Soraya termangu-mangu di kursi tempat ia duduk dalam bis yang membawanya pulang ke asrama.
Matanya panas, bibirnya ia gigiti dari tadi. Tangannya mengepal, tanda usaha menahan tangis. Kursi di sampingnya kosong, entah itu sebuah keberuntungan atau pembuktian kalau Soraya memang menyedihkan. Tak ada yang mau duduk di sebelahnya, tak ada yang menganggapnya. Soraya ingin berteriak kalau ini tidak adil, tapi tidak juga. Mereka tidak benar-benar mengganggunya, tidak pernah berkata kasar, bahkan bersentuhan saja jarang.
Tidak ada yang bisa Soraya gunakan untuk mengadu.
Teman-temannya maupun gurunya berusaha untuk tidak terlibat dengannya. Bicara seperlunya, menatap seperlunya, memanggil seperlunya, semuanya. Awalnya Soraya berterimakasih atas ‘tenggang rasa’ dan ‘toleransi’ yang ia terima. Namun lama-kelamaan, Soraya paham situasi.
Bukan rahasia kalau ibu Soraya adalah penyanyi yang terkenal bukan karena karya-karyanya. Siapa yang tidak mengenalinya? Seantero negeri paling tidak pasti pernah satu kali mendengar namanya. Dari berita, dari radio-radio, dari mulut ke mulut. Sejak debut, ia sudah mulai membuat sensasi. Berkencan dengan orang-orang penting, bersikap ‘manja’ dan meladeni jokes-jokes tidak bermutu, diundang ke acara-acara yang membuat bibir orang gatal kalau tidak membicarakannya.
Tapi Soraya hanya diam karena toh, Ibunya tidak mentelantarkannya. Dengan uang yang ibunya hasilkan, Soraya masih bisa hidup nyaman dan kebutuhannya terpenuhi.
But despite all of that, Soraya merasa kehidupan sosialnya kacau balau, apalagi kalau nama ibunya mulai muncul ke permukaan. Desas-desus, kasak-kusuk, semua sudah Soraya alami. Namun puncaknya, adalah ketika Ibunya menikah lagi dengan keluarga konglomerat yang terkenal dengan kekayaannya, yang baru saja menceraikan istrinya dua minggu sebelum kabar pernikahannya terbarunya.
Sejak saat itu banyak teori yang menyebutkan kalau Ibu Soraya penyebabnya, dan mereka tidak tinggal diam dengan kabar hangat yang selalu tersaji di meja makan mereka. Cukup mengenyangkan sampai Ibu Soraya membuat kabar lagi.
Ibunya tidak peduli, dan ayah tirinya masih bertahan asal bisnisnya tak goyah. Sayangnya Soraya tidak.
Agar tidak mengganggu, Soraya di titipkan di sekolah asrama. Soraya dianggap ‘tidak ada’. Ternyata budaya itu terbawa dari rumah sampai kemanapun Soraya pergi. Tidak tahu yang mulai siapa, entah itu dari keluarga ayahnya terdahulu –yang jelas memiliki kuasa lebih dari Soraya, atau memang takdirnya seperti itu.
Kesepian. Sendirian.
Soraya lelah, ia muak. Gadis itu tahu dia bisa melakukan lebih baik dari ini, tapi segala cara sudah ia lakukan dan tidak ada yang benar-benar berhasil. Soraya membuang pandangannya keluar jendela, merutuki kelap-kelip lampu penerangan proyek besar negaranya di ujung jembatan yang mereka lewati.
Seharusnya, study tour ini menyenangkan. Soaraya sudah menanti-nanti kunjungan mereka ke situs sejarah favoritnya, berdiskusi secara langsung dengan narasumber terdekat yang memahami topik mengenai budak tidak dikenal yang kelak menjadi titik awal pergerakan kemerdekaan negaranya. Namun itu sama sekali lewat begitu saja dari benak si gadis. Padahal biasanya Soraya sangat penasaran tentang sosok si budak yang sampai sekarang tidak ada informasi resmi. Hanya disebut ‘budak’ dan catatan tempat ia bertuan saja, tidak ada asal usul dan dimana ia berada terakhir kali.
Hal-hal yang ia sukai mulai terasa hambar untuknya. Mungkin karena kepala Soraya pening cancelling her worsening surrounding.
