"Darimana Satria bisa tahu semua hal tentang kamu?! Kamu tidak curiga kalau dia penguntit?!"
Rasha menghela napas panjang demi mendengar tuduhan tidak berdasar Yudha.
"Kenapa sih kamu selalu negatif menilai orang?! Penguntit katamu?! Yang benar saja!" Rasha membuang muka sebal, malas berdebat dengan Yudha yang kepalanya lebih keras daripada batu –tidak menutup kemungkinan kalau hatinya juga.
"Bisa saja benar!" Yudha menjajari langkah Rasha. Mereka baru selesai belajar di tempat kursus. Langit sudah gelap, tubuh dan pikiran siswa kelas tiga SMA tentu sudah penat di masa-masa ini. Tapi Yudha tidak menyerah, dia terus mengikuti Rasha sampai gadis itu jengah dan menyerah. Rasha menatap Yudha tajam.
"Tidak!"
"Dia tahu kamu suka minuman cokelat kalengan pahit itu, dia tahu kamu tidak suka kopi, dia tahu kamu suka makan mi rebus tapi kuahnya duluan, dia tahu –"
"Bukannya yang seperti itu romantis?" Potong Rasha sebelum Yudha menyebutkan semua hal kecil tentang dirinya –yang memang tidak banyak orang yang tahu.
Yudha melotot memandang Rasha. "Kamu sungguhan?! Mana bisa yang seperti itu disebut romantis! Kalian berdua sama-sama aneh, tahu!"
Giliran Rasha yang memandang Yudha seolah ingin membunuhnya. "Kalau begitu jangan pedulikan kami! Kenapa sih dari kemarin kamu selalu saja ribut tentang Satria?! Kamu yang mencurigakan, tahu tidak?!"
Yudha melongo, tapi kemudian menjaga ekspresinya lagi. "Pokoknya! Jangan dekat-dekat Satria lagi!" Seru Yudha, tapi diabaikan Rasha. Gadis itu sudah berjalan duluan menuju pintu.
Yudha kesal setengah mati melihat Rasha yang jadi aneh hanya karena satu murid laki-laki di kelasnya, yang bahkan Yudha baru tahu kalau mereka sekelas beberapa bulan lalu. Rasha tidak pernah seperti ini sebelumnya, makanya Yudha jadi ingin marah sendiri. Ditambah Rasha yang jelas-jelas tidak peduli dengan Yudha, dia jadi tambah panas.
Yudha berjalan cepat menuju Rasha, dan menarik tas ranselnya agar langkahnya terhenti, tapi Rasha sampai terjatuh.
Rasha terkejut, tapi lebih terkejut lagi ketika roknya tersingkap dan menunjukkan bagian dalam yang seharusnya tidak boleh dilihat sembarangan.
"YUDHAA!!!!!" Pekik Rasha hampir menangis. Yudha terkesiap. Orang-orang di sekeliling mereka lihat, tapi tak acuh. Tak acuh untuk memandangi dan tak acuh untuk mengumpat karena mereka ribut.
"Ma-maaf, kamu tidak apa-ap–"
"ISH!" Desis Rasha kesal sambil berdiri, menepis tangan Yudha. "Aku benci kamu!" Ujarnya lalu pergi begitu saja, tidak menoleh-noleh lagi pada murid laki-laki yang berstatus sebagai teman sekolahnya sejak sekolah Dasar. Tapi catat, teman sekolah yang saangaat menyebalkan, tidak berhenti mengganggu Rasha, dan selalu berisik.
"Rasha –!" Seru Satria terkejut ketika Rasha tiba-tiba muncul di depan pintu dengan ekspresi berantakan. Rasha menggigit bibir.
'Duh, bukan saat yang tepat ubntuk bertemu Satria!'
Batin Rasha, lalu tanpa menghiraukan laki-laki yang menggenggam kaleng cokelat –dengan ekspresi bingung itu, dia pergi begitu saja.
