TL : 5. But, Why?

“Bunga Soraya ya… Hmm…” Perempuan paruh baya itu menurunkan kacamatanya sejenak, mengamati paras Soraya yang menegang. “Sebelumnya sudah pernah bertemu dengan Iru, kan?”

Soraya mengangguk. Iru bersiap membela diri namun dicegah Kai, menurutnya tak sopan berbicara sebelum dipersilakan ketua cabang. Tapi perempuan itu mempersilakan Iru menyampaikan pendapatnya. Kai mengangguk takzim.

“Saat itu, kebetulan saya ada di lokasi kecelakaan. Semua pendamping maut sudah selesai menjemput dan kondisi di sana kosong. Saya juga cek kalau-kalau mendapat tugas mendadak, tapi tidak ada. Soraya dalam keadaan genting, dan nyawanya dalam bahaya. Saya hanya tidak ingin ada yang mendahului waktu… setidaknya di hadapan saya.” Iru mencicit di akhir kalimatnya.

“Maka dari itu kamu menyelamatkannya?”

Iru mengangguk.

“Terdeteksi ada pengeluaran energi yang melebihi batas rata-rata pendamping maut saat bertemu manusia. Tindakan apa saja yang kamu tempuh saat itu, Iru?”

“Uh…” Iru bingung menjawabnya. Pengeluaran energinya besar karena ia tak sengaja menyentuh kulit Soraya dan membuatnya melihat masa lalu Soraya. “… Dalam rangka menahannya agar tidak terjatuh ke sungai, dan menariknya ke atas?”

Ketua menelisik, Iru mengangguk-angguk canggung. “… Lalu membawanya ke tempat yang aman di atas jembatan.”

“Oke…” Ujar Ketua akhirnya, paham maksud Iru. “Kamu bisa saja membiarkannya terjun dan menjalani pilihannya sendiri, kenapa kamu mencegah?”

“Waduh…” Gumam Kai kecil, hampir tidak terdengar kecuali oleh Soraya yang duduk di belakang Kai.

Iru mematung. Kenapa ya? Etis tidak ya kalau bilang dia hanya tidak ingin membuat laporan panjang yang susah di acc oleh penjaga gerbang kerak berapi?

Tapi malah jadinya serumit ini masalahnya.

“Kenapa kamu membantunya?”

“Mohon maaf, saya bukannya membantu, tapi saya hanya mencoba meluruskan kalau belum waktunya dia dijemput…”

“Padahal kalaupun dia nyemplung bukan berarti dia tidak selamat, lho.”

DAMN.

Kai dan Iru saling berpandangan. Lah… iya juga ya…

Ketua terkikik. “Ya terlepas dari kejadian sepuluh tahun yang lalu itu, kejadian hari ini tetap anomali. Jarang muncul, bahkan hampir tidak pernah. Saya baru pertama kali menemukan kasus seperti ini. Bisa saja, kedua kejadian tersebut berkaitan, bisa jadi tidak.” Ketua membereskan berkas-berkasnya.

“Untuk hasilnya kami diskusikan lagi sambil diadakan penelitian lebih lanjut. Kai, kamu stand by ya? Lalu Iru, karena sudah seperti ini, Soraya kami titipkan padamu dulu.”

“Baik ketua…” Iru mendengus pasrah.

“Mengenai status Soraya bagaimana, ketua?” Kai memastikan. “Meskipun dia sudah menaiki perahu, tapi dia tidak berkartu. Jadi belum ada dokumen resmi yang menyatakan kalau dia sudah mati.”

Gerakan ketua berhenti sejenak, kemudian, “biar seperti ini dulu. Toh, dia sudah tidak bisa kembali lagi ke tubuhnya. Pemakamannya sudah selesai, dan fisiknya sudah dikembalikan ke semesta. Selanjutnya biar ketua batang yang nanti berdiskusi dengan ketua pohon.”

