Aku tidak mengatakan apapun sampai pulang, pikiranku masih dipenuhi cerita si bocah. Bahkan Yudha yang berjalan di sampingku karena kebetulan jadwalnya sama denganku juga tidak kuhiraukan. Tangannya yang terayun ke atas dan ke bawah tepat di depan mataku menjadi penyadar. Aku segera menoleh.
"Hah? Kamu bilang apa?"
"Ck... tidak biasanya kamu seperti ini. Apa kamu tahu kalau beberapa orang bilang kamu aneh karena berteriak sendiri di kelas kemarin?"
"Yudha, aku bisa melihat hantu."
Dia menghentikan langkahnya. "Apa?" Dia terkejut, dan juga khawatir.
"Hantu... aku bisa–"
"Whoa whoa! Tenang! Tunggu disini, aku segera kembali." Kemudian Yudha meninggalkanku sendirian di pinggir jalan menuju halte. Ekor mataku menangkap sosok Yudha memasuki salah satu minimarket terdekat.
"Masih shock?