YWH : 9. Satria

Sejak kejadian di rooftop kemarin aku semakin sering merasakan sakit di kepalaku –yang diselingi dengan kilasan memori asing. Yudha juga jelas tidak mau membahas masalah itu, begitu juga dengan kedua orangtuaku yang tidak mau memberi penjelasan lebih lanjut. Padahal sudah jelas juga kalau ada sesuatu yang tidak aku tahu. Ini menyangkut diriku sendiri, kenapa justru disembunyikan dariku?

Akhirnya, karena tidak tahan aku meminta Keenan –sahabat Yudha, untuk mengambil diam-diam buku tahunanku dari tasnya.

"Aku tidak tahu ini sepenting apa, tapi dia kesal sekali waktu tahu buku ini tidak ada di tasnya." Kata Keenan. Aku menepuk pundaknya dan mengangsurkan snack favoritnya.

Karena itu lah, aku bisa sampai di rumah Satria. Ketika aku memencet bel, seorang wanita paruh baya membukakan pintu untukku. Bisa kutebak dia ibunya, dan bisa kutebak memang ada sesuatu antara aku dan Satria karena sambutannya sedikit tidak bersahabat.

Ibu itu langsung menutup pintunya ketika tahu aku yang datang. Spontan aku menahannya.

"Err... permisi, tante..." Tanyaku takut-takut.

Aku menatap matanya, tapi sepertinya dia tidak sudi beradu pandang denganku. "Mau apa lagi?" Tanyanya.

Aku menelan ludah, tidak menyangka akan mendapat reaksi seperti ini. "Tante, apa betul ini rumah Satria?"

Ibu itu dengan cepat mengangkat kepalanya, menatapku galak. "Kamu masih berani menyebut nama Satria?!" Serunya. Aku membeku.

"Pergi!" Ibu itu mengusir dan sudah hampir membanting pintu di depanku ketika ada tangan yang menahan pintu dari belakangku.

"Sayang..." Ujarnya, memanggil istrinya dengan sabar. Aku menoleh, mendapati pria paruh baya yang wajahnya mirip dengan Satria.

Ibu itu menatap suaminya sebal, dan menatapku seperti ingin membunuh sebelum balik badan masuk ke dalam rumah. Aku jadi takut, dan berpikir ulang alasanku ke sini.

Pria itu mengalihkan pandangnya ke arahku. "Mau masuk?"

Aku mengangguk, bersyukur karena ayah Satria tidak bereaksi seperti ibunya.

Sesampainya di ruang tamu, terdengar sayup-sayup argumen dari dalam. Ibunya tdak mau bertemu denganku, jadi Ayahnya yang keluar menemuiku.

"Jadi, ada apa, nak?"

"Uh... begini, Om. Saya ingin tanya-tanya tentang Satria."

Ayahnya menatapku bingung, tapi tetap mengangguk.

"Mohon maaf Om, bertanya seperti ini, tapi saya ingin tahu, Satria meninggal... karena apa ya?"

Raut muka ayah Satria mendadak berubah. Wajahnya terkesan menahan emosi tapi bingung. Aku juga jadi bingung menatapnya.

"Kamu... sedang bercanda? Sebenarnya tujuanmu ke sini untuk apa?" Suara ayah Satria bergetar. Aku jadi semakin takut.

Sebetulnya sebesar apa masalahnya sampai aku tidak tahu sama sekali?

"Sebetulnya apa yang terjadi, om? Kenapa semua orang di sekitar saya seolah menutup-nutupi hal yang sebenarnya. Bahkan orangtua saya tidak mau mendengar saya menanyakan hal itu." Aku menarik napas. "Maka dari itu saya ke sini. Saya ingin tahu yang sebetulnya terjadi."

Ayah Satria menatapku skeptis. "Haha... situasi macam apa ini..." Katanya pelan, sambil mengusap wajahnya.

"Oh iya, om, bahkan saya baru bisa mengingat Satria lima hari yang lalu."

Ayahnya menatapku tidak percaya.

"Saya juga tidak paham, kenapa ingatan saya tentang masa sekolah saya seolah hilang. Kalau bukan karena saya melihat sosoknya sendiri–" Aku segera menghentikan kalimatku. Hampir saja aku kelepasan.

Ayahnya seperti tidak mendengar, wajahnya ia tundukkan ke lantai.

"Sudah hampir setahun, tapi baru dua minggu ini Satria mengunjungiku di mimpi." Kata Ayahnya lirih, hampir tidak terdengar.