Kai mengangguk, Iru menunduk, dan Soraya terantuk hatinya mendengar pemakamannya sudah selesai.

---

“Syukurlah kamu tidak dapat sanksi.” Kata Bin sambil menyeruput kopi dinginnya. Saat ini mereka sedang ada di kafe terdekat dari apartemen. Bin yang traktir karena sepertinya Iru dan lainnya butuh 'penyegaran'.

Iru tidak mengangguk atau menggeleng. Ia mengerang frustasi sambil menandaskan es coklatnya sampai setengah. Kai menghampiri membawa nampan berisi roti lapis dan teh susu untuk Soraya dan dirinya.

“Ya pokoknya dijaga betul-betul ya, Soraya. Statusnya masih abu-abu. Dia tidak mati, tapi sudah tidak bisa kembali ke dunia. Posisinya rawan dimanfaatkan siapa saja.” Kai meletakkan roti lapis di hadapan Soraya. “Tapi kamu masih bisa makan kok.”

Orang-orang di sekitar mereka bingung dengan siapa Kai berbicara karena yang mereka lihat hanya tiga orang pemuda tampan dengan topi di samping mereka serta satu kursi kosong. Kursi kosong yang sebetulnya diduduki Soraya.

Soraya dengan cepat memasukkan roti itu ke mulutnya, sampai belepotan makannya. Tak terasa ia sangat lapar. Bin terkekeh, menyodorkan tisu sambil menunjuk-nunjuk bibirnya sendiri. Soraya tersipu.

“Aneh betul. Iru yang biasanya lempeng dan tidak aneh-aneh, sekalinya dapat masalah justru besarnya seperti ini.” Kai memulai pembicaraan.

“Nah itu, aku hanya ingin menghabiskan masa pengabdianku dengan tenang sampai tiba pembaruan nanti. Ternyata ada saja sandungannya.”

“Pembaruan? Kamu mau mengabdi lagi?” Kai bingung. Ia saja ingin cepat-cepat selesai masa tugasnya. Kedua rekannya itu memang sepertinya berbeda. Siapa sih yang ingin terus-terusan jadi pengabdi? Mereka tidak punya identitas yang berarti, tapi mereka memiliki keinginan manusia. They can wander in human realm, but they aren’t alive. Mereka haus akan sentuhan kehidupan, ingin menjadi manusia lagi.

Tapi Iru dan Bin justru menghindari hidup seperti manusia dan memilih mengasingkan diri dengan menjadi pengabdi.

“Jadi kalian pencabut nyawa?” Soraya angkat bicara. Ketiga atensi pria itu terarah padanya.

“Kami lebih suka disebut pendamping, sih. Kami kan, tidak kuasa mencabut nyawa. Kami Cuma memandu manusia menuju kehidupan mereka selanjutnya.” Bin menjelaskan sambil tersenyum. Ia senang mendengar suara Soraya. Setelah suara teriakannya ketika bertengkar dengan Iru di apartemennya, ini pertama kali Soraya membuka mulut.

“Ooh…”

“Tapi kamu hebat lho, sampai sebegitunya berkorban untuk kehidupan anakmu. Aku harap anakmu tumbuh besar memenuhi harapanmu.”

“Aku… juga takut kok. Tapi aku lebih takut lagi kalau tahu anakku tidak bisa hidup. Harapanku hanya semoga dia sehat selalu.”

“Iya… semoga dia sehat selalu.”

Iru yang mendengar percakapan keduanya yang masih berlangsung mendecih pelan, tidak mau mengganggu Bin dan Soraya. Apa dia tidak salah tangkap? Berarti apa doa dari seorang pendamping maut?

“Kamu kenapa memutuskan untuk menyelamatkannya, sih?” Kai penasaran tentang klien yang dulu ia jemput itu, bagian mana dari peraturan ‘dilarang membantu manusia’ dan ‘dilarang terlibat dalam urusan manusia’ yang tidak Iru mengertinya.

