Belinda berkali-kali mengecek arlojinya, menatap jarum panjang yang sudah berpindah angka dua kali. Gadis itu mengecek pesan di ponselnya dan menghembuskan napas pelan. Lagi-lagi kencan butanya gagal. Belinda mendesah keras, sedikit menyesal sudah mengakui kemampuan lebihnya di hari pertama, sampai membuat pria ini membatalkan janji kedua di H+10 menit.
Awalnya Belinda tidak mau bilang kalau dia istimewa, sampai sosok perempuan terus mengamati mereka di jendela kafe. Perempuan itu bahkan ikut duduk di sampingnya ketika nonton bioskop. Akhirnya, karena tingkah Belinda yang aneh, laki-laki itu jadi dapat informasi kalau Belinda memang 'sudah terkenal di antara teman-temannya'.
Belinda menggeleng sebal.
"Gagal lagi?" Xandra langsung muncul dan duduk di depan Belinda. Johnny mengikuti.
"Johnny, aku cantik tidak?" Tanya Belinda pada Johnny. Pria itu mengamati raut Belinda, dan mengangguk.
"Cantik, tapi kalau laki-laki itu penakut, cantiknya jadi tidak seberapa." Jawabnya.
Belinda melongo. "Kamu mau memuji, atau meledek?"
Johnny angkat bahu. "Anggap saja dua-duanya."
Xandra terkekeh melihat Belinda yang cemberut. "Ini sudah tiga kali!" Seru Belinda putus asa.
"Makanya kamu minta kami untuk mengawasi dari meja lain?" Tanya Johnny sambil membuka-buka menu. Belinda mengangguk.
"Yah, sabar saja. Pasti ada yang memang diciptakan untuk orang-orang sepertimu." Xandra menunjuk salah satu menu untuk dirinya, yang segera dicatat pelayan yang baru saja datang. "Seperti kita." Sambung Xandra.
"Memangnya apa yang salah dengan memiliki kemampuan seperti itu?" Tanya Johnny setelahnya pelayan meninggalkan meja mereka. "Menurutku itu keren."
"Tapi tidak bagi mantan calon-calon Belinda." Sambung Xandra.
"Tidak lucu." Sahut Belinda.
Selepasnya, mereka jadi tertawa sendiri. Mungkin ini bukan hari terbaik Belinda, tapi jadi lebih baik jika ada teman-temannya yang ada di sampingnya.
Pesanan mereka datang, pelayan meletakkan milik masing-masing. "Selamat menikmati!" Ujarnya ramah dan sopan, ditambah ekspresinya yang menyenangkan.
Selanjutnya mereka diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Kalau boleh tahu," kata Johnny melepas pandangan yang baru saja ia lemparkan keluar jendela. "Di situ ada sesuatu tidak?" Sambungnya sambil menunjuk ke perempatan dekat situ. Kafe ini letaknya di ujung, jadi dekat dengan lampu merah.
Xandra mengikuti ujung jari Johnny. "Hmm... Nothing specific, tho. Mungkin kalau kamu bilang ada apa, aku bisa bantu."
"Dulu, pertama kali aku datang ke sini, ada agen yang mengurus semua surat-surat domisili dan kependudukan, serta mengurus pendaftaran kuliahku." Kata Johnny. "Agenku sedang mengantarku menuju kampus ketika mobil yang kami tumpangi menabrak seseorang." Johnny mengatakan kata terakhir hampir berbisik. Xandra memberikan perhatian lebih sekarang.
"Agenku sudah berusaha membawanya ke rumah sakit, dan membayar taksi untuk aku pulang. Aku mendapat kabar kalau dia tidak selamat melalui telepon." Johnny menelan ludah. "Apa ada sesuatu yang bisa kamu temukan?"
Xandra menatap Johnny penuh atensi. "Tidak, tidak ada yang berhubungan dengan itu di sana." Jawab Xandra, kemudian terkekeh tidak percaya. "Wah... Ck, ck, ck, kalian memang rumit." Katanya lalu mengalihkan fokus ke minumannya.
Xandra diam saja melihat ekspresi Johnny yang masih belum pulih benar. Ingatan gadis itu jatuh pada keributan beberapa tahun lalu di situ.
Ketika orang-orang fokus pada bocah laki-laki yang terkapar tak berdaya di tengah jalan, Xandra dan Belinda mendapati murid perempuan berseragam sama yang telentang tak jauh dari situ. Kepalanya terbentur, ia tak sadarkan diri namun masih bernapas. Belinda membantu teman laki-laki dari para korban yang membeku melihat perempuan dan si bocah dalam kondisi seperti itu.
Namun, yang membuat Xandra lebih diam adalah ketika ia mendapati 'sosok' si bocah yang menatap perempuan dengan pandangan tak percaya.
"Rasha...." Panggilnya lirih dan putus asa.
"Beruntung keluarganya memilih diselesaikan dengan baik-baik. Tapi aku tetap merasa sangat tidak baik." Kata Johnny, membuyarkan lamunan Xandra.
"Yah, itu sudah masa lalu." Xandra menyeruput minumannya melalui sedotan, kemudian menambahi. "Toh, sepertinya dia sudah pergi dengan damai."
