TL : 2. A Butterfly

“Jadi kamu melihat kehidupannya sebelumnya?”

Iru mengangguk, memperhatikan Bin yang mondar-mandir di dapur menyiapkan makan siang. Setelah kejadian di jembatan itu, Iru baru sampai rumah fajar tadi, dan dia tidak sempat membersihkan diri apalagi sarapan. Waktu menunjukkan jam dua siang, ketika Bin menghambur masuk ke apartemennya dan membangunkannya.

“Iya?” Tanya Bin lagi memastikan. Ia tidak dapat melihat anggukan Iru karena terlalu sibuk berkutat dengan masakannya.

“Iya.” Parau Iru menjawab, tangannya menyibak rambutnya ke belakang. “Ngomong-ngomong kamu lihat topiku?”

“Hilang?”

“Sepertinya.”

“Aku menemukanmu dalam keadaan tepat seperti itu, dan aku tidak memperhatikan dimana topimu.” Jawab Bin.

“Oke…” Iru pindah tempat duduk ke kursi di meja makan. “Masih lama? Aku lapar.”

“Sudah.” Bin meletakkan sepiring nasi goreng lengkap dengan telur dadar. “Jadi bagaimana?”

“Ywa bwegitfu –“

“Oke, oke, habiskan dulu.” Bin menyerah, Iru terkekeh.

Di hadapan Iru itu, kawan sesamanya bernama Bin. Setahu Iru, Bin is an old soul. Terakhir kali, Iru yang menjemputnya dan katanya sih, menginspirasi Bin untuk menjadi seperti dirinya. Mengikutinya selama empat puluh hari sebelumnya, Iru yakin kalau Bin adalah orang baik. Hanya saja ia bertemu dengan lingkungan yang kurang tepat.

“Ya begitu, aku bisa melihatnya. Dulu ia adalah bunga krisan biru. Di tengah hamparan bunga berwarna-warni, tidak sulit menemukannya. Aneh kan? Alam tidak semudah itu melahirkan warna biru, apalagi bunga krisan.” Ujar Iru setelah menelan makanannya. Bin menatap Iru sambil berkedip.

“Oh, dulunya dia bukan manusia? Kalau kehidupan sebelumnya?”

Iru menggeleng. “Sebelum sampai ke sana aku cepat-cepat melepas tanganku. Aku tidak ingin tahu, dan energiku sudah cukup terkuras malam itu. Jadi apa aku kalau dilanjutkan?”

Is she an old soul?

Not as old as you. Aku rasa ini kehidupannya yang ketiga.”

How do you know I am old?

How could I don't know? I was your agent, remember? Lagipula, aku juga sudah memberimu pilihan untuk terlahir kembali atau mengabdi saat itu. Kamu sudah cukup lama mengembara, kamu tidak perlu jadi pendamping maut untuk menebus perbuatanmu.”

Bin mengangkat bahu. “Apa bagusnya hidup? Aku tidak mau merasa hampa lagi, sekuat apa coba sampai kadang aku masih menangis semalaman?" 

Iru terdiam mendengar ucapan Bin. "Kamu masih merasakannya?"

Bin mengannguk. "Makanya, daripada berlarut-larut, lebih baik kuhabiskan waktuku dengan mengabdi. Kalau aku jadi pendamping maut kan, sudah jelas ada kamu yang jadi teman.”

“Siapa bilang aku temanmu? Aku mentormu.”

“Seingatku aku lebih tua darimu empat tahun terakhir kali kita hidup sebagai manusia, kalau kamu lupa.”

Iru memutar matanya. “Ya, ya. Terserahlah.”

“Tapi lucu juga. Gadis tadi dulunya bunga, kamu dulunya kupu-kupu. Pok ame-ame belalang kupu-kupu!”

“Iya kamu belalangnya –tunggu!” Iru mendelik. "Aku...? Dulunya...?" Ia memproses informasi yang baru pertama kali didengarnya itu.

