"Bu, indomie rebusnya dua!" Seruku begitu kami masuk dan duduk di warung mi yang buka sampai pagi itu. "Yang satu –!"
"Yang satu pakai sayur sama pakai telur tapi kuningnya tidak dipecah. Yang satu tidak pakai sayur dan telurnya diaduk. Dua-duanya pakai cabai, ya bu." Sambung Yudha sambil mendekat ke arah ibu penjual.
"Minumnya...?" Tanya suami si ibu yang baru saja masuk, sepertinya habis mengantar pesanan keluar.
"Es teh tawar dan teh manis hangat." Jawabku yang posisinya lebih dekat dari pintu.
Yudha mencomot salah satu gorengan yang tersaji, lalu menjulurkan piring berisi gorengan dan cabai ke arahku. Aku mengambil salah satu yang sama dengan Yudha.
"Urgh, tidak bisa tidur ternyata bikin lapar juga." Kataku sambil mengunyah. Yudha manggut-manggut menggigit cabai lalu duduk di depanku.
"Tidak bisa tidur karena Satria?"
"Tidak bisa tidur karena..." Kunyahanku melambat. "Karena aku merasa aku berhutang pada Satria. Hidupku sekarang ini bisa saja milik Satria, kan?"
Yudha terbatuk, dengan cepat meraih teh tawar miliknya yang diangsurkan oleh pak penjual. Selanjutnya kami diam. Ponsel pun rasanya tidak tepat untuk dikeluarkan saat ini. Kami merasa harus membicarakannya, tapi kami tidak tahu bagaimana cara yang tepat untuknya.
"Kalau kejadiannya dirunut, bisa saja yang berhutang itu aku." Kata Yudha pelan. Kepalanya menunduk sopan ketika menerima mi rebus dengan sayur milikku dan mi rebus tanpa sayur miliknya.
"Kalau dirunut lagi, bisa jadi kamu. Lebih jauh lagi, aku. Lebih, lebih, lebiiihh jauuh lagi bisa saja itu Satria sendiri." Kata Yudha sambil menyerahkan sendok dan garpu yang sudah diusap tisu padaku.
"Kejadian ini memang tragis, dan siapa saja bisa ditunjuk untuk bertanggung jawab. Bahkan mungkin Satria juga merasa bersalah karena melibatkan kamu, padahal dia berkorban untuk kamu juga." Yudha menyeruput mi nya. "Dan... aku juga bukannya tidak terlibat sama sekali, kan? Kalaupun Satria butuh menyalahkan seseorang, seharusnya aku yang lebih tepat jadi sasarannya."
"Kalau kejadiannya sudah begini, mau bagaimana lagi. Tidak ada yang bisa disalahkan, tidak ada yang benar juga." Katanya lagi sambil mengunyah mi nya.
Aku menyeruput kuah mi ku dengan sendok. Aku tidak tahu apakah aku setuju dengan kata-kata Yudha, tapi mendengarnya membuatku lebih tenang.
Aku menghela napas. Melanjutkan makan mi dengan menghabiskan kuahnya dulu. "Seperti yang tadi kamu bilang waktu di taman ya? waktu kita –"
"UHUK!" Yudha tersedak. Aku buru-buru mendekatkan gelas padanya. "Itu –HUK! Maksudku –!"
Aku menatap Yudha, menunggunya melanjutkan kata-katanya. Setelah agak tenang, dia melanjutkan. "Yyaah... penyesalan selalu datang terlambat kan? Sekarang aku bukannya bilang aku tidak menyesal sama sekali, tapi... memang tidak ada yang bisa kita lakukan. Lagipula, kamu menangis heboh seperti itu, bikin khawatir tahu! Aku pikir aku sedang menonton drama!"
"HAH! Alasan macam apa itu!"
Yudha menatapku kesal, lalu dia buang muka. Lebih memilih menekuni mi nya. Tapi kalau dilihat-lihat, telinganya jadi lebih merah. Oh, iya, saat dia mengatakannya tadi di taman, kami sedang berpelu... –
"APA LIHAT-LIHAT!" Serunya. Aku mendelik.
"SANTAI SAJA!" Aku tidak mau kalah.
Yudha mau mengambil sayur di mangkokku, tapi langsung kutepis dengan sendok. "Jangan coba-coba." Desisku.
"DASAR PELIT!"
"BIAR!"
Lalu kami sibuk makan mi. Yudha sudah habis duluan dan menyeruput kuahnya langsung dari mangkok, sedangkan aku baru akan menggarap helai-helai mi ku.
"Jadi kamu ingat karena tiba-tiba lihat Satria?" Tanyanya, lalu mengelap mulutnya dengan tisu. Aku mengangguk.
"Kok bisa?" Tanyanya lagi. Aku mengangkat bahu.
"Satria bilang apa?" Yudha memajukan kursi, dan menumpukan lengannya di meja. Wajahnya tak acuh, tapi matanya menagih jawaban padaku.
"Dia perlu menyelesaikan masalahnya di sini sebelum kembali ke sana."
"Masalah? Maksudnya bilang kalau dia suka kamu?"
Giliran aku yang tersedak. "H-Hah?"
"Di dunia ini, yang tidak tahu kalau kalian saling suka itu hanya kalian berdua sendiri. Pakai sok-sokan berpikir kalau kalian suka sendirian, kebanyakan sinetron." Jawabnya kalem tapi menusuk.