Johnny tersenyum samar, kemudian meminum es kopi sampai setengahnya.
"Ngomong-ngomong..." Belinda akhirnya buka suara. Xandra dan Johnny mendengarkan dengan serius. "Pelayan tadi... Siapa namanya? Seta?!" Seru Belinda ceria.
Xandra dan Johnny menatap Belinda tak percaya, kemudian tertawa. "Dasar pemburu cinta!" Seru Xandra.
"Maju terus, pantang mundur!" Sambung Johnny, kemudian tertawa. Juga merasa sedikit lebih baik.
---
Selanjutnya, aku dan Yudha menjalani hari seperti biasa. Terkadang kami menyalahkan diri kami masing-masing kalau ingat tentang Satria. Tapi kami juga saling mengingatkan tentang 'yang hidup yang harus melanjutkan', 'waktu tidak bisa diulang', dan 'penyesalan tidak membawa apa-apa'. Kami hanya bisa berdoa banyak-banyak untuk Satria.
Selain itu, kalian masih ingat Baeki ㅡscooter milik Yuta? Dia sudah dibetulkan oleh ayahku, tapi tetap saja. Orangtuaku tidak mengizinkanku mengendarainya sendiri. Sebagai ganti, ibuku meminta Yudha untuk menjadi 'sopir' pribadiku ketika aku akan memakai scooter itu. Pesan terakhir sebelum orangtuaku kembali mengurus bisnis di luar kota.
"Kenapa tidak sekalian kembalikan saja ke Yudha kalau begitu!" Protesku.
"Siap om, tante!" Sahut Yudha semangat, lalu nyengir. Aku meringis. Itu artinya, semakin banyak waktu bersama Yudha, dan semakin besar kesempatan Yudha untuk menggangguku.
Tapi ternyata tidak juga. Yudha memang masih suka usil, dan kami masih sering bertengkar meskipun tidak seheboh dulu. Yudha dan aku jadi makin sering terlihat bersama. Yudha akan selalu menunggu atau menjemput ketika aku ada kegiatan di kampus. Aku kadang juga menunggu Yudha, atau dia akan mengantarku pulang terlebih dulu ketika dia ada acara yang tidak bisa ditinggal.
Kami juga berdoa banyak-banyak untuk tahun terakhir kami di kampus. Syukurlah, aku dan Yudha bisa lulus lebih cepat dari perkiraan. Kami dapat pekerjaan, dan berada pada satu gedung yang sama meskipun perusahaan tempat kami bekerja berbeda.
Bahkan sampai sekarang pun, tradisi antar-mengantar Yudha masih berlaku. Kadang aku sebal, tapi di sisi lain aku sangat berterima kasih pada Yudha yang rela melakukannya dari dulu.
Hari ini juga begitu, kami pulang dari kantor lebih lama karena Yudha dan aku harus lembur. Hujan turun sangat deras. Kami terpaksa minggir dan berteduh di halte terdekat. Bahkan, di halte pun hujannya masih bisa mengenai kami. Tidak ada orang di sekitar –siapa yang mau keluar saat hujan-hujan begini?
"Dingin?" Tanya Yudha. Aku menggeleng. "Ya sudah, aku saja yang pakai." Katanya lagi lalu mengenakan jaketnya. Aku melongo, kemudian manggut-manggut paham dengan karakter Yudha yang memang seperti itu. Dingin sih, tapi aku masih bisa bertahan tanpa jaket.
Aku mengamati sekitar, dan pandanganku bertumbuk pada zebra cross dekat dengan lampu merah. Sudah sebelas tahun berlalu sejak pertemuanku dengan Satria terakhir kali, tapi aku masih sering teringat pada bocah pendiam di kelasku, dengan senyum hangat yang jarang dia tunjukkan pada orang lain.
Teringat pada tatapannya ketika melihatku diam-diam di kelas, tatapannya saat menyadari aku dapat melihatnya, tatapannya ketika dia mengucapkan selamat tinggal padaku. Memoriku terakses, dan seperti film, aku dapat melihat semuanya dengan jelas.
Ketika aku mendorong Yudha menjauh, dan ketika Satria justru mendorongku ke sisi satunya, menukar tempatku dengannya. Sampai ketika kepalaku terantuk dan semuanya jadi gelap. Tapi sebelumnya, aku masih menangkap senyum Satria yang menatapku lemah, lalu –
PLOK!
Yudha menyampirkan jaket di kepalaku, pandanganku ke zebra cross terhalang kain tebal dan indra penciumanku dipenuhi aroma Yudha.
"Apapun yang ada di kepalamu, jangan dilanjutkan." Katanya. "Aku tahu apa yang kamu pikirkan."
Aku menurunkan jaket, dan menadapati matanya menatapku lurus. "Iya..." Jawabku.
Yudha mengambil jaketnya dari tanganku, dan menyelimutiku dengannya. "Kalau dingin, bilang saja. Tidak perlu bohong kalau denganku."
Aku mengangguk, tidak tahu mau melihat kemana karena Yudha masih belum mau memutus tatapan dan matanya masih sejajar dengan mataku.
