"Apa yang terjadi jika seseorang yang harusnya mati justru terperangkap di dunia sini?"
Sejak kejadian bertemu bocah itu aku jadi tertarik tentang kehidupan dari dunia lain. Kadang, kamu bisa melihatku mengobrol dengan Belinda dan Xandra. Awalnya aku hanya tahu Belinda yang memang dari awal ketahuan punya kemampuan lebih. Tapi ketika Xandra bergabung, aku tidak keberatan. Karena ternyata mereka berdua sudah tahu keberadaan si bocah yang suka berkeliaran di dekatku.
"Oh, anak SMA itu ya?" Tanya Belinda.
Aku mengerutkan dahi. "Kamu tahu?"
"Yaah... terlihat begitu saja, kami tidak bisa tidak tahu?" Giliran Xandra yang menanggapi, sambil meniup-niup kukunya.
Oiya ya... aku hanya mengangguk. Saat ini aku sedang mengobrol dengan mereka sambil menunggu dosen datang.
"Apa yang akan terjadi?" aku mengulang pertanyaanku.
"Tentu dia akan mencari pemuasan dari hal-hal yang paling ingin dia lakukan sebelumnya." Jawab Xandra tanpa mengalihkan fokusnya dari kuas dan kukunya.
"Kalau sudah terpenuhi?"
"Dia akan pergi dengan damai." Jawab Belinda membuatku menghembuskan napas.
"Ooh... syukurlah!"
"Tapiii!" Suara Xandra membuatku tidak jadi lega.
"Tapi apa?"
"Dia harus menyelesaikan semuanya sebelum, paling tidak, satu tahun peringatan kematiannya. Kalau tidak, dia akan terperangkap di sini selamanya dalam wujud roh jahat." Lanjut Belinda. "Itu setahuku sih, bisa benar bisa tidak."
"Kapan satu tahun kematiannya?" Tanya Xandra tak acuh, sibuk menutup botol pewarna kuku dengan satu tangan.
"Sekitar... sebelas hari lagi?"
Xandra mengangguk-angguk paham. "Dia itu rumit, kalau janjinya tidak ditepati, rohnya lebih dari jahat." Xandra menunjukkan hasil kukunya ke Belinda. "Cantik, kan?"
Belinda hanya mengangguk sambil tersenyum lemah. "Jangan bicara yang aneh-aneh. Dosen sudah datang, cepat bereskan!"
Aku menyesal menanyakan itu pada mereka. Aku jadi terngiang-ngiang kata-katanya, sampai kelas berakhir, sampai Belinda dan Xandra pamit pulang.
Sampai-sampai aku tidak sadar kalau Johnny sudah beberapa kali memanggil namaku.
"Hah? Apa?"
"Aku cuma mau bilang, perpustakaannya mau ditutup." Johnny terlihat sedang membereskan barang-barangnya.
Wah, aku sampai lupa, aku sedang mengerjakan tugas kelompok sambil menunggu Yudha pulang. Fokusku memang harus 'diperbaiki'.
"Maaf, sepertinya harus kita lanjutkan besok."
"Tidak apa." Johnny tersenyum. "Aku punya banyak waktu."
"Yah, baguslah kalau begitu." Aku balas tersenyum.
"Ada yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Johnny.
"Hmm... Ya, sedikit banyak."
"Mungkin aku bisa bantu?"
Aku diam sejenak, memandang Johnny yang sekarang sedang menatapku. Johnny orangnya baik, dan sepertinya bisa diandalkan. Tapi itu justru membuatku tidak mau terlihat menggelikan dengan menceritakan tentang si bocah.
Apalagi aku sudah berjanji dengan si bocah untuk tidak mengatakannya pada siapapun, kan?
"Kamu percaya arwah gentayangan?" Oke, aku memang lemah. Tapi hei, aku kan cuma tanya. bukan mengungkapkan siapa, apa, kapan, kenapa dan bagaimana si bocah SMA itu.
Johnny mengernyit. "Hah?"
"Uh, itu, mereka bilang kalau arwah gentayangan tidak kembali ke alamnya selama satu tahun sampai peringatan kematiannya, dia akan terjebak di sini dalam wujud roh jahat." Aku mensejajarkan langkahku dengan Johnny. "Dan untuk kembali ke alamnya itu, mereka harus menyelesaikan urusan yang masih tertinggal di sini."
Johnny terkekeh. "Satu tahun? Ahaha..." Tuh, kan? Pasti Johnny menganggapku konyol.
Aku ikut tertawa pelan, mencoba menyelamatkan wajahku yang masih tersisa.
"Itu kalau yang mengizinkan sudah sangat baik hati." Kata Johnny membuatku kembali melempar wajahku ke arahnya.
