YWH : 7. A Year Ago

Satria? Siapa Satria?

Kenapa aku jadi heboh sendiri saat aku tiba-tiba ingat namanya? Kenapa pula bocah itu menghilang?

Oh iya, dia bukan 'bocah' lagi. Namanya Satria, dan meskipun aku tahu ada yang tidak biasa dengan hubunganku dengan Satria –buktinya aku histeris ketika tahu kalau 'bocah' itu adalah Satria, tetap saja aku tidak bisa dengan mudah mengingatnya.

Aku membuka-buka buku tahunanku saat SMA. Siapa tahu ada petunjuk yang bisa aku temukan di sana. Toh, masa SMA ku tidak terlalu berkesan. Lupakan kisah romantis cinta pertama seperti yang ada di drama-drama. Kisah SMA ku sepertinya tidak ada yang menarik, kecuali fakta kalau Yudha selalu ada di sana.

Ada beberapa 'Satria' di buku itu, tapi dengan wajah yang berbeda dengan yang sering aku temui di rooftop. Aku menyusuri kelas demi kelas, hingga akhirnya aku mendapatkan fotonya. Yang membuatku lebih terkejut lagi ternyata dia ada di kelas yang sama denganku.

Aku sedikit merasakan kepalaku seperti tersengat. Tahu kan? Ketika kamu bernafas tiba-tiba ada yang lewat dan membuatnya semakin ringan. Tapi sakit.

Benar, aku mengenalnya. Bocah itu adalah Satria, dengan dagu lancip dan rahang tajam, serta tatapan mata yang dalam.

Aku menjatuhkan buku tahunanku begitu saja. Kepalaku sudah tidak tertahankan lagi. Aku merasa ada banyak informasi yang tiba-tiba masuk ke dalam kepalaku. Seperti sebuah sumbat yang terbuka, semuanya berhamburan. Sekarang seisi kamarku berputar. Begitu pula Yudha yang baru masuk dan berseru ketika menahanku jatuh ke lantai.

---

Aku terbangun di atas kasur dengan selimut yang sempurna melindungi tubuhku dari angin AC. Aku memutar kepala, mencari tanda-tanda Yudha. Tidak ada. Mungkin dia sudah bersiap untuk berangkat ke kampus hari ini.

Aku menyibakkan selimut, ketika aku teringat pada kejadian kemarin.

Tentang yang di atap, tentang Satria.

Aku bergegas siap-siap, dan dengan santai menggapai buku tahunan yang ada di atas rak –pasti Yudha yang meletakkannya, mentang-mentang aku lebih pendek darinya. Ada banyak hal yang aku ingin tanyakan pada Yudha. Bisa kutebak, ekspresinya tidak mengenakkan saat aku menanyakanya.

"Yudha, kamu ingat ada anak yang namanya Satria di sekolah kita?"

"Oh, tentu saja. Ada banyak."

"Kalau yang satu kelas dengan kita?"

"Kenapa dia?"

"Jawab saja!"

"Memangnya kenapa kalau kita satu kelas dengannya?"

Aku mengernyit. Jawaban macam apa itu? Tidak nyambung.

"Sudahlah, itu kan sudah lama, jangan terlalu dipikirkan." Yudha merebut buku tahunanku dan menutupnya.

Mataku memandangnya bingung. "Memikirkan apa?"

"Hm? Bukankah kamu bertanya karena kamu memikirkannya?" Gantian Yudha yang berekspresi bingung. "Kamu menyebutkan namanya kemarin, bukan karena kamu ingat?"

"Hah?"

Yudha menelan ludah, lalu merebut buku tahunan dariku. "Tidak ada apa-apa, itu semua hanya kecelakaan. Jangan cari tahu, dan jangan lakukan hal bodoh. Jangan naik-naik ke rooftop lagi." Kemudian dia beranjak pergi menuju fakultasnya.

Sudah aku duga, ada yang disembunyikan dariku tentang Satria.

---

Rasha sedang giat mengikuti pemanasan ketika tiba-tiba gurunya meneriakkan namanya. Rasha terkejut, begitu pula Raysha yang langsung menghentikan canda dengan teman-temanya.

"RASHA! TINGGAL DI RUANG OLAHRAGA SETELAH KELAS SELESAI! JANGAN KELUAR SEBELUM BERSIH!"

Rasha dan Raysha saling menatap. Rasha menelan ludah. Raysha memang bukan tipe pengganggu, tapi jelas dia juga tidak sebaik itu. Tidak mungkin juga Rasha mengadukan teman sekelasnya sendiri kan?

"BUKANNYA SUDAH KUBILANG AKU TIDAK SUKA ADA YANG TIDAK FOKUS?!"

Guru menggelegar lagi, dan Rasha menelan rasa kesalnya dalam hati.

Makanya, setelah pelajaran olahraga hari itu selesai, Rasha tetap berada di ruang olahraga. Memasukkan bola ke dalam keranjang, memunguti sampah, membersihkan lantai. Itu adalah tiga garis besar siang ini.

Oh, belum termasuk Yudha yang seenaknya menumpahkan air minum dan menebarkan plastik rotinya sembarangan. Rasha mengatupkan rahangnya rapat. Kakinya menendang-nendang Yudha yang sekarang justru meledeknya.

"PERGI SANA!" Seru Rasha sebal. Sapunya ia adukan dengan pel yang dibawa Yudha.

Yudha dan Rasha sudah saling kenal sejak kecil, tapi seharipun belum pernah ada kata 'akur' di kehidupan mereka. Ketika teman-teman Yudha memanggilnya, barulah ia beranjak sambil memungut lagi plastik bungkus rotinya.

