hidup dan mati, ia bertatap mata dengan seorang laki-laki yang menyelamatkannya dan mengoceh tentang kesempatan.
“Kamu menyia-nyiakan hidupmu hanya karena hal itu?”
“Tidak.” Soraya menggeleng mantap. “Aku tidak merasa menyia-nyiakan, dan aku tidak menyesal mengambil pilihan ini. Aku memberikan kesempatan itu untuk alasan terbesarku bertahan hidup. Asal anakku bisa hidup, asal harapan kami semua bisa selamat.”
“Bodoh.”
“Terserah.”
“Kamu harus bertanggung jawab.”
“Oke.”
Laki-laki itu terdiam. "APANYA YANG OKE!" Serunya, mulai menyadari skala hal yang ia perbuat ini.
Tapi yang Soraya tidak paham adalah, kenapa orang-orang bilang anaknya tidak menangis padahal ia bisa mendengar jelas bayi merah itu meraung-raung di dekapan laki-laki berpakaian hitam-hitam yang juga kaget melihatnya.
“Mau dibawa kemana?!” Teriak Soraya. Segera ia turun dari ranjang tempatnya ia ‘diproses’. “KEMBALIKAN ANAKKU!”
Laki-laki itu memang awalnya terkejut, lalu memutar mata. “Kembalilah… Aku masih harus menjemput dua orang lagi tahu, dan kamu bukan salah satunya!”
“BAWA SINI BAYIKU!!”
“DIAAM!” suara laki-laki itu menggelegar, membuat dua orang bayi di tangannya diam sedetik, tapi kemudian menangis lagi.
“SIAPA KAMU!? ANAK SIAPA LAGI YANG MAU KAMU CURI!?”
“Aku bukan pencuri tahu!” Laki-laki itu menghela napas, menyadari kalau tidak ada gunanya berdebat dengan perempuan keras kepala ini. Laki-laki itu memilih untuk meninggalkan Soraya dan melanjutkan tugasnya. Toh, Soraya bukan tanggung jawabnya kali ini.
Tapi dia lengah, dan bayi merah itu sudah di tangan ibunya. Laki-laki itu mendelik.
“PEREMPUAN NAKAALL!!”
“Aku yang antar! Aku yang bawa bayiku!” Seru Soraya, mulai bisa mencium keadaan. Ia melirik ke arah Kasur dan ke arah kerumunan suster. Mereka sedang berusaha, dan Soraya merasa ia juga harus berusaha.
Setelah memberi isyarat ke laki-laki – yang mulai pasrah karena ia pasti kena getahnya juga nantinya, akhirnya mereka berdua berjalan, dengan menggendong bayi masing-masing. Seperti mimpi, Soraya tiba di tempat tujuan selanjutnya. Kali ini seseorang juga bangun sambil menggendong bayinya.
“Oke, komplit.” Laki-laki itu menghela napas. “KAMU!” Serunya pada Soraya. “PERGI! KEMBALI SANA!”
“TIDAK SEBELUM AKU SAMPAI DI TEMPAT TUJUAN ANAKKU!”
Laki-laki itu mengusap wajahnya kasar. Keras kepala, sama seperti dulu.
Makanya sekarang mereka, tiga orang dewasa dan tiga orang bayi menaiki perahu yang mengapung perlahan di atas perairan yang tenang. Laki-laki itu masih berpikir bagaimana caranya agar mengembalikan Soraya dengan senatural mungkin tanpa diketahui ‘pihak berwajib’.
Seharusnya dari awal aku tidak mengizinkannya ikut. Seharusnya aku bisa lebih tegas lagi. Namanya dilarang ya dilarang!
Laki-laki itu membuang napas kasar.
Tapi kenapa dia ikut bangun? Aku hanya bertanggung jawab atas tiga bayi dan seorang ibu, dan Namanya bukan Soraya…
Laki-laki itu melirik Soraya yang memeluk bayinya erat.
Ini yang Namanya keajaiban seorang ibu tapi kutukan untuk kami? Mereka bilang mereka menciptakan Ibu sebagai tangan Tuhan di bumi?
