YWH : 6. Nine

"Bocah." Dia menoleh ke arahku. Menatap matanya, aku jadi mengurungkan niat untuk mengatakan apa yang ada di kepalaku belakangan ini. Aku mengalihkan muka, lebih memilih beradu dengan angin semilir di rooftop.

"Sudah berapa kali aku bilang aku bukan bocah!" Tadinya dia duduk di atas pembatas dengan santai, namun sekejap dia sudah melayang lalu berdiri di depanku.

Aku mengamatinya dari atas sampai bawah. Well, kemungkinan seragam itu adalah pakaian terakhirnya ketika ia hidup. Saat kematiannya adalah saat dia kelas tiga, dan itu terjadi setahun yang lalu. Berarti jika dihitung-hitung, dia seharusnya seangkatan denganku.

Iya benar, dia bukan bocah.

"Yah, terserah kamu saja lah." Aku bergerak mendekatinya. "Peringatan kematianmu... kapan?"

Dia menghitung jarinya. "Seminggu lagi, sekitar sembilan hari?"

Aku melotot. "Kamu harus secepatnya mengatakan pada gadis itu kalau kamu menyukainya!"

Dia sedikit terkejut ketika mendengar aku mengatakannya. "Dari mana kamu tahu kalau aku akan mengatakan itu padanya? Kan aku cuma bilang mau mencarinya?"

"Uh... insting?" Ya, sejak awal dia menceritakan kisahnya, aku hanya mendengar tentang gadis itu dan gadis itu lagi.

"Ck, sial."

"Pokoknya kamu harus mengatakannnya sebelum peringatan kematianmu."

"Kamu itu kenapa sih?!"

Aku mendekat. "Kamu, berjanji pada seseorang untuk kembali ke 'sana' berapa lama lagi? Satu tahun? Lima tahun?"

Bocah itu terbelalak, seperti tidak menyangka aku menanyakan itu padanya. "H-hah? Bagaimana kamu tah –?"

"Sudah jawab saja!"

"Dia hanya memberiku waktu satu tahun, itu saja aku dimarahi." Bocah itu menelan ludah. "Dia tidak bilang kalau aku boleh minta lebih."

Aku mengangguk. "Yang aku tahu, kalau ditawar boleh." Aku jadi geli sendiri mengatakannya. Memangnya ini jual beli di pasar?

"Apa sih?? Aku jadi bingung!" Bocah itu masih menatapku skeptis.

"Ya –pokoknya!" Aku mengacungkan jari telunjuk ke depan wajahnya. "Sebelum satu tahun peringatan kematianmu, kamu harus menyelesaikan masalahmu dengan gadis itu!" Kemudian telunjukku mengacung ke atas. "Lalu kembali ke sana."

"Tidak mau!" Serunya cepat, suaranya sampai memudar.

"Hah?! Kok begitu!?"

Dia menggeleng. "Tidak sekarang." Suaranya melemah.

"Aku mohon, bocah, ayolah!"

"Memangnya kenapa sih!?" Serunya keras, tapi suaranya makin pelan.

"Aku tidak ingin kamu jadi roh jahat yang berkeliaran disini." Aku menekankan lututku pada lantai semen dan menangkupkan kedua tanganku ke depan. Mataku terpejam dan kepalaku menunduk. "Tolonglah, kamu harus kembali ke sana secepatnya."

Aku benar-benar memohon padanya.

"Kamu bicara apa sih?! Apa mak –! Kamu dengar dari man –" Aku mengangkat kepalaku untuk mendapatkan sosok bocah itu yang semakin transparan dan suaranya yang semakin hilang.

"Oi!" Aku berdiri berusaha menggapainya.

"Oii!" Seruku lebih keras. Nihil, dia semakin lama semakin menghilang, dengan ekspresinya yang juga bingung.

"HEII!" Sekarang dia sudah sepenuhnya menghilang aku sendirian.

"HEI! AKU TAHU KAMU MASIH ADA DISNI KAN?!" Aku berteriak, berharap dia mendengarnya.

"HEI! JAWAB AKU! JATUHKAN SESUATU ATAU APAPUN!"

Sepi.

"HEI! SATRIAA!"

Aku sedikit terkejut ketika mulutku sendiri meneriakkan sebuah nama yang tiba-tiba terlintas dikepalaku.

"Eh??"

Aku diam sejenak, mencoba mengumpulkan isi kepalaku yang rasanya tiba-tiba berlarian, melintas ke segala arah dan berhamburan semaunya sendiri. Aku menyimpulkan sebuah nama.