Tapi kali ini Soraya benar-benar merasakan kepalanya sakit karena terantuk kaca di sampingnya, Bis mulai bergerak tak terkendali, terbolak-balik di jalanan sebelum kemudian terbanting di sisi jembatan. Soraya berusaha bangkit ketika terdengar suara ledakan dan teriakan. Soraya merintih, memberi tanda kalau ia masih hidup, tapi nihil. Tak ada yang mendengar, ataupun menolongnya. Suaranya ternggelam di tumpukan tas dan kantung plastic yang menimpanya.
Baru Soraya sadari punggungnya beralaskan kaca jendela bis yang kalau ia bergerak sedikit saja maka –
KRAK!
–retak. Tak butuh waktu lama sampai kaca itu benar-benar pecah dan membiarkan tubuhnya terjun bebas ke arah sungai. Ia tersenyum.
Mungkin memang lebih baik begini.
Iru menghela napas panjang, lumayan lelah. Hari ini tugas ‘mengikuti’nya sudah selesai dan ia baru saja mengantarkan ‘klien’ ke perjalanan panjangnya. Sebenarnya Iru bisa saja berteleportasi langsung menuju rumah, tapi ia urungkan dan lebih memilih beristirahat sebentar menikmati angin malam dari tower tertinggi di kota itu. Letaknya di pinggir sungai, dan merupakan salah satu prasarana dari proyek besar negara mereka. Iru meletakkan topinya di samping, lalu meregangkan tubuhnya. Lumayan segar.
“Hoi.” Bahunya ditepuk. Iru menoleh, mendapati Bin tersenyum sampai matanya menghilang. “Hari yang panjang?”
“Begitulah, ada sedikit kegaduhan, tapi itu sudah biasa.” Sahut Iru. “Sepertinya akan ada yang terjadi?”
Bin mengangguk. “Bis itu,” Bin menunjuk bis rombongan study tour yang tertinggal di belakang, yang baru saja memasuki jembatan. “Bannya selip, supir mengantuk, kurang lebih.”
“Ooh…”
Sedetik kemudian laka itu terjadi. “Duluan ya, aku mau menjemput tuan putri yang isi kepalanya tidak ada bedanya dengan kotoran Opi.” Iru terkekeh mendengar nama kucing kesayangan Bin disebut.
Iru mendapati beberapa kawannya mendekati bis itu, seperti Bin. Beberapa dari mereka sudah menjemput tugasnya, seperti Bin.
Tapi Iru mendapati hal yang ganjil. Masih ada satu orang lagi yang harus dijemput, tapi kawan-kawannya sudah habis. Iru memeriksa kantungnya, siapa tahu ada kartu dadakan yang muncul. Nihil.
“Apakah dia akan selamat?”
Iru mengamati gadis yang tidak bergerak, tergantung lemas karena ujung hoodienya tersangkut di besi penyangga jembatan. Lumayan stabil sih, mungkin gadis itu bisa bertahan sampai bantuan datang.
Tapi Iru terbelalak ketika tangan si gadis berusaha melepaskan penahannya.
Tidak boleh, setidaknya tidak boleh terjadi di depan Iru atau ia harus menulis laporan panjang sebagai saksi kejadian tidak terduga.
Iru mengenakan lagi topinya dan segera melesat mendekat, dan berjongkok di atas besi tempat gadis itu tergantung.
“Jangan,” hanya suara Iru yang terdengar, membuat gadis itu memutar kepalanya lemah. Iru melepas topinya, sehingga mereka berdua bisa saling tatap sekarang. “Jangan, kumohon.”
“Siapa…?”
“Uh…” Iru menggaruk pelipisnya. Bingung. “Bukan siapa-siapa sih tapi kumohon, jangan ya, bertahan, please.”
Gadis itu menatapnya datar, kemudian tetap melanjutkan usahanya. Iru berdecih sebal. “Hei! Kubilang jangan, ya jangan! Kenapa sih? Belum waktunya, daripada menyusahkan –hei! HEII!”
Selagi Iru meracau tidak jelas, gadis itu berhasil membuatnya meluncur ke bawah, sebelum akhirnya kembali tertahan karena tangan Iru.
Ah sial!