Laki-laki itu mendengus. Tuhan yang ia tahu tidak pernah menyusahkannya. Tapi perempuan ini membuatnya sakit kepala.
“Aku bisa membantu menggendongnya, jadi anda bisa mengemudikan perahu ini dengan mudah.” Mahasiswi yang terakhir dijemput menawarkan bantuan. Laki-laki itu menurut. Toh, perempuan ini satu tujuan dengannya, tidak akan macam-macam. Perhatiannya tercurah pada Soraya dan bagaimana caranya mengembalikannya.
Ketika laki-laki itu akan membetulkan posisi dayungnya, tiba-tiba tubuhnya didorong dari belakang. Dengan sigap laki-laki itu menyeret siapapun pelakunya. Tebak, ia Soraya.
“LEPAS!!”
“APA YANG KAMU LAKUKAN!”
Sekarang mereka berdua – laki-laki itu dan Soraya, berusaha untuk terapung. Soraya tahu kemana perahu ini akan berujung, dan Soraya tahu harus ada yang menahan laki-laki ini agar tidak kembali ke perahu.
Maka Soraya menyeret laki-laki itu ke dasar perairan yang tak berujung. Laki-laki itu meronta, baru kali ini merasakan kekuatan yang tidak bisa ia kalahkan dengan mudah. Namun ia bukan manusia, dan ia berbeda dari Soraya.
Dengan susah payah ia mengunci kedua tangan Soraya dan kembali ke atas, untuk mendapati perahunya sudah hilang. Laki-laki itu tahu apa artinya, dan ia tak akan pernah membuat mudah urusan atas Soraya dan orang-orang yang seharusnya ikut dengannya itu.
Orang-orang itu menjalani takdir yang seharusnya tidak mereka tapaki, dan laki-laki itu tidak akan bisa kembali sebelum semuanya ia kembalikan ke normal lagi. Tapi toh, ada satu yang tidak akan bisa ia rubah.
Ia menatap Soraya yang mengatur napas ketika mereka sampai ke tepian. Laki-laki itu bahkan hanya tahu ujung ke ujung, ia tidak pernah penasaran dan tidak mau tahu bagaimana rupa sekeliling perairan itu. Tapi sekarang, mereka terdampar di tempat yang mereka berdua sama sekali tidak mengenalnya.
“Apa yang kamu dapat dengan berbuat seperti ini?” Laki-laki itu tidak bisa menahan geramannya.
Soraya tidak gentar. Sambil memeras rambutnya, ia menjawab “Kesempatan hidup untuk anakku.”
Laki-laki itu mendengus. “Kesempatan apanya.”
“...kamu adalah kesempatan, pelajaran, berkah, dan sesuatu yang berharga.” Soraya terdiam sebentar sebelum melanjutkan. "Seseorang -bukan, sesuatu bilang padaku hal itu. Betul, aku adalah kesempatan untuk orang lain, aku adalah kesempatan untuk anakku." Kemudian ia menatap laki-laki itu dalam. Baru kali ini Soraya bisa melihat wajahnya. “Kita pernah bertemu kan?”
Soraya ingat, di pinggir jembatan, tubuhnya tersangkut entah besi entah apa dari konstruksi bangunan beton tersebut. Di ambang batas sadar dan hilang, hidup dan mati, ia bertatap mata dengan seorang laki-laki yang menyelamatkannya dan mengoceh tentang kesempatan.
“Kamu menyia-nyiakan hidupmu hanya karena hal itu?”
“Tidak.” Soraya menggeleng mantap. “Aku tidak merasa menyia-nyiakan, dan aku tidak menyesal mengambil pilihan ini. Aku memberikan kesempatan itu untuk alasan terbesarku bertahan hidup. Asal anakku bisa hidup, asal harapan kami semua bisa selamat.”
“Bodoh.”
“Terserah.”
“Kamu harus bertanggung jawab.”
“Oke.”
Laki-laki itu terdiam. "APANYA YANG OKE!" Serunya, mulai menyadari skala hal yang ia perbuat ini.
=============================
klik di sini untuk daftar isi
klik di sini untuk ke part selanjutnya
klik di sini untuk ke part sebelumnya
=============================
Comments
Post a Comment