“Bunga Soraya ya… Hmm…” Perempuan paruh baya itu menurunkan kacamatanya sejenak, mengamati paras Soraya yang menegang. “Sebelumnya sudah pernah bertemu dengan Iru, kan?”
Soraya mengangguk. Iru bersiap membela diri namun dicegah
Kai, menurutnya tak sopan berbicara sebelum dipersilakan ketua cabang. Tapi
perempuan itu mempersilakan Iru menyampaikan pendapatnya. Kai mengangguk
takzim.
“Saat itu, kebetulan saya ada di lokasi kecelakaan. Semua
pendamping maut sudah selesai menjemput dan kondisi di sana kosong. Saya juga
cek kalau-kalau mendapat tugas mendadak, tapi tidak ada. Soraya dalam keadaan
genting, dan nyawanya dalam bahaya. Saya hanya tidak ingin ada yang mendahului
waktu… setidaknya di hadapan saya.” Iru mencicit di akhir kalimatnya.
“Maka dari itu kamu menyelamatkannya?”
Iru mengangguk.
“Terdeteksi ada pengeluaran energi yang melebihi batas
rata-rata pendamping maut saat bertemu manusia. Tindakan apa saja yang kamu
tempuh saat itu, Iru?”
“Uh…” Iru bingung menjawabnya. Pengeluaran energinya besar
karena ia tak sengaja menyentuh kulit Soraya dan membuatnya melihat masa lalu
Soraya. “… Dalam rangka menahannya agar tidak terjatuh ke sungai, dan
menariknya ke atas?”
Ketua menelisik, Iru mengangguk-angguk canggung. “… Lalu membawanya
ke tempat yang aman di atas jembatan.”
“Oke…” Ujar Ketua akhirnya, paham maksud Iru. “Kamu bisa
saja membiarkannya terjun dan menjalani pilihannya sendiri, kenapa kamu
mencegah?”
“Waduh…” Gumam Kai kecil, hampir tidak terdengar kecuali
oleh Soraya yang duduk di belakang Kai.
Iru mematung. Kenapa ya? Etis tidak ya kalau bilang dia
hanya tidak ingin membuat laporan panjang yang susah di acc oleh penjaga
gerbang kerak berapi?
Tapi malah jadinya
serumit ini masalahnya.
“Kenapa kamu membantunya?”
“Mohon maaf, saya bukannya membantu, tapi saya hanya mencoba
meluruskan kalau belum waktunya dia dijemput…”
“Padahal kalaupun dia nyemplung
bukan berarti dia tidak selamat, lho.”
DAMN.
Kai dan Iru saling berpandangan. Lah… iya juga ya…
Ketua terkikik. “Ya terlepas dari kejadian sepuluh tahun
yang lalu itu, kejadian hari ini tetap anomali. Jarang muncul, bahkan hampir
tidak pernah. Saya baru pertama kali menemukan kasus seperti ini. Bisa saja,
kedua kejadian tersebut berkaitan, bisa jadi tidak.” Ketua membereskan
berkas-berkasnya.
“Untuk hasilnya kami diskusikan lagi sambil diadakan
penelitian lebih lanjut. Kai, kamu stand
by ya? Lalu Iru, karena sudah seperti ini, Soraya kami titipkan padamu
dulu.”
“Baik ketua…” Iru mendengus pasrah.
“Mengenai status Soraya bagaimana, ketua?” Kai memastikan. “Meskipun
dia sudah menaiki perahu, tapi dia tidak berkartu. Jadi belum ada dokumen resmi
yang menyatakan kalau dia sudah mati.”
Gerakan ketua berhenti sejenak, kemudian, “biar seperti ini
dulu. Toh, dia sudah tidak bisa kembali lagi ke tubuhnya. Pemakamannya sudah
selesai, dan fisiknya sudah dikembalikan ke semesta. Selanjutnya biar ketua
batang yang nanti berdiskusi dengan ketua pohon.”