Satria mengerutkan dahinya, mencerna apa yang sedang terjadi. Tak lama, Yudha juga keluar pintu dengan serampangan. Satria menahan lengan Yudha. "Rasha kenapa?"
Yudha menghempas tangan Satria kasar. "Ish! Bukan urusanmu!" Lalu menuruni tangga dan menyusul Rasha.
Ditanggapi begitu dengan Yudha, Satria hanya mengangguk paham. Tapi tiba-tiba, Yudha kembali dan mengacungkan telunjuk ke arah Satria. "SEMUA GARA-GARA KAMU!" Teriaknya, lalu secepat kilat berlari menyusul Rasha yang sekarang sudah menyeberang jalan.
Satria tambah bingung. "Bertengkar lagi?"
Yudha terduduk lesu, mengacak rambutnya. Malam sudah larut tapi kantuk tak kunjung mampir. Kejadian tahun lalu memenuhi kepalanya. Dia menghela napas panjang, lalu mengecek ponselnya.
Yudha menghela napas. Sepertinya yang merutuki malam ini bukan hanya dirinya sendiri.
---
Setelah peringatan satu tahun kematian Satria, malamnya aku tidak bisa tidur. Entah kenapa aku masih terngiang senyum di pigura hitam yang kulihat tadi siang. Seperti ada hutang yang harus kubayar pada wajah bahagia itu.
Setelah berjuang untuk memejamkan mata di kasur, aku menyerah. Entah sudah berapa kali aku membanting tubuhku ke kiri dan ke kanan. Tapi tidak ada sambutan baik dari alam bawah sadarku yang biasanya mampu membawaku untuk terlelap. Di saat seperti ini, aku langsung menghubungi Yudha dan memintanya bertemu di taman kompleks tempat tinggal kami.
Aku keluar ketika orang tuaku sudah tertidur. Mereka rela kembali ke sini dan menitipkan bisnis mereka pada orang terpercaya untuk menengok keadaanku pasca kejadian hipnoterapiku gagal. Pelan-pelan aku membuka pintu dan menutupnya lagi tanpa suara. Setelah beberapa saat, angin malam mulai menerpa wajahku. Dingin, tapi menyegarkan. Aku menghirup sebanyak mungkin udara yang aku bisa.
Sedikit pikiran mulai menggangguku.
"Seharusnya dia menghadapi takdirnya sendiri..."
Ucapan Satria saat itu. 'Dia' yang Satria maksud harusnya adalah aku, dan 'takdirnya' itu seharusnya takdirku.
"Tapi aku berdiri diantara mereka..."
Tapi tangan Satria membuatku menjauh dari takdirku sendiri, dan merebutnya. Menjadikan takdir nahas itu miliknya.
Sebenarnya siapa yang salah?
Aku mendudukkan diri di salah satu ayunan. Bagaimana jika sebenarnya Tuhan tidak menghukumnya, tapi malah menghukumku? Karena aku tidak menghadapi takdirku dan justru membuatnya berada pada takdir yang bukan miliknya? Tapi tahu darimana kalau itu takdirku, dan bukan takdirnya? Aku mengacak kepalaku kasar, duh, aku jadi bingung!
Tapi lebih daripada itu, aku memikirkan kejadian di rooftop kemarin malam. Ketika dia memelukku, ketika dia mengecup, ketika dia bilang dia menyayangiku...
Bagaimana mungkin aku melewatkan cinta pertamaku begitu saja?
Waktu SMA aku memang sedikit... hm, melihatnya sedikit berbeda dari teman-teman yang lain. Tapi kupikir hanya karena dia lebih pendiam. Teman sekelasku suka menyebutnya sombong dan dingin, padahal dia hanya lebih suka mengekspresikan dirinya lewat tindakan saja. Ketika dia tersenyum, rasanya hangat. Ketika dia tersipu malu di depanku, terlihat lucu. Dan ketika dia selalu membantuku, aku merasa tidak ada yang bisa melakukannya lebih baik daripada dia. Lalu ketika dia menyelamatkanku di hari itu...
Dasar Rasha bodoh, aku juga menyanginya.
