Lalu semua terjadi begitu saja. Sejak 'prosesi' mengungkapkan perasaan kami di halte satu tahun yang lalu (tidak bisa dibilang mengungkapkan juga sih, toh, Yudha hanya bilang dia 'sungguhan' dan aku hanya... hm... yah kalian tahu lah aku berbuat apa at the end of the day), kami resmi jadi pasangan. Banyak hal yang terjadi, seperti pertama kali kami bertengkar sampai diam berhari-hari, pertama kali kami menangis bersama karena baikan, pertama kali kami tertawa dan mensyukuri keberadaan satu sama lain.
Pertama kali kami mengungkapkan perasaan kami menggunakan kata-kata.
Yudha yang memulai, dia sering rajin menghubungiku dan memanggilku 'sayang' –aku masih merinding sampai sekarang, aku tidak bohong. Sialnya, dia ngambek kalau aku tidak memanggilnya dengan kata 'S' juga –Ck –.–
Tapi meskipun begitu, aku tetap mengacungi jempol pada Yudha yang dulunya kaku, slengean, dan usil menjadi lebih sabar dan dewasa. Membuatku makin ingin berubah jadi lebih baik untuknya juga.
Tentu saja, bukan aku dan Yudha namanya kalau tidak bertengkar kecil. Namun, selayaknya orang dewasa, dia selalu mengalah, dan membiarkanku menang ketika perdebatan konyol kami dimulai. Tapi, jika aku sudah mulai keluar jalur, dia tidak akan ragu menarikku kembali ke jalan yang benar. Tanpa aku sadari, dia mampu menelusup ke celah yang bahkan aku tidak tahu kalau itu ada.
Kata-Kata terakhir Satria dua belas tahun belakang, yang aku anggap angin lalu sepertinya sebuah kebenaran.
"Kamu tahu, Yudha sepertinya orang baik."
Aku pikir itu sebuah pertanyaan, tapi tidak. Itu adalah sebuah pernyataan. Memang ia mengawalinya dengan kata-kata yang akan berujung tanda tanya, tapi dia mengakhirinya dengan titik.
Tiga bulan lagi aku dan Yudha akan menikah. Yudha, seorang yang selalu ada di sampingku dan membantuku melewati masa sulit. Tidak perlu banyak omong kosong dan janji palsu untuk membuatku luluh padanya.
Dia sudah membuktikannya selama sebelas tahun, bahkan lebih.
Masalah pekerjaan pun, dia membiarkan aku memilih apakah akan lanjut atau tidak. Kalau tidak, bukan masalah. Tapi aku memilih iya. Maka dari itu, saat ini, kami sedang berjalan menuju halte bis untuk pulang ke rumah. Si Baeki kesayangan Yudha sepakat kami jual untuk menabung demi memenuhi mimpi-mimpi kecil kami : memiliki rumah sendiri dan mobil. Meskipun tanpa scooter, Yudha masih menungguku jika kami akan pulang. Aku juga tidak keberatan untuk menunggunya sampai kerjaannya selesai, aku akan melanjutkan mengerjakan apa yang bisa kukerjakan. Sama seperti sebelum kami pacaran.
Tapi bedanya, sekarang tangannya tidak pernah lepas dari tanganku. Ck, bahkan sekarang dia malah mengeratkan genggamannya di jariku.
"Hei, tulangku bisa remuk kalau setiap hari kamu meremasnya..." Aku menatapnya datar.
"Hehe, biar saja." Yudha cengengesan.
"Ck ck... sebegitu sukanya kamu denganku?"
"Hehe!"
"Dasar budak cinta!"
"Kamu juga tidak menolak waktu si budak ini mengajakmu menikah!"
Skak mat. "Ck... iya iya! Kamu akan selalu bisa mengalahkanku."
Aku membuang muka, berusaha terlihat sebal. Padahal sebenarnya, aku menyembunyikan wajahku yang perlahan memanas. Aku masih belum terbiasa mendengar Yudha mengatakan hal seperti itu, tapi.. entah kenapa aku menyukainya. :)
"Tapi aku tidak akan bisa menang darimu." Katanya, lalu mengecup pipiku sekilas.
Tuh kan, yang seperti ini yang membuatku lemah pada Yudha. Aku mencubit pinggangnya. Dia hanya tertawa.
---
Belinda sudah dapat pacar. Iya, si pegawai paruh waktu di kafe waktu itu. Untuk merayakannya, Belinda, Johnny dan Xandra minum bersama semalam. Itulah penyebab kenapa Johnny merasa sangat lelah hari ini.
Johnny mengusap rambutnya ke belakang, mulutnya terbuka lebar untuk membiarkan oksigen berputar di kepalanya. Johnny merasa kepalanya sangat berat, dan perutnya masih mual sampai sekarang.
Johnny menggelengkan kepala. Berusaha fokus pada jalan di depannya meskipun masih menguap lebar-lebar.
---
Kami masih harus menyeberang dan berjalan beberapa meter lagi untuk sampai di halte. Ponselku bergetar, sehingga membuatku melepaskan tangan dari Yudha dan mengecek siapa yang menghubungi.
Urgh, manager yang tidak tahu waktu!
Dengan segera aku menerima telepon itu, membiarkan Yudha memainkan rambutku. Lampu hijau untuk kendaraan masih menyala sampai 20 detik lagi, dan itu sudah membuat Yudha sangat bosan.
Sekarang sudah 10 detik, dan manager masih belum selesai mengomel mengenai dokumen yang seharusnya jadi tanggung jawab partnerku. Aku menghela napas. Memang dia hanya tahu nomor teleponku saja?! Kenapa harus aku sih! Aku membuang kekesalanku pada kendaraan yang melaju kencang, mengejar kesempatan terakhir sebelum lampu menjadi merah. Mengamatinya yang melaju sangat kencang.