Iru membuang napas gusar. “Bukan begituu, aku pikir karena dia akan melakukan sesuatu yang menyalahi takdirnya, mendahului waktunya. Makanya –“

“Tapi kan, kamu bisa hiraukan saja. Kalaupun menulis laporan juga tidak terlalu rumit.”

Iya juga ya…? Kenapa ya?

Apakah karena ia tidak mau melihat Soraya dalam bahaya? Apakah hatinya tergerak karena tidak tega melihat gadis mungil itu tersiksa?

Atau karena ia memang benar-benar benci melalui prosedur ‘unpredictable action’ meskipun hanya sebagai saksi?

“Atau kamu masih belum selesai dengan Ash?”

Nah iya, mungkin itu. Tiap kali Ash, si penjaga kerak berapi itu melihat Iru, tatapannya seolah ingin melahapnya. Seolah Iru tak pantas berkeliaran, dan lebih layak dijadikan bahan bakar kobaran api abadi yang ia jaga. Dulu Ash yang paling menentang Iru menjadi pengabdi, tapi untungnya Kai lihai berbicara meyakinkan petinggi lainnya kalau –katanya, kematian Iru itu ‘wajar’.

“Iya mungkin itu.” Jawab Iru sekenanya. “Ash menyeramkan tahu. Wajahnya saja menggemaskan tapi tingkahnya menyengsarakan.”

Kai terkekeh. Tapi kemudian terdiam. “Bagaimana nasib ketiga orang itu, ya?”

Iru melirik Kai, lalu melirik Soraya yang masih mengobrol dengan Bin. “Ya hidup, memang mereka bisa apa lagi?”

---

Setelah kejadian perahu kembali itu, ada tiga ruangan yang mengalami keajaiban yang tidak akan pernah penghuninya lupakan selamanya.

1. Ruangan Adhyatma dan istrinya awalnya sepi.

Pasangan suami istri itu tidak bisa mengeluarkan suara sedikitpun, seakan menunggu sebuah suara memecah keheningan. Nyonya Adhyatma diam saja Ketika dokter meminta suster membantunya ‘menyelesaikan’ prosesi kelahiran anak satu-satunya keluarga Adhyatma itu.

Tapi kemudian keheningan mencekam itu pecah oleh suara raungan malaikan kecil mereka. Adhyatma dan istrinya ikut menangis Ketika mendengan isak tangis bayi memenuhi ruangan.

2. Ruangan tempat keluarga Wardhana terasa dingin dan gelap.

Dokter dan suster sama sibuknya, tapi kemudian penuh dengan helaan napas. Di sudut sana mereka bernapas lega, di tengah ruangan justru sebaliknya.

Aris Utama Wardhana hanya menatap layar yang menunjukkan detak jantung yang menghilang. Suara ngiiing diiringi tangisan bayi memenuhi ruangan atas nama ibu Soraya Oktavia. Dokter yang ada di situ menghela napas pasrah, kepalanya menunduk tak berani menatap Wardhana yang baru saja kehilangan istrinya dan mendapatkan Kembali anak pertamanya. Wardhana menggenggam tangan Soraya yang sebelumnya masih merespon dengan menggenggam tangannya tak kalah erat.

“Sayang…” Wardhana mulai menangis. “Bayi kita selamat… bayi kita…”

3. Sementara ruangan terakhir, terisi penuh dengan harapan yang pecah membuncah meluber-luber, dan menurut orang-orang di dalamnya, mereka mengalami mukjizat.

Kedua orang yang dianggap sudah tidak bisa tertolong tiba-tiba Kembali. Bayi perempuan mereka menangis, dan suara monitor mulai terdengar merdu di telinga dokter dan suster di ruangan itu. Ayah sekaligus suami itu berlutut, tangannya mengepal, pertama kali menyebut nama Penciptanya.


=============================
klik di sini untuk daftar isi
klik di sini untuk ke part selanjutnya
klik di sini untuk ke part sebelumnya
=============================

Comments