Aku menghabiskan mi sampai mangkokku bersih, lalu memukul kepalanya menggunakan sendok.
"ADUH!"
"Sembarangan!"
Aku dan Yudha jadi ribut saling menjulurkan sendok, sampai tiba-tiba ibu penjual meletakkan semangkuk bubur kacang hijau hangat dengan ketan hitam di meja kami. Aktivitas kami berdua sampai berhenti.
"Tapi bu, kami tidak pesan –!"
"Tidak apa-apa, ini ibu yang traktir! Kalau sama pacar sendiri itu yang rukun! Nih, dimakan sama-sama ya!" Kata ibu itu ceria, lalu melenggang pergi.
Aku dan Yudha melongo. Pertama, karena bubur ini. Kedua, karena kata-kata ibu barusan.
"Haha! Yyah... Itu bisa terjadi, salah paham." Aku mencicipi bubur itu dengan sendok. Manis, tapi ada yang kurang.
"Betul, bukannya sekali dua kali. Toh, sudah sering." Yudha mengikutiku mencicipi. "Hm, enak!"
"Tapi ada yang kurang." Bisikku. "Lebih enak kalau pakai es!"
Yudha memutar mata. "Tuh kan, tuh kan! Bisa tidak kamu makan tanpa kebiasaan yang aneh-aneh! Dapat darimana sih, yang seperti itu??"
Bibirku mengerucut. "Ya sudah! Santai saja!" Seruku.
Yudha menghela napas, lalu bangkit dan menuju tempat ibu penjual memasak pesanan pembeli lainnya. Ketika kembali, dia membawa mangkuk yang berisi es batu. Kemudian, Yudha menuang separuh bubur kacang hijau ke mangkuk es itu.
"Ini punyamu," Yudha mendorong semangkuk bubur dingin ke arahku. "Ini punyaku. Sudah beres, kan?"
"Ini baru mantap!" Aku mengangguk dan menyantap dengan lahap. Yudha sampai geleng-geleng kepala melihatnya.
"Lalu, kalian berdua mengobrol apalagi?" Tanya Yudha.
"Tentang bagaimana dia merebut takdirku...?" Jawabku sambil menghancurkan es batu di antara rahangku.
'Seharusnya dia menghadapi takdirnya sendiri...'
"Haha, tahu apa dia soal takdir? Hanya Tuhan yang bisa memutuskan." Yudha menatapku sambil mengunyah kacang hijau.
"Ya kan bisa jadi benar?"
Yudha menggeleng. "Mungkin dia berpikir dia hanya menjadi penghalangmu dengan takdirmu, tapi bagaimana kalau memang itu takdirnya? Menyelamatkanmu dan mengucapkan selamat tinggal... dengan cara yang begitu."
Aku menatapnya. Benar... bagaimana kalau sebenarnya itu takdirnya dan ini takdirku?
"Ah! Tidak tahu ah, aku pusing memikirkannya!" Aku menggelengkan kepala. Aku mau mengambil bubur kacang hijau dengan sendok ketika tiba-tiba Yudha mengadukkan sendokku dan sendoknya dengan keras.
"JANGAN COBA-COBA!" Serunya. Aku meringis, menyadari mangkok milik Yudha yang jadi target sendokku.
"Cuma sedikit..." Aku kembali menjulurkan sendokku.
"TADI KAMU YANG BILANG LEBIH ENAK KALAU PAKAI ES!" Serunya, kali ini lebih kencang. Sendoknya memukul dahiku.
"IYA-IYA AH DASAR PELIT!" Balasku kompetitif.
Yudha menggerutu tidak jelas. Aku manyun sambil menikmati bubur kacang hijau dinginku.
"Berarti... kamu sudah ingat semua?" Tanya Yudha, sedikit hati-hati. Aku memandang matanya, kemudian mengangguk.
Yudha manggut-manggut sambil mengusap kepalanya. "Berarti, kamu sudah tahu hubungan kita seperti apa dulu?"
Aku mengangkat bahu. "Memang kita ada hubungan? Sepertinya hanya kamu yang berisik, mengganggu, dan membuatku kesal setiap ada kesempatan."
"HE –Ish!" Serunya gemas. Aku tertawa.
"Iya, aku sudah ingat. Kita satu sekolah dari SD sampai sekarang, kan? Memoriku sudah dapat diakses lagi dengan mudah." Jawabku. "Kita memang satu sekolah, tapi, yah, itu tadi. Aku tidak berbohong ketika bilang kamu selalu menggangguku macam anak kecil setiap ada kesempatan."
Tiba-tiba keadaan jadi hening, dan suasana jadi sedikit lebih serius.
"Aku minta maaf." Kata Yudha, menatapku lurus. "Aku janji akan lebih dewasa, dan berhenti bertingkah bodoh terhadapmu. Aku tidak akan ingkar janji pada orangtuamu yang menitipkanmu sebelum mereka ke luar kota."
Aku melongo, kemudian bergidik. Merinding melihat Yudha yang seperti itu. "Iya, iya. Sudah ah, biasa saja."
Dia tidak menjawab, tapi senyum di wajahnya seperti membalas bibirku yang terangkat sampai rasanya hampir menyentuh telingaku.
pernah di post di wattpad.
klik ini untuk ke daftar isi.
klik ini untuk ke part selanjutnya.
Comments
Post a Comment