"Satria?"

-------------------------------
pernah di post di wattpad.
klik ini untuk ke daftar isi.
klik ini untuk ke part selanjutnya.
klik ini untuk ke part sebelumnya.
-------------------------------














Satria tidak tahu apa yang terjadi. Tapi tahu-tahu lantai semen rooftop yang memantulkan panas sudah berganti jadi gelap dan dingin. Rasha yang tadinya berdiri di depannya berganti dengan sosok yang ia temui pertama kali ketika dirinya 'berubah' menjadi seperti ini.

"Apa aku salah dengar?" Kata sosok itu.

Satria mengerjap. Tapi sama saja seperti setahun yang lalu, agak sulit menangkap seperti apa rupa sosok itu.

"Kamu tidak mau pergi dari sini? Kamu lupa perjanjiannya?!"

"Aku tidak bilang tidak akan pergi! Aku akan menepati janji," Satria menelan ludah. "Tapi mungkin tidak sekarang!"

"ANAK NAKAALL!!" Suara menggelegar membuat Satria menutup kedua telinganya. Meskipun tidak bisa melihat wajahnya, Satria tahu sosok ini sedang kesal karena dirinya.

"Rasha bilang bisa ditawar!" Satria mendekat, memberanikan diri menatap sosok itu lebih lantang. "Dia bilang aku bisa minta lebih!"

"Haha!" Sosok itu tertawa. "Dapat setahun saja seharusnya sudah bersyukur! Kamu tahu kan, kamu adalah pelanggaran! Jangan minta aneh-aneh lagi!"

Satria terduduk. "Jadi... betulan.... Tidak bisa?"

Sosok itu membungkuk, membelai dagu Satria. "Ini yang aku takutkan." Suaranya melembut. "Kamu tahu, kan? Kita ini di posisi sulit, aku tidak boleh kembali kalau tidak bersamamu. Kamu juga tidak boleh masuk kalau belum selesai urusannya."

Satria diam, tapi tetap memperhatikan setiap kata dari lawan bicaranya.

"Kita harus pergi dari sini. Mari saling membantu, hm? Kalian bisa pilih bagaimana cerita hidup kalian, tapi aku akan melakukan tugasku, apapun akhir cerita kalian. Sayangnya, ini pilihan cerita hidupmu. Mungkin, tidak murni dari dirimu sendiri, tapi kamu tetap harus membayar apa yang kamu dapatkan selama ini. Meskipun alam semestalah yang membuatnya jadi seperti ini."

Kemudian sosok itu menghilang. Memutar kepala pun Satria tidak bisa menemukannya.

"Dengar, Nak!" Suara sosok itu menggema. "Aku mengawasimu, jangan main-main!"

Kemudian Satria seperti dihempas, dan kembali lagi ke tempat yang sama sebelumnya. Dilihatnya Rasha yang berdiri diam, tapi kemudian terduduk. Satria berlari menghampiri Rasha yang masih menyatu dengan lantai.

"Hei!" Satria melambaikan tangan di wajah Rasha, berusaha mengembalikan atensi Rasha. Tapi nihil. Rasha tidak bisa melihatnya.

"Hei, Aku disini! Ra –"

"Rasha!"

Atensi Satria dan Rasha beralih ke pintu yang terbuka. Yudha berlari menghampiri Rasha. Johnny mengikuti di belakang Yudha.

Dengan segera Yudha memeluk Rasha, berusaha memastikan gadis itu merasa aman. "Hei, hei..." Yudha mengusap kepala Rasha. Gadis itu sesenggukan. Kemudian menangis keras.

"Satriaaa...!" Racau gadis itu. Yudha makin mengeratkan pelukannya.

Satria menelan ludah. Ketika gadis itu meneriakkan namanya dengan pedih, ia yang seharusnya ada di sampinya. Satria yang seharusnya menenangkan dan memastikan gadis itu merasakan aman. Tapi Satria sadar kondisinya saat ini. Baru kali ini dia merasa sangat menyesal.

Betul, seingin apapun Satria merengkuh Rasha, semua itu sudah terlambat. Lebih parahnya lagi, Rasha tidak bisa melihat dirinya lagi.

Tapi sepertinya, Satria masih merasa seseorang bisa melihat dirinya. Kepalanya mencari orang itu sampai pandangan matanya beradu dengan Johnny.

"Sembilan hari lagi." Kata Johnny tanpa suara. Satria terbelalak.

Instingnya benar, ada yang aneh dari bocah yang selalu terlihat mengantuk itu.

Comments