Iru yang awalnya tidak mau bersentuhan dengan si gadis, terpaksa merasakan lembutnya telapak tangan yang sekarang pemiliknya menatapnya benci.
“LEPAS!”
Iru semula terdiam, langsung tersadar. Tatapan tidak fokusnya membalas manik mata si gadis.
“Hei,” suaranya tajam tapi halus. “Aku tidak tahu bagaimana kata-kata yang tepat untuk situasimu saat ini –aku tidak pandai basa-basi. Yang jelas, kamu sudah terlahir di dunia ini, di waktu ini. Tidak ada satupun jiwa yang terlahir sia-sia.”
Sekarang tidak ada pergerakan yang berarti dari mereka berdua. Iru cepat-cepat menarik gadis itu ke atas dan membebaskan tangannya. Ia hampir ambruk, tapi segera disandarkan Iru di pagar jembatan, berhati-hati agar tidak menyentuh kulitnya. Tatapan mata Iru masih kosong. Iru menelan ludah, merasa lelah mengingat ia sudah menggunakan banyak energinya, baik fisik maupun bukan.
“Kenapa?” Tanya si gadis lirih. “Biarkan saja, aku tidak perlu hidup. Aku hanya jadi beban, dan tidak akan ada yang sadar kalau aku mati. If Insufferable has a name, it would be Soraya. It would be me.”
“Hei… dengar,” Suara Iru melembut. “Meskipun kamu merasa insufrrr apalah itu, hidupmu tetap punya arti. Bisa jadi kamu adalah kesempatan, pelajaran, berkah, dan sesuatu yang berharga untuk orang lain… Kamu adalah kesempatan, pelajaran, berkah dan berharga untuk dirimu sendiri.”
Soraya terisak. Iru membuang wajah. Apakah ia terlalu ikut campur urusan manusia? Apakah ia mengubah takdir?
“Kamu itu berharga, kamu itu indah. Kamu kuat, dan percayalah, the pain would be over. ” Luluh Iru karena mendengar tangisan Soraya. Masa bodoh dengan takdir, memangnya Iru siapa, bisa dengan mudah membelokkan jalan hidup seseorang? He is just a speck of dust, Iru yakin tangan Tuhan lebih besar daripada eksistensinya.
Iru memandangi gadis yang sekelebat muncul di penglihatannya tadi. “Blue chrysanthemum.”
Iru tersenyum. Kemudian menyingkir dari sana ketika tenaga medis menemukan si gadis.
Tidak ada yang bisa Soraya gunakan untuk mengadu.
Teman-temannya maupun gurunya berusaha untuk tidak terlibat dengannya. Bicara seperlunya, menatap seperlunya, memanggil seperlunya, semuanya. Awalnya Soraya berterimakasih atas ‘tenggang rasa’ dan ‘toleransi’ yang ia terima. Namun lama-kelamaan, Soraya paham situasi.
Bukan rahasia kalau ibu Soraya adalah penyanyi yang terkenal bukan karena karya-karyanya. Siapa yang tidak mengenalinya? Seantero negeri paling tidak pasti pernah satu kali mendengar namanya. Dari berita, dari radio-radio, dari mulut ke mulut. Sejak debut, ia sudah mulai membuat sensasi. Berkencan dengan orang-orang penting, bersikap ‘manja’ dan meladeni jokes-jokes tidak bermutu, diundang ke acara-acara yang membuat bibir orang gatal kalau tidak membicarakannya.
Tapi Soraya hanya diam karena toh, Ibunya tidak mentelantarkannya. Dengan uang yang ibunya hasilkan, Soraya masih bisa hidup nyaman dan kebutuhannya terpenuhi.
But despite all of that, Soraya merasa kehidupan sosialnya kacau balau, apalagi kalau nama ibunya mulai muncul ke permukaan. Desas-desus, kasak-kusuk, semua sudah Soraya alami. Namun puncaknya, adalah ketika Ibunya menikah lagi dengan keluarga konglomerat yang terkenal dengan kekayaannya, yang baru saja menceraikan istrinya dua minggu sebelum kabar pernikahannya terbarunya.
Sejak saat itu banyak teori yang menyebutkan kalau Ibu Soraya penyebabnya, dan mereka tidak tinggal diam dengan kabar hangat yang selalu tersaji di meja makan mereka. Cukup mengenyangkan sampai Ibu Soraya membuat kabar lagi.