Kai mengangguk, Iru menunduk, dan Soraya terantuk hatinya
mendengar pemakamannya sudah selesai.
---
“Syukurlah kamu tidak dapat sanksi.” Kata Bin sambil menyeruput kopi dinginnya. Saat ini mereka sedang ada di kafe terdekat dari apartemen. Bin yang traktir karena sepertinya Iru dan lainnya butuh 'penyegaran'.
Iru tidak mengangguk atau menggeleng. Ia mengerang
frustasi sambil menandaskan es coklatnya sampai setengah. Kai menghampiri membawa
nampan berisi roti lapis dan teh susu untuk Soraya dan dirinya.
“Ya pokoknya dijaga betul-betul ya, Soraya. Statusnya masih
abu-abu. Dia tidak mati, tapi sudah tidak bisa kembali ke dunia. Posisinya
rawan dimanfaatkan siapa saja.” Kai meletakkan roti lapis di hadapan Soraya. “Tapi
kamu masih bisa makan kok.”
Orang-orang di sekitar mereka bingung dengan siapa Kai
berbicara karena yang mereka lihat hanya tiga orang pemuda tampan dengan topi
di samping mereka serta satu kursi kosong. Kursi kosong yang sebetulnya
diduduki Soraya.
Soraya dengan cepat memasukkan roti itu ke mulutnya, sampai
belepotan makannya. Tak terasa ia sangat lapar. Bin terkekeh, menyodorkan tisu
sambil menunjuk-nunjuk bibirnya sendiri. Soraya tersipu.
“Aneh betul. Iru yang biasanya lempeng dan tidak aneh-aneh,
sekalinya dapat masalah justru besarnya seperti ini.” Kai memulai pembicaraan.
“Nah itu, aku hanya ingin menghabiskan masa pengabdianku
dengan tenang sampai tiba pembaruan nanti. Ternyata ada saja sandungannya.”
“Pembaruan? Kamu mau mengabdi lagi?” Kai bingung. Ia saja
ingin cepat-cepat selesai masa tugasnya. Kedua rekannya itu memang sepertinya berbeda.
Siapa sih yang ingin terus-terusan jadi pengabdi? Mereka tidak punya identitas
yang berarti, tapi mereka memiliki keinginan manusia. They can wander in human realm, but they aren’t alive. Mereka haus
akan sentuhan kehidupan, ingin menjadi manusia lagi.
Tapi Iru dan Bin justru menghindari hidup seperti manusia
dan memilih mengasingkan diri dengan menjadi pengabdi.
“Jadi kalian pencabut nyawa?” Soraya angkat bicara. Ketiga
atensi pria itu terarah padanya.
“Kami lebih suka disebut pendamping, sih. Kami kan, tidak
kuasa mencabut nyawa. Kami Cuma memandu manusia menuju kehidupan mereka
selanjutnya.” Bin menjelaskan sambil tersenyum. Ia senang mendengar suara
Soraya. Setelah suara teriakannya ketika bertengkar dengan Iru di apartemennya, ini pertama kali Soraya membuka mulut.
“Ooh…”
“Tapi kamu hebat lho, sampai sebegitunya berkorban untuk
kehidupan anakmu. Aku harap anakmu tumbuh besar memenuhi harapanmu.”
“Aku… juga takut kok. Tapi aku lebih takut lagi kalau tahu
anakku tidak bisa hidup. Harapanku hanya semoga dia sehat selalu.”
“Iya… semoga dia sehat selalu.”
Iru yang mendengar percakapan keduanya yang masih
berlangsung mendecih pelan, tidak mau mengganggu Bin dan Soraya. Apa dia tidak
salah tangkap? Berarti apa doa dari seorang pendamping maut?
“Kamu kenapa memutuskan untuk menyelamatkannya, sih?” Kai
penasaran tentang klien yang dulu ia jemput itu, bagian mana dari peraturan ‘dilarang
membantu manusia’ dan ‘dilarang terlibat dalam urusan manusia’ yang tidak Iru
mengertinya.