"Tidak mesti setahun, itu semua tergantung dengan si 'agen'. Kalau dia izinkan sampai lima tahu pun, asal masih bisa diurus dan dia tidak macam-macam, si agen akan menyanggupi. Tapi, aku yakin itu bukan hal yang menguntungkan buat si agen." Kemudian Johnny yang memang lebih tinggi dari itu membungkuk, mempertemukan mata kami satu sama lain.
"Tapi si agen sudah banyak memberinya kelonggaran, memberinya kesempatan sampai sejauh ini sudah jauh lebih dari cukup." Bisik Johnny sambil tersenyum, tapi sekarang aura tampannya menguap. Digantikan oleh karisma aneh yang membuatku takut.
"Tuh, Yudha sudah datang." Johnny menjauhkan wajahnya, aku jadi bisa bernapas normal lagi.
Aku mengikuti telunjuk Johnny ke arah Yudha yang berlari menghampiri kami.
"Ayo pulang!" Serunya gusar. Aku mengangguk. Ia menarik tanganku sampai aku hampir menubruk badannya.
"Duluan, Johnny!" Aku melambaikan tanganku pada murid pertukaran dari luar negeri itu susah payah, mengingat aku sedang 'diseret' sama Yudha yang tiba-tiba bersikap aneh. Johnny mengangguk riang, kontras dengan Yudha yang makin menggenggam pergelangan tanganku dengan kuat.
"Aduh!" Aku merintih. "Kenapa sih!?" Aku menghempaskan tangannya saat kami sudah agak jauh dari Johnny.
"Jangan main dengan Johnny lagi!" Yudha menggerutu. "Dia aneh, dan menyebalkan." Dengusnya.
Hah...?
"Lagipula kalian sedang apa berdua, dekat-dekat di koridor yang sudah sepi?! Siapapun yang melihatnya pasti akan berpikir kalau kalian berdua ada apa-apa!" Seru Yudha.
Aku mengerjapkan mata, mencerna kata-katanya. Sedetik kemudian aku tersadar.
"Hmm... Oktavian Yudha Wardana sedang cemburu ya??" Godaku pada wajah yang sekarang berusaha datar.
"H-hah? Kamu gila! Untuk apa aku cemburu?!"
"Ooh begitu... ya sudah." Aku mengibaskan rambutku. "Besok-besok aku mau mengerjakan tugas bersama Johnny di kafe saja ah, di perpustakaan membosankan." Aku mendekat pada Yudha.
"Hanya berdua." Lalu tersenyum jahil.
Hahaha! Kalian harus lihat wajahnya sekarang!
Yudha mendesis. "Sekali lagi kamu bertingkah seperti itu, aku akan –!"
Dengan sigap aku berlari menuju halte, menghindari Yudha yang sekarang mengejar di belakangku. Bercanda dengan Yudha membuatku lupa kata-kata Belinda serta Xandra, dan isyarat anehmilik Johnny.
-------------------------------
pernah di post di wattpad.
klik ini untuk ke daftar isi.
klik ini untuk ke part selanjutnya.
klik ini untuk ke part sebelumnya.
-------------------------------
Johnny meraih botol air dari kulkas dan meneguknya dengan cepat. Tenggorokannya kering, dan kepalanya pusing. Tubuhnya terasa lelah, padahal yang dia ingat dia tertidur seharian ini.
Oh, salah.
Dia ingat dia sedang melihatnya berbincang di perpustakaan dengan salah satu gadis di kelasnya. Tapi sisanya blur, seperti mimpi. Terasa nyata, tapi bukan dia yang jadi tokoh utama. Dia tahu semuanya, tapi Johnny hanya penonton.
Ditambah banyak orang yang sudah mengaku melihatnya di kampus, padahal dia sedang seharian di rumah? Tidak ada kelas yang dia ambil hari ini.
Pesan dari Evelyn membuatnya mengecek ponsel. Johnny segera menghubungi gadis itu.
"Bagaimana di sana?" Tanyanya riang.
"Tidak bisakah kamu memastikan perbedaan waktu? Di sini tengah malam, tahu! Tidak sopan." Degus Johnny. Evelyn mendecih.
"Hng, sama saja, kamu tetap menelepon, kan?"
Yah... untuk yang satu itu Johnny tidak bisa mengelak.
"Hei, sejak di sana, kamu jadi aneh. Kamu tahu? Kamu terdengar selalu kelelahan." Johnny menunggu kalimat selanjutnya dari Evelyn. "Apa di sana seberat itu?"
Johnny tertawa kecil. "Tidak, tidak! Ini mengasyikkan! Hanya saja, ada beberapa kejadian aneh."
"Kejadian aneh? Seperti apa?"
"Ada yang melihatku, tapi yang dia lihat bukan aku."
"...Okay?"
"Aku melihatku, tapi dia bukan aku."
"....HAH? Maksudnya?"
Comments
Post a Comment