Sudah tiga hari berturut-turut Yudha semakin mengeratkan pengawasannya padaku, tiga hari berturut-turut itu pula aku selalu sembunyi-sembunyi ke rooftop. Ini bukan hal yang bagus untuk ditiru, aku bahkan beberapa kali bolos kelas hanya untuk menunggu bocah –bukan, maksudku menunggu Satria di sana.
Tapi tiga hari berturut-turut itu pula Satria tidak muncul sama sekali.
Apakah dia sudah berhasil mengungkapkan perasaannya pada gadis yang ia sukai dan pergi begitu saja?
Membayangkannya saja membuat air mataku naik. Bukan apa-apa, tapi bukankah harusnya ada sedikit sopan santun disini? Tidak ada perpisahan? Langsung menghilang? Kalau memang ia pergi begitu saja, aku benar-benar akan membencinya untuk selamanya.
Tapi ternyata Tuhan tidak ingin aku membencinya. Lihat, sekarang dia sudah muncul lagi.
"Kamu bisa kedinginan kalau terus bersikeras menunggu disini, anginnya cukup kencang." Katanya.
Aku tidak peduli. Aku langsung berdiri dan mendekat ke arahnya. Aku mendongak menatap wajahnya yang lumayan lebih tinggi dariku. Iya, aku berdiri lebih dekat dari biasanya.
Tapi dia tidak menghindar, dia seperti menunggu.
"Apa semakin sulit mengendalikan dirimu?" Tanyaku. Satria mengangguk.
"Apa kamu sudah mengatakannya pada gadis itu?" Tanyaku lagi. Kali ini dia menggeleng.
"Satria, 4 hari lagi peringatan kematianmu..." Kataku memelas. Aku benar-benar ngeri membayangkan kalau nantinya dia jadi roh jahat –meskipun aku sendiri tidak yakin bentuknya seperti apa, tapi coba dengar dari namanya. Cukup mengerikan.
Toh, dia juga bukan bagian dari kehidupan disini, kan?
Dia hanya menatapku dalam ketika aku memanggil namanya. "Aku... masih ingin disini bersamanya." Jawabnya.
"Tapi kamu sudah tidak punya banyak waktu."
"Justru itu, aku harus menghargai setiap jengkal waktuku ketika masih bisa bersamanya, bukan?" Satria masih kukuh, rahangnya mengeras. Tanda dia tidak mau dibujuk lagi.
Aku membalas tatapan matanya yang dari tadi belum beranjak dari mataku. "Aku mengenal gadis itu, kan?"
"Apa?"
Aku menatap mata Satria nanar, kontras dengannya yang menatapku tajam. Aku dan Satria satu kelas ketika SMA. Satria dan gadis itu juga sekelas. Berarti benar, kan? Ada kemungkinan besar aku mengenal gadis yang Satria sukai.
"Kenapa kamu tidak bilang kalau dulu kita satu kelas? Kita saling mengenal, kan?"
"Kenapa aku harus mengatakannya? Memangnya kenapa kalau kita saling kenal?!"
"Satria!" Seruku, sedikit terkejut karena tiba-tiba suara Satria mengeras.
Laki-laki itu menghembuskan napas perlahan dan memejamkan matanya, tampak sekali kalau dia lelah. Entah lelah berdebat, atau lelah bertahan. Aku tidak mengerti. Alasan dia masih berada di sini adalah untuk mengatakan pada gadis itu kalau dia menyukainya. Tapi kenapa malah setelah bertemu justru bimbang?
"Dengar, tentang gadis itu aku akan mengurusnya sendiri, kamu tidak usah ikut campur."
Aku masih menatap kelam di matanya. "Kenapa?"
"Dari awal ini masalahku!"
"Tapi kita teman, kan? Gadis itu juga bisa saja mengenalku dan mengenalmu!"
"Jangan berusaha untuk mencari tahu." Satria makin mendekat. Sekarang aku yang menelan ludah, tidak sadar menahan napas. "Tidak ada hal bagus jika kamu mengingatnya."
-------------------------------
pernah di post di wattpad.
klik ini untuk ke daftar isi.
klik ini untuk ke part selanjutnya.
klik ini untuk ke part sebelumnya.
-------------------------------
Johnny benar-benar tidak mengerti dengan tubuhnya sendiri sekarang. Jelas, terakhir kali yang dia ingat, Johnny sedang memperhatikan penjelasan dosen di depan kelas. Tapi tiba-tiba, hal yang sulit dijelaskan terjadi padanya. Johnny merasa kepalanya ringan, dan tahu-tahu sudah ada di depan pintu lantai teratas. Pintu itu sedikit terbuka, dan ada Rasha di sana. Berdiri sendirian dengan mata sembab.
Johnny jadi ingat pertemuan pertamanya dengan gadis itu di balkon, pagi hari setelah kejadian Rasha jatuh di turunan jalan keluar kampus mereka. Ketika Rasha bicara sendiri dengan angin. Awalnya ia kira Rasha butuh pengobatan khusus. Tapi sekarang, Johnny rasa yang butuh pengobatan khusus itu dirinya. Karena di cermin tua yang menempel di dinding, Johnny melihat bayangan dirinya... dan seseorang lain di dirinya.
Sosok itu transparan, dan ketika sosok itu mengangkat tangan kanannya, Johnny juga merasa tangannya terangkat.
"Sebentar saja. Aku pinjam dulu." Adalah suara yang Johnny dengar dari kepalanya, tapi bukan suaranya. "Jangan lakukan apapun. Waktunya sebentar lagi."
Comments
Post a Comment