"Oh iya itu... tadi aku pegang kamu –"

“BIN! KAMU MELAKUKAN APA?!” Laki-laki berambut gelap itu menyilangkan tangan di depan badannya. Giliran Bin yang memutar mata.

“Kamu dibangunin pakai suara tidak mempan! Dipukul-pukul pakai bantal juga tidak pengaruh! Dipukul pipinya baru melek!” Bin membela diri. “Eh, berarti kamu juga tahu dong, kehidupanku dulu bagaimana?”

“Ya tahu? Lagipula aku sudah tahu dari lama, dari sejak aku menjemputmu, dari sejak kamu masih hidup. Makanya aku tahu kamu jiwa tua.”

“Ooh…” Bin menatap Iru penuh arti.

No, I won't talk about it.”

“Ah Iru tidak menyenangkan!”

Bin menjulur-julurkan tangannya, hendak menyentuh Iru, membuat lawannya njenggirat kesana kemari menghindari laki-laki bertubuh bongsor itu.

“BERHENTI!” Gelegar Iru, mengeluarkan mode mentornya membuat Bin terdiam kaku.

“O… oke, maaf.”

Suasana jadi lebih tenang sekarang. Bin segera menyelesaikan makannya dan mulai mencuci piring. Iru jadi merasa bersalah.

“Kamu tidak selamanya kesepian, kok. Dulunya kamu bahagia.” Iru meletakkan piringnya di bak cuci kemudian beranjak ke kamar mandi, membersihkan diri.

“IRU! SERIUS?! ITU BETULAN?! KENAPA KAMU MEMBERITAHUKU SECARA LANGSUNG?! NANTI KEHIDUPANMU JADI SULIT DILIHATNYA!” Seru Bin dari luar kamar mandi.

“TIDAK APA-APA! AKU JUGA TIDAK MAU TAHU!” Balas Iru.

Betul kok, Iru merasa lebih baik ia tidak tahu apapun di kehidupan pertamanya dan cukup tahu kalau di kehidupannya yang kedua lalu, ia adalah seekor kupu-kupu.

---

“Urgh! Aku bosan!” Keluh Bin yang sekarang berguling-guling di karpet apartemen Iru. Sudah sepuluh tahun sejak kejadian Bin mencuri-curi kesempatan menyentuh Iru, tapi kisah mereka berdua masih seperti itu saja. Menghabiskan masa pengabdian mereka menjadi pendamping maut.

“Mau jalan-jalan?” Tanya Iru pada Bin. Laki-laki berbadan tinggi itu menggeleng.

“Bosan, panas juga.” Katanya. “Sejak Opi pergi, aku jadi tidak punya sesuatu yang bisa dikerjakan.”

Opi adalah kucing kesayangan Bin. Ia mati saat usianya 12 tahun, lumayan lama untuk kehidupan seekor kucing. Bin belum ingin mencari penggantinya, ditambah landlord mereka –seorang perempuan muda yang dikutuk tidak bisa ‘kemana-mana’, sangat membenci hewan. Meskipun manajer –seorang manusia yang bekerja turun menurun, tempat mereka tinggal itu sudah berusaha menutup-nutupi keberadaan Opi, masih terendus juga. Mengakibatkan Bin dan bu landlord sering bertengkar.

“Tapi Bin, biasanyaaaaa, kalau kamu bilang bosan akan ada pekerjaan baru –“ Belum sempat Iru menyelesaikan kata-katanya, Bin sudah menunjukkan dua kartu pada Iru.

“SIAL!” Seru Bin.

Iru mengecek miliknya juga. “SUPER SIAL!” Empat kartu.

Maka dari itu, Bin bergegas bangkit menuju apartemennya sendiri untuk bersiap-siap. Iru membaca lagi kartunya. Meskipun empat, sebetulnya pekerjaannya lumayan gampang. Tiga diantaranya masih bayi, hanya satu orang dewasa yang merupakan ibu dari salah satu ketiga bayi tersebut. Tugas ‘mengikuti’ selama empat puluh harinya tidak terlalu berat, karena ia hanya perlu mengawasi satu orang dewasa.