"Bersihkan yang benar!"

Rasha melotot, membuat Yudha terkekeh sebelum benar-benar pergi.

Sekarang Rasha sendirian di ruang olahraga yang cukup luas. Tidak besar, tapi karena kosong dan tidak ada orang, Rasha benar-benar kesepian sekarang. Rasha kembali meneruskan pekerjaan, sambil sesekali menarik napas. Hari ini belum habis setengahnya tapi sudah menyebalkan.

"Kamu terlihat kelelahan."

Sebuah suara membuat Rasha mendongak. Siapa lagi sekarang?

"Kalau tidak mau membantu, pergi saja." Kata Rasha setelah tahu siapa dia.

"Biar aku saja." Orang itu sekarang justru memasukkan bola dan merapikan alat peraga lainnya.

"Tidak usah." Kata Rasha cepat sambil memasukkan bola yang tersisa ke dalam keranjang. "Kan, aku yang disuruh."

"Tapi membersihkan ruangan ini sendirian seharusnya bukan tugasmu, kan?"

"Yah, itu... Aku dihukum karena guru tidak suka mendengarkan murid yang berisik." Tangannya menghalau orang yang menahannya. "Lagipula bukannya aku tidak mengobrol juga saat pemanasan."

"Tapi bukan kamu yang berisik?"

"Ya habisnya mau bagaimana lagi!?" Balas Rasha dengan suara tinggi. "Lagipula dari awal memang namaku dan namanya sering tertukar."

"Makanya, biarkan aku membantumu." Orang itu berhasil mendudukkan Rasha di sudut. Dia tahu gadis itu sudah sangat kesal karena kejadian yang bertubi-tubi. "Kalau begitu kan, kamu bisa saja bilang sama guru kalau bukan kamu yang dia maksud."

Rasha menghampiri orang yang sekarang mengerjakan tugasnya. Dia tidak bisa duduk saja sedangkan temannya itu justru sibuk. "Memangnya aku belum pernah? Sudahlah, kamu juga tahu bagaimana kelakuan guru itu terhadap perempuan cantik."

Rasha merebut sekeranjang bola dari tangannya. Akhirnya mereka berdua sama-sama membersihkan ruang olahraga sehabis pelajaran olahraga saat itu.

"Memangnya kamu tidak cantik?"

Pertanyaan retoris murid laki-laki itu membuat gerakan Rasha yang hendak mengunci gudang terhenti. Ketika kepalanya berputar mencarinya, teman satu kelasnya itu sudah keluar ruangan olahraga cepat-cepat.

"Ish," Dengus Rasha sebal. "Apa-apaan itu? Tidak bertanggung jawab!" Gadis itu mati-matian menahan senyum sekarang.

Karena kata-kata orang itu, membersihkan lantai dan menyimpan alat bersih-bersih jadi tidak semenyebalkan tadi.

Tapi tetap saja, melelahkan.

Rasha merebahkan tubuhnya sebentar di lantai sampai ia merasakan ada langkah kaki yang mendekat. Rasha beradu pandang dengan pemiliknya. Dari saku celana seragam olahraga yang belum sempat diganti, orang itu melemparkan sekaleng minuman cokelat.

HUP. Kaleng itu dapat ditangkap dengan mulus oleh Rasha yang sekarang duduk di lantai.

"Whoa, darimana kamu tahu aku suka ini?"

"Uh... Memangnya siapa yang tidak suka ini? lagipula cokelat bagus untuk menambah energi, dan rasanya enak." Orang itu mengikuti Rasha yang duduk di lantai ruang olahraga. Tidak mau mengakui kalau dia sebetulnya sudah tahu lama apa-apa saja yang Rasha sukai.

Rasha tersenyum. "Terimakasih, Satria."


-------------------------------
pernah di post di wattpad.
klik ini untuk ke daftar isi.
klik ini untuk ke part selanjutnya.
klik ini untuk ke part sebelumnya.
-------------------------------













Yudha yang sudah selesai ganti baju secepat kilat langsung menuju vending machine dan memencet tombol minuman kaleng cokelat. Langkahnya sudah jadi berlari untuk sampai ke ruang olahraga. Ketika ia melongokkan kepala ke dalam, ruangannya sudah bersih, dan Rasha sudah duduk di tengah lapangan di dalam ruang olahraga sambil menggenggam minuman kaleng kesukaannya.

Tapi gadis itu tidak sendirian. Ada Satria yang sekarang tertawa hangat bersamanya.

Yudha menyingkirkan anak rambut Rasha yang menutupi wajahnya. Laki-laki itu yang membawa Rasha ke kasur sebelum Rasha tergeletak di lantai.

Yudha meraih buku tahunan SMA nya, jari-jari Rasha masih tersangkut di salah satu halamannya. Pelan-pelan dia melepaskan buku itu, dan setelah tahu apa isinya, Yudha menghembuskan napas pelan.

Bukannya Yudha membenci Satria. Hanya saja, bukannya ini sudah keterlaluan?

Satria sudah hampir setahun pergi, dan Rasha juga sudah berusaha bertahan sampai sejauh ini. Kenapa pula tiba-tiba bocah itu hadir lagi? Dengan cara yang konyol, tidak masuk akal? Atau bisakah Yudha menyebut Satria egois?

Yudha menutup buku tahunan itu, dan menyimpannya di rak paling atas, berharap Rasha tidak akan menyebut atau bertanya-tanya tentang Satria.

Comments