Tapi aku dengar. Aku ingin bertanya lebih lanjut, tapi kuurungkan. Sepertinya bukan langkah yang tepat.

"Begini saja," Ayahnya mengusap wajah, kemudian menatapku. "Aku tidak tahu apa yang terjadi denganmu, nak. Tapi mungkin kamu mau melihat kamar Satria? Siapa tahu ada jawaban yang kamu cari di sana." Kata Ayahnya, kemudian berdiri dan memintaku mengikutinya.

"Tolong, bantu Satria ya, kelihatannya dia sangat kesepian di mimpiku." Kata Ayahnya lagi, menepuk-nepuk pundakku sebelum meninggalkanku di dalam kamar Satria sendirian.

Aku memandangi isi kamarnya yang sepertinya tetap di usahakan sama dengan keadaan semasa Satria hidup. Kamarnya rapih, dan selalu dibersihkan. Seragamnya menggantung di balik pintu –seragam yang sama dengan yang Satria pakai ketika bertemu denganku. Buku-bukunya, board games, konsol, dan mainan kesukaannya, semuanya masih tersusun rapi. Aku buka lemarinya, baju-bajunya juga terlihat masih utuh, kelihatannya belum berkurang satu helai pun.

Aku beranjak ke meja belajarnya. Selain barang-barangnya, ada sebuah kotak kaca di atasnya. Di dalamnya, ada nametag seragam warna putih yang sedikit penyok dan beberapa foto serta benda favoritnya. Di situ aku bisa melihat Satria tersenyum lebar, berbeda dengan fotonya di buku tahunan yang sepertinya diambil dari foto resminya.

Senyum yang sama ketika aku sedang bersama dengannya di rooftop.

Setelah berdoa untuknya, aku membuka pintu kotak kaca untuk meletakkan bunga ketika mataku tertumbuk pada salah satu benda di situ.

Kaleng minuman cokelat –yang sama seperti kesukaanku, dengan sticky notes yang tertempel. Ada sedikit bercak darah dan ujung kertasnya berwarna merah.

'Ayo kita masuk universitas sama-sama! Ada yang ingin aku sampaikan kalau kita berhasil masuk, maka dari itu minumlah ini dan, SEMANGAT!'

Melihatnya membuat hatiku serasa jatuh dari tempatnya. Laki-laki ini... begitu polos dan hangat hatinya. Betapa beruntung gadis yang disukainya itu. Aku masih mengamati benda-benda lainnya ketika tiba-tiba sebuah memori kembali sekelebat terlintas di kepalaku, membuatku mengerang menahan nyeri.

Memori itu adalah memori yang sama dengan yang aku alami sebelum-sebelumnya, hanya saja kali ini lebih panjang dan seperti kompilasi dari potongan-potongannya.

Suara klakson mobil itu memekakkan telinga, diiringi teriakan dari orang-orang dari pinggir. Kakiku tidak bisa kugerakkan lagi, seolah membeku di tempat. Aku hanya memejamkan mata ketika sorot lampu itu menerjang mataku.

Aku mulai berpikir,

Ah, inilah saatnya.

Tapi tidak ketika sepasang tangan menarikku menjauh.

Lalu semuanya menjadi gelap.

-------------------------------
pernah di post di wattpad.
klik ini untuk ke daftar isi.
klik ini untuk ke part selanjutnya.
klik ini untuk ke part sebelumnya.
-------------------------------















Laki-laki itu memacu motornya cepat. Setelah memaksa, Keenan mengaku kalau dia yang mengambil buku tahunan, atas permintaan Rasha. Setelahnya Yudha tahu kemana dia harus pergi. Rumah Satria.

Yudha memacu motornya lebih cepat, tapi tiba-tiba di belokan ada seorang anak perempuan dengan sepedanya dari arah berlawanan. Yudha mencoba menghindar, yang membuat motornya justru kehilangan keseimbangan dan oleng.

Ya Tuhan... tolong jangan sekarang! Aku harus menemui Rasha, jika terjadi apa-apa dengannya aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri!

Setelah memusatkan konsentrasi, Yudha kembali menegakkan motornya yang hampir menyentuh aspal, kemudian melaju mulus, melanjutkan perjalanan ke rumah Satria.

Sementara itu, si gadis sepeda yang berseragam SMA hanya memandangnya takjub.