"Ng... Yudha..." Panggilku, maksudku biar tidak canggung. Tapi,
"Hm?" Jawab Yudha, yang menatapku penuh perhatian sekarang. Aduh, aku bisa merasakan degupan jantung di telingaku sekarang. Wajahku mulai memanas. Aku harap Yudha tidak bisa melihat rona merah yang aku yakin mulai muncul di pipiku.
Tapi sepertinya Yudha tahu, karena sekarang wajahnya justru lebih mendekat, seperti ingin meledekku. Aku sudah mau berontak ketika tiba-tiba wajahnya makin dekat. Matanya terpejam dan tiba-tiba bibirnya sudah menyapu bibirku.
Mataku terbelalak. Apa dia sedang bercanda?!
Tapi merasakan kecupannya yang lembut di bibirku, dan tangannya yang mulai merengkuh punggungku –membuatku terdorong ke arahnya... sepertinya dia serius.
Aku tidak tahu harus berpikir seperti apa saat ini. Maksudku... bukannya aku membencinya tapi aku tidak pernah melihat Yuta lebih dari teman. teman yang selalu ada saat masa sulit, teman yang selalu ada ketika aku membutuhkannya, teman yang selalu ada saat aku menginginkan sesuatu.
Teman yang...
Apakah perasaanku masih bisa disebut perasaan pada teman biasa?
Ketika aku melakukannya dengan Satria, yang aku rasakan hangat dan nyaman, seolah memang sudah semestinya begitu.
Tapi ketika dengan Yudha, aku merasa jantungku seperti ingin meledak. Perutku terasa geli, dan wajahku makin memanas ketika melihat matanya yang terpejam tepat di wajahku sekarang. Bibirnya dingin, masih menyapu bibirku yang lebih hangat. Entah kenapa memikirkannya saja sudah membuat kakiku lemas. Yudha menangkapku dengan sigap.
Matanya menatap mataku cemas. Kemudian dia melepaskan dirinya dariku.
"Astagaaa!" Dia menutup wajahnya, kemudian menjauh. Rambut basahnya sudah menjadi korban dari usapan kasar tangannya. Yudha melirikku yang masih diam memproses apa yang baru saja terjadi.
"A-aku minta maaf, tiba-tiba aku melakukannya!" Katanya panik. Aku masih diam, menunggu tindakan Yudha selanjutnya. "Aku benar-benar minta maaf! Betulan!"
Aku menarik napas dan menghembuskannya cepat. Menenangkan dadaku yang masih berdegup –justru lebih kencang dari tadi. "Uh, oke." Kataku pendek, lalu melirik Yudha, menunggu reaksinya.
Ekspresi apa itu di wajahnya? Putus asa? Haha, aku ingin tertawa melihat Yudha sekarang. Tapi aku berusaha memasang poker face untuk pertunjukkan yang lebih seru.
"Maaf aku... terbawa suasana." Dia menelan ludah. "Tapi bukannya aku tidak serius. Aku sungguhan kok! Tidak sedang bercanda apalagi main-main! Hanya saja... aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini... uh..." Yudha mengusap belakang kepalanya yang masih basah, hanya saja sudah tidak menetes airnya seperti tadi.
"Ooh... Iya..." Kataku berusaha setenang mungkin, tidak mau menatap wajahnya langsung karena aku mulai paham kemana arah pembicaraan ini. Dadaku masih berdebar tidak karuan, dan aku tidak mau Yudha tahu kalau aku mati-matian berusaha berdiri tegak dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Tapi masa sih? Seorang Yudha? Aku?
"Jadi...?" Tanyanya, matanya masih tidak lepas dariku. "Bagaimana denganmu?" Dari ekor mataku aku bisa menangkap Wajah Yudha yang sedikit-dikir melirik ke arahku dengan gugup.
"Bagaimana apanya?" Balasku, pura-pura tak acuh. Ya Tuhan, aku tidak tahu Yudha bisa sangat menggemaskan seperti ini.
"Urgh!" Yudha mengerang frustasi. Rambutnya dia acak-acak lagi. Aku tidak tahan sekarang untuk tidak tertawa. "Hujan sudah reda, ayo pulang!" Katanya kesal.
Aku berusaha menghiraukan rupa Yudha yang campur aduk antara putus asa, malu, sedih, marah, kesal... Ah, aku rasa aku sudah berlebihan. Makanya, aku tahan tangan Yudha, menariknya mendekat, dan
CUP.
Aku melakukan yang sama persis dengan Yudha. Bedanya kalau Yudha harus membungkuk, aku harus berjinjit dan mendongakkan kepalaku. Tanganku otomatis mengalung di lehernya, sekaligus untuk tumpuan kakiku yang mulai goyah.
Tapi tidak lama. Karena di sela-sela senyumannya, dia menyamakan tingginya denganku, lalu membimbingku masuk ke dalam pelukannya.
Okay, we're officially a couple now.
-------------------------------
pernah di post di wattpad.
klik ini untuk ke daftar isi.
klik ini untuk ke part selanjutnya.
klik ini untuk ke part sebelumnya
-------------------------------
Comments
Post a Comment