Hanya saja, keempatnya perlu dijemput di tanggal yang sama, cukup membuat Iru bolak-balik ke sana kemari dan membayangkan perahunya penuh, kepala Iru jadi pening.

Meskipun hanya satu orang dewasa saja yang wajib ia ikuti, Iru tetap mengawasi kedua klien lainnya yang masih di dalam perut. Beruntunglah ketiga bayi itu, karena kedua orangtuanya bisa dibilang dalam kalangan yang berada.

Bayi pertama adalah laki-laki. Ibunya pegawai negeri sipil dan ayahnya karyawan perusahaan milik negara. Alasannya bisa ditebak, sang ibu terlalu semangat bekerja.

Bayi kedua juga laki-laki. Iru tidak telalu jelas melihat siapa ibunya. Sedikit aneh dan menyebalkan, karena Iru jadi merasa matanya punya masalah –tidak mungkin karena Iru tidak ‘hidup’. Ayahnya seorang professor dan peneliti ternama. Kalangan terdidik elit.

Bayi ketiga dan ibunya, dua-duanya perempuan. Ayahnya pengusaha, dan ibunya masih mengejar pendidikan master. Bisa ditebak, mungkin sebelas dua belas dengan bayi pertama.

Iru lebih sering termangu di sebelah sang Ibu bayi ketiga yang menghabiskan waktunya untuk duduk. Tapi sekalinya bergerak, bisa satu dua pulau terlampaui. ‘Mumpung,’ dan ‘sekalian,’ atau ‘jadwalnya bisanya seperti ini.’ adalah alasan mahasiswa master itu sering mondar-mandir seperti gasing.

Tidak masalah untuk Iru karena apapun itu, tugasnya hanya menunggui, menjemput, mengantar, selesai. Dia tidak perlu berurusan dengan kehidupan manusia, apalagi membantu mereka. Pantangan bagi Iru untuk mencampuri kehidupan manusia.

Ngomong-ngomong mencampuri… Iru jadi ingat kejadian sepuluh tahun lalu di pinggir jembatan. Apakah itu termasuk mencampuri? Tapi kan, Iru hanya mencegah si gadis melampaui waktunya sendiri. Lagipula, dia tidak mendapat teguran apalagi sanksi dari atasannya, sepertinya Iru masih aman.

Lamunan Iru buyar ketika perempuan itu merasa kesakitan dan suaminya dengan sigap membawanya ke rumah sakit. Iru mengecek arlojinya. Sudah waktunya ke bayi laki-laki yang pertama, maka Iru melenggang dengan percaya diri menuju bangsal rumah sakit yang dituju.

Ruangan itu tegang, menanti tangis si bayi yang tak kunjung terdengar. Iru berdiri di samping para suster yang sibuk dengan bayi. Tangan Iru terulur, meraih si bayi laki-laki dan membawanya pergi dari situ. Menuju ke rumah sakit selanjutnya.

‘Hmm, ini tidak akan makan waktu lama.’ Batin Iru. Dirinya sudah membayangkan akan pulang cepat dan beristirahat di balkon sambal menyesap kopi kesukaannya.

Di tempat singgahnya yang kedua, harapan Iru pupus ketika ia mendapati kejanggalan dari atmosfir di sana. Seharusnya hanya si bayi yang sekarang sudah dalam dekapannya yang merasakan kehadirannya -mengingat Iru masih mengenakan topi kebanggaannya yang baru. 

Tapi tidak. Sepasang mata menatapnya lekat, seolah kalau lepas, ia akan membuat Iru merasakan mati dua kali. Tapi yang membuat Iru terkejut adalah paras wanita itu. Paras yang selama empat puluh hari ini sedikit sulit ia amati karena matanya tiba-tiba ‘bermasalah’. Paras yang saat ini jelas-jelas saja, crystal clear.

“Mau dibawa kemana?!” Teriaknya. “KEMBALIKAN ANAKKU!”


=============================
klik di sini untuk daftar isi
klik di sini untuk ke part selanjutnya
klik di sini untuk ke part sebelumnya
=============================


 


Comments