Tak terasa air mataku jatuh. Aku menghapusnya, tapi lagi-lagi jatuh.
Sial.
"Hei, Ada apa? Kamu tidak apa-apa?" Aku mendongak ke sumber suara.
Yudha.
Dia menarikku berdiri, dan mempelajari wajahku. "Sudah, sudah..." Yudha mengusap pipiku yang basah karena air mata yang baru turun. Percuma, kembali basah.
Aku lelah, aku marah. Terlebih lagi, aku sedih. Semua perasaan campur aduk sekarang, dan aku hanya butuh tempat untuk berkeluh kesah.
Aku menghubungi orang yang tepat.
Aku mendekat menuju Yudha. dan meletakkan kepalaku di pundaknya.
"H-hei..." Katanya tergagap, terkejut dengan tingkahku barusan.
"Sekarang belum jam dua belas malam kan?" Tanyaku, teringat ultimatum tempo hari.
Yudha melihat arloji yang terpasang ditangan kanannya. "Kurang 5 menit lagi."
"Kalau begitu biarkan aku menangisinya dulu." Kataku masih belum mau beranjak dari pundak Yudha. Aku memejamkan mata, menarik napas. Bisa kurasakan aroma khas Yudha yang sudah sangat tidak asing untukku. Bohong kalau aku mengatakan itu tidak membuatku tenang.
Tiba-tiba aku merasakan elusan di kepalakuㅡ
"Aku minta maaf." Katanya, sambil melingkarkan tangannya di tubuhku. Merengkuhku erat. "Aku minta maaf, seandainya aku lebih hati-hati. Mungkin tidak akan jadi seperti ini." Bisa kurasakan suaranya bergetar, dan dadanya berdegup lebih cepat. "Aku minta maaf sudah membuatmu lari ke jalan, sudah menempatkanmu dalam bahaya, sudah membuat Satria menyelamatkanmu, sudah membuatnyaㅡ"
ㅡyang membuat tangisanku semakin meledak.
Persetan dengan takdir. Aku hanya tahu aku sangat kehilangan Satria saat ini.
Yudha tidak jadi melanjutkan kata-katanya demi mendengarku menangis. Dia diam, konstan menyalurkan rasa hangat dari telapaknya. Kudengar dia menghela napas, dan badannya bergetar. Aku yakin dia sedang berusaha mengatur perasaannya yang mendadak emosional.
Gerakan tangan Yudha di kepalaku terhenti ketika ia mengecek arlojinya. "Sudah lima menit, jadi bisakah kamu berhenti menangisinya? Aku yakin dia juga tidak suka melihatmu begini."
Benar, Satria bahkan mengancamku untuk tidak menangisinya selain di hari peringatan kematiannya. Aku menghapus air mataku, menarik tubuhku dari Yudha, sedikit menjauh. Sedangkan Yudha membuang muka sambil mengusap hidungnya sampai merah.
Suasana jadi sedikit canggung.
Kami masih diam, sampai udara rasanya pekat. Benar-benar canggung. Kami mematung seperti kami tidak saling memeluk sebelumnya, seperti kami tidak saling mengungkapkan isi pikiran kami sebelumnya, seperti kami tidak sama-sama menangis sebelumnya.
Tidak bisa begini terus.
"Hei, aku lapar." Ujarku berusaha mencairkan suasana.
"Ma-makan sendiri sana! Aku ngantuk! Mau pulang!" Sungut Yudha lalu berlalu, tapi,
KKRUUUUKK~!
Yudha menunduk, perlahan menutupi perutnya dengan tangan. Percuma, tidak ada yang bisa disembunyikan lagi.
Aku melangkah ke dekat Yudha, melingkarkan lenganku di lehernya. "Kalau kamu mau minta maaf betulan, traktir kakak perempuan ini makan malam." Lalu menggiringnya menuju warung mi kesukaan kami.
-------------------------------
pernah di post di wattpad.
klik ini untuk ke daftar isi.
klik ini untuk ke part selanjutnya.
-------------------------------
Comments
Post a Comment