Tapi tiba-tiba fokusku tertuju pada sekelebat bayangan yang sudah berjalan ke zebra cross meskipun timer masih menunjukkan angka lima. Aku terbelalak.
"Yudha!" Seruku, tapi dia hanya menoleh dan lanjut jalan, bibirnya tersenyum, melambaikan tangan agar aku mengikuti langkahnya. Yudha sudah tidak sabar!
Namun cahaya menyilaukan dan klakson mulai terdengar. Aku berlari menuju Yudha. Dia juga melihat mobilnya sekarang! Yudha panik ketika tahu aku menyusulnya.
"AWAS!!"
---
"Rasha!" Panggil Yudha di seberang jalan. Gadis itu sudah sampai di seberang. Dia menoleh mendapati Yudha yang sudah ada di ujung tempat dia bertolak. Rasha menghembuskan napas kesal.
"Jangan ajak bicara! Aku sedang kesal!" Seru gadis itu di tengah deru kendaraan yang melintas. Timer lampu lalu lintas menunjukkan angka 20. Rasha baru akan melangkah ketika tiba-tiba dia mendengar ada suara klakson mobil yang sangat keras.
Rasha menoleh ke belakang, mendapati Yudha berdiri mematung di tengah jalan. Yudha memandang mobil yang melaju cukup kencang ke arahnya, mencuri detik-detik terakhir sebelum lampu berganti menjadi merah.
Rasha melotot. Secepat kilat, Rasha berlari ke tengah mendorong Yudha kembali ke tempatnya. Sekarang justru Rasha yang berhadapan dengan mobil yang sorot lampunya makin lama makin terang, karena sudah sangat dekat. Rasha memejam, berpikir mungkin akan sangat sakit.
Tapi Rasha tidak sadar kalau ada tangan yang mendorongnya juga, merebut posisi dirinya dengan Rasha. Gadis itu membuka mata, mendapati senyum lemah Satria, dan
BRUAK!
Gelap.
---
Johnny sudah tidak tahan. Dia ingin cepat-cepat sampai rumah. Makanya, ketika lampu lalu lintas menunjukkan detik ke 8, dia dengan segera menekan pedal gasnya kuat-kuat, membuat mobilnya melaju kencang. Johnny menolak berhenti lagi karena lampu merah.
Tapi rasa kantuknya hilang ketika melihat sesosok orang yang tiba-tiba sudah berdiri di tengah jalan. Johnny berusaha mengerem dan membunyikan klakson kuat-kuat. Namun dalam hitungan detik, sosok itu bertukar menjadi sosok lain yang mendorongnya menjauh.
"AWAS!!"
Sosok yang didorong itu berlari lagi menuju sosok yang menyelamatkannya, tapi terlambat, kejadian dua belas tahun lalu kembali berputar di depan mata Johnny. Bedanya, ini bukan film, ini kejadian nyata. Dengan dirinya menjadi pemeran utama.
---
Aku membeku, melihat semua kejadian itu tanpa bisa bergerak. Pengemudi mobil yang sangat aku kenal turun dan terduduk panik begitu tahu siapa korbannya. Sama saja denganku reaksinya, kalau saja beberapa orang di situ tidak menyadarkannya dan membimbingnya melakukan apa yang harus dilakukan.
Aku memandang sekeliling, sekuat tenaga aku memejamkan mata, kemudian membuka mata lagi. Tidak, ini bukan mimpi.
"WAKTU ITU KAMU BISA SELAMAT!" Seruku. "KAMU JUGA BISA SEKARANG!"
Aku terisak, berlari menuju ambulance yang membawa orang tersayangku.
"DIA TIDAK APA-APA KAN?! DIA BISA SELAMAT, KAN?!" Teriakku pada para medis yang mendorongku masuk ke dalam, mendampingi perempuan itu. "RASHAAA!!!!!"
Aku pikir, laki-laki lemah yang menangis. Tapi ternyata, laki-laki sampah juga bisa.
---
Gelap. Aku tidak bisa melihat apapun kecuali titik-titik cahaya melayang bertahan di depanku, kemudian melesat menjauh. Tiba-tiba seberkas sinar terlihat di ujung sana, semakin lama semakin menyilaukan, membuatku memejamkan mata.
Ketika aku membuka mata, dia sudah berdiri di depanku.
Satria.
Aku melongo. Seingatku, yang ada di hadapanku tadi adalah Yudha, yang aku tarik agar dia tidak kena mobil melaju kencang. Setahuku, aku sedang menuju jalan pulang bersama Yudha.
Tunggu.
Aku tidak bersama Yudha, tapi justru melihat Satria.
Apa ini artinya aku.... –?
"Kita bertemu lagi." Kata Satria dengan sebuah uluran tangan. Aku menyambut tangannya tanpa suara, menatapnya nanar. "Selamat datang, Rasha." Ujarnya, sambil tersenyum.
Tiba-tiba beban dalam napasku hilang, seolah ada yang diangkat dari dalam, rasanya aku berongga. Aku merasa aku pulang ke rumah, dengan Satria yang menyambutku. Kepalaku tidak lagi dipenuhi rasa bersalah, dan akhirnya aku tidak menyalahkan diriku lagi –demi melihat senyuman Satria.
Inikah yang sering kusebut-sebut dengan 'takdirku'? Inikah yang namanya jalan hidupku?
Sudah terjawabkah semua tanda tanya dalam kepalaku satu dekade ini?
-------------------------------
pernah di post di wattpad.
klik ini untuk ke daftar isi.
klik ini untuk ke part sebelumnya
-------------------------------
Comments
Post a Comment