Ibunya tidak peduli, dan ayah tirinya masih bertahan asal bisnisnya tak goyah. Sayangnya Soraya tidak.
Agar tidak mengganggu, Soraya di titipkan di sekolah asrama. Soraya dianggap ‘tidak ada’. Ternyata budaya itu terbawa dari rumah sampai kemanapun Soraya pergi. Tidak tahu yang mulai siapa, entah itu dari keluarga ayahnya terdahulu –yang jelas memiliki kuasa lebih dari Soraya, atau memang takdirnya seperti itu.
Kesepian. Sendirian.
Soraya lelah, ia muak. Gadis itu tahu dia bisa melakukan lebih baik dari ini, tapi segala cara sudah ia lakukan dan tidak ada yang benar-benar berhasil. Soraya membuang pandangannya keluar jendela, merutuki kelap-kelip lampu penerangan proyek besar negaranya di ujung jembatan yang mereka lewati.
Seharusnya, study tour ini menyenangkan. Soaraya sudah menanti-nanti kunjungan mereka ke situs sejarah favoritnya, berdiskusi secara langsung dengan narasumber terdekat yang memahami topik mengenai budak tidak dikenal yang kelak menjadi titik awal pergerakan kemerdekaan negaranya. Namun itu sama sekali lewat begitu saja dari benak si gadis. Padahal biasanya Soraya sangat penasaran tentang sosok si budak yang sampai sekarang tidak ada informasi resmi. Hanya disebut ‘budak’ dan catatan tempat ia bertuan saja, tidak ada asal usul dan dimana ia berada terakhir kali.
Hal-hal yang ia sukai mulai terasa hambar untuknya. Mungkin karena kepala Soraya pening cancelling her worsening surrounding.
Tapi kali ini Soraya benar-benar merasakan kepalanya sakit karena terantuk kaca di sampingnya, Bis mulai bergerak tak terkendali, terbolak-balik di jalanan sebelum kemudian terbanting di sisi jembatan. Soraya berusaha bangkit ketika terdengar suara ledakan dan teriakan. Soraya merintih, memberi tanda kalau ia masih hidup, tapi nihil. Tak ada yang mendengar, ataupun menolongnya. Suaranya ternggelam di tumpukan tas dan kantung plastic yang menimpanya.
Baru Soraya sadari punggungnya beralaskan kaca jendela bis yang kalau ia bergerak sedikit saja maka –
KRAK!
–retak. Tak butuh waktu lama sampai kaca itu benar-benar pecah dan membiarkan tubuhnya terjun bebas ke arah sungai. Ia tersenyum.
Mungkin memang lebih baik begini.
---
Iru menghela napas panjang, lumayan lelah. Hari ini tugas ‘mengikuti’nya sudah selesai dan ia baru saja mengantarkan ‘klien’ ke perjalanan panjangnya. Sebenarnya Iru bisa saja berteleportasi langsung menuju rumah, tapi ia urungkan dan lebih memilih beristirahat sebentar menikmati angin malam dari tower tertinggi di kota itu. Letaknya di pinggir sungai, dan merupakan salah satu prasarana dari proyek besar negara mereka. Iru meletakkan topinya di samping, lalu meregangkan tubuhnya. Lumayan segar.
“Hoi.” Bahunya ditepuk. Iru menoleh, mendapati Bin tersenyum sampai matanya menghilang. “Hari yang panjang?”
“Begitulah, ada sedikit kegaduhan, tapi itu sudah biasa.” Sahut Iru. “Sepertinya akan ada yang terjadi?”
Bin mengangguk. “Bis itu,” Bin menunjuk bis rombongan study tour yang tertinggal di belakang, yang baru saja memasuki jembatan. “Bannya selip, supir mengantuk, kurang lebih.”
“Ooh…”
Sedetik kemudian laka itu terjadi. “Duluan ya, aku mau menjemput tuan putri yang isi kepalanya tidak ada bedanya dengan kotoran Opi.” Iru terkekeh mendengar nama kucing kesayangan Bin disebut.
Iru mendapati beberapa kawannya mendekati bis itu, seperti Bin. Beberapa dari mereka sudah menjemput tugasnya, seperti Bin.