"Whoah... Jadi kata Lana benar, makhluk halus memang ada." Serunya tanpa sadar. "Dan dia tampan!" Gadis bernama Rayna itu tersenyum lebar, mendapati si dagu lancip dan rahang tegas menatapnya dari seberang jalan sebelum kemudian menghilang.

---

Yudha sampai di rumah Satria tepat ketika Rasha keluar dengan ayah Satria. Ayah Satria mengangguk lemah pada Yudha, dan berpamitan dengan Rasha. Yudha segera turun dari motor dan menghampiri mereka berdua.

"Apapun yang terjadi, ini semua sudah takdir. Tidak ada gunanya menyesali yang sudah terjadi." Kata ayah Satria sambil menepuk pundak Rasha.

Gadis itu memandang kosong ke kejauhan, tapi kemudian mengangguk lagi. "Pantas saja... tante seperti itu ketika bertemu saya tadi." Kata Rasha lirih. "Terima kasih om, sudah membantu saya untuk mengingat apa yang terjadi."

Ayah Satria menunduk, menyesuaikan pandangan matanya dengan tinggi Rasha. "Nak," kedua tangannya menggenggam bahu Rasha, seolah memberikan penguatan. "Apa yang terjadi dengan Satria, memang tragis. Tapi kami mencoba ikhlas, karena kami tahu, kamu pun tidak punya kuasa untuk menghentikannya. Mungkin memang jalannya Satria tidak bersama kami lagi."

Rasha menunduk, menangis. "Terima kasih... om..." Hanyalah kata-kata yang bisa Rasha ucapkan saat ini. Di saat dirinya butuh penguatan, beliau masih menenangkan Rasha. Gadis itu sangat berterima kasih untuk ini.

"Jangan menyalahkan diri sendiri. Tidak ada gunanya. Aku yakin bukan itu yang ingin Satria dengar setelah ia mengalami semua ini." Ayah Satria mengusap kepala Rasha.

Yudha yang berdiri di dekat Rasha segera menangkap apa yang terjadi.

Jangan-jangan... Rasha sudah ingat lagi...?

Yudha menelan ludah. Khawatir, apakah gadis ini bisa menanganinya?

Tiba-tiba, ibu Satria muncul dengan pakaian rapi. "Aku mau menjenguk Satria, kalau kamu mau ikut, silahkan." Kemudian melenggang menuju mobil yang terparkir di garasi.

Ayah Satria memandang Rasha, yang jelas Rasha juga ingin pergi ke sana. Akhirnya, ayah dan ibu Satria menaiki mobil, dengan Rasha membonceng Yudha di belakangnya. Selama perjalanan, tangan kiri Yudha menggenggam erat tangan Rasha yang berpegangan di belakangnya.

Setelah sampai, Rasha tak kuasa menahan tangis. Yudha diam saja di samping Rasha, merasa campur aduk di depan peristirahatan terakhir teman sekaligus rivalnya. Ayah Satria sibuk menenangkan istrinya dan Rasha.

"Nak..." Isak ibu Satria, memeluk Rasha. Rasha jadi bingung. "Tolong bantu Satria."

Yudha membuang muka, tidak tahan dengan suasana seperti ini. Matanya menatap tajam ke nisan yang bertuliskan 'Adrian Satria Adyatma'. Memorinya berputar ke masa-masa SMA mereka.

"Begitu caramu menunjukkan kalau kamu sayang padanya?" Tanya Satria tanpa tedeng aling-aling ke Yudha yang baru saja keluar dari ruang olahraga. Yudha mengernyit, mencoba mengerti kata-kata bocah yang jarang sekali terdengar suaranya kalau di kelas. Bahkan, Yudha saja baru 'benar-benar' mengenalnya beberapa hari lalu.

"Hah? Siapa sayang siapa?"

"Kamu." Katanya tegas. "Dan Rasha."

"Haahh??" Yudha melongo. "HAHAHAHAHAA!!" Tawanya lepas sekarang. Tapi Satria tetap tenang dan tidak memindahkan atensinya dari Yudha.

"Aku? Dengan manusia berantakan macam Rasha?" Yudha menatap Satria, mengejek. "Kamu bercanda?!" Serunya sambil menusukkan telunjuk di bahu dan dada Satria.

Satria menepis tangan Yudha. "Jangan seperti itu." Kata Satria tetap tenang. "Kalau kamu tidak suka sama Rasha, ya sudah." Katanya kemudian meninggalkan Yudha, masuk ke ruang olahraga.

Sejak saat itu, perhatiannya jadi sulit dialihkan dari teman sekelas yang namanya Satria.



Comments