Iru membuang napas gusar. “Bukan begituu, aku pikir karena
dia akan melakukan sesuatu yang menyalahi takdirnya, mendahului waktunya.
Makanya –“
“Tapi kan, kamu bisa hiraukan saja. Kalaupun menulis laporan
juga tidak terlalu rumit.”
Iya juga ya…? Kenapa
ya?
Apakah karena ia tidak mau melihat Soraya dalam bahaya? Apakah
hatinya tergerak karena tidak tega melihat gadis mungil itu tersiksa?
Atau karena ia memang benar-benar benci melalui prosedur ‘unpredictable action’ meskipun hanya sebagai saksi?
“Atau kamu masih belum selesai dengan Ash?”
Nah iya, mungkin itu. Tiap
kali Ash, si penjaga kerak berapi itu melihat Iru, tatapannya seolah ingin
melahapnya. Seolah Iru tak pantas berkeliaran, dan lebih layak dijadikan bahan
bakar kobaran api abadi yang ia jaga. Dulu Ash yang paling menentang Iru
menjadi pengabdi, tapi untungnya Kai lihai berbicara meyakinkan petinggi
lainnya kalau –katanya, kematian Iru itu ‘wajar’.
“Iya mungkin itu.” Jawab Iru sekenanya. “Ash menyeramkan
tahu. Wajahnya saja menggemaskan tapi tingkahnya menyengsarakan.”
Kai terkekeh. Tapi kemudian terdiam. “Bagaimana nasib ketiga
orang itu, ya?”
Iru melirik Kai, lalu melirik Soraya yang masih mengobrol
dengan Bin. “Ya hidup, memang mereka bisa apa lagi?”
---
Setelah kejadian perahu kembali itu, ada tiga ruangan yang
mengalami keajaiban yang tidak akan pernah penghuninya lupakan selamanya.
1. Ruangan Adhyatma dan istrinya awalnya sepi.
Pasangan suami istri itu tidak bisa mengeluarkan suara
sedikitpun, seakan menunggu sebuah suara memecah keheningan. Nyonya Adhyatma
diam saja Ketika dokter meminta suster membantunya ‘menyelesaikan’ prosesi
kelahiran anak satu-satunya keluarga Adhyatma itu.
Tapi kemudian keheningan mencekam itu pecah oleh suara
raungan malaikan kecil mereka. Adhyatma dan istrinya ikut menangis Ketika
mendengan isak tangis bayi memenuhi ruangan.
2. Ruangan tempat keluarga Wardhana terasa dingin dan gelap.
Dokter dan suster sama sibuknya, tapi kemudian penuh dengan
helaan napas. Di sudut sana mereka bernapas lega, di tengah ruangan justru
sebaliknya.
Aris Utama Wardhana hanya menatap layar yang menunjukkan
detak jantung yang menghilang. Suara ngiiing diiringi tangisan bayi memenuhi
ruangan atas nama ibu Soraya Oktavia. Dokter yang ada di situ menghela napas
pasrah, kepalanya menunduk tak berani menatap Wardhana yang baru saja
kehilangan istrinya dan mendapatkan Kembali anak pertamanya. Wardhana
menggenggam tangan Soraya yang sebelumnya masih merespon dengan menggenggam
tangannya tak kalah erat.
“Sayang…” Wardhana mulai menangis. “Bayi kita selamat… bayi
kita…”
3. Sementara ruangan terakhir, terisi penuh dengan harapan
yang pecah membuncah meluber-luber, dan menurut orang-orang di dalamnya, mereka
mengalami mukjizat.
Kedua orang yang dianggap sudah tidak bisa tertolong
tiba-tiba Kembali. Bayi perempuan mereka menangis, dan suara monitor mulai
terdengar merdu di telinga dokter dan suster di ruangan itu. Ayah sekaligus
suami itu berlutut, tangannya mengepal, pertama kali menyebut nama Penciptanya.
Comments
Post a Comment