Tapi Iru mendapati hal yang ganjil. Masih ada satu orang lagi yang harus dijemput, tapi kawan-kawannya sudah habis. Iru memeriksa kantungnya, siapa tahu ada kartu dadakan yang muncul. Nihil.
“Apakah dia akan selamat?”
Iru mengamati gadis yang tidak bergerak, tergantung lemas karena ujung hoodienya tersangkut di besi penyangga jembatan. Lumayan stabil sih, mungkin gadis itu bisa bertahan sampai bantuan datang.
Tapi Iru terbelalak ketika tangan si gadis berusaha melepaskan penahannya.
Tidak boleh, setidaknya tidak boleh terjadi di depan Iru atau ia harus menulis laporan panjang sebagai saksi kejadian tidak terduga.
Iru mengenakan lagi topinya dan segera melesat mendekat, dan berjongkok di atas besi tempat gadis itu tergantung.
“Jangan,” hanya suara Iru yang terdengar, membuat gadis itu memutar kepalanya lemah. Iru melepas topinya, sehingga mereka berdua bisa saling tatap sekarang. “Jangan, kumohon.”
“Siapa…?”
“Uh…” Iru menggaruk pelipisnya. Bingung. “Bukan siapa-siapa sih tapi kumohon, jangan ya, bertahan, please.”
Gadis itu menatapnya datar, kemudian tetap melanjutkan usahanya. Iru berdecih sebal. “Hei! Kubilang jangan, ya jangan! Kenapa sih? Belum waktunya, daripada menyusahkan –hei! HEII!”
Selagi Iru meracau tidak jelas, gadis itu berhasil membuatnya meluncur ke bawah, sebelum akhirnya kembali tertahan karena tangan Iru.
Ah sial!
Iru yang awalnya tidak mau bersentuhan dengan si gadis, terpaksa merasakan lembutnya telapak tangan yang sekarang pemiliknya menatapnya benci.
“LEPAS!”
Iru semula terdiam, langsung tersadar. Tatapan tidak fokusnya membalas manik mata si gadis.
“Hei,” suaranya tajam tapi halus. “Aku tidak tahu bagaimana kata-kata yang tepat untuk situasimu saat ini –aku tidak pandai basa-basi. Yang jelas, kamu sudah terlahir di dunia ini, di waktu ini. Tidak ada satupun jiwa yang terlahir sia-sia.”
Sekarang tidak ada pergerakan yang berarti dari mereka berdua. Iru cepat-cepat menarik gadis itu ke atas dan membebaskan tangannya. Ia hampir ambruk, tapi segera disandarkan Iru di pagar jembatan, berhati-hati agar tidak menyentuh kulitnya. Tatapan mata Iru masih kosong. Iru menelan ludah, merasa lelah mengingat ia sudah menggunakan banyak energinya, baik fisik maupun bukan.
“Kenapa?” Tanya si gadis lirih. “Biarkan saja, aku tidak perlu hidup. Aku hanya jadi beban, dan tidak akan ada yang sadar kalau aku mati. If Insufferable has a name, it would be Soraya. It would be me.”
“Hei… dengar,” Suara Iru melembut. “Meskipun kamu merasa insufrrr apalah itu, hidupmu tetap punya arti. Bisa jadi kamu adalah kesempatan, pelajaran, berkah, dan sesuatu yang berharga untuk orang lain… Kamu adalah kesempatan, pelajaran, berkah dan berharga untuk dirimu sendiri.”
Soraya terisak. Iru membuang wajah. Apakah ia terlalu ikut campur urusan manusia? Apakah ia mengubah takdir?
“Kamu itu berharga, kamu itu indah. Kamu kuat, dan percayalah, the pain would be over. ” Luluh Iru karena mendengar tangisan Soraya. Masa bodoh dengan takdir, memangnya Iru siapa, bisa dengan mudah membelokkan jalan hidup seseorang? He is just a speck of dust, Iru yakin tangan Tuhan lebih besar daripada eksistensinya.
Iru memandangi gadis yang sekelebat muncul di penglihatannya tadi. “Blue chrysanthemum.”
Iru tersenyum. Kemudian menyingkir dari sana ketika tenaga medis menemukan si gadis.
=============================
klik di sini untuk daftar isi
klik di sini untuk ke part selanjutnya
=============================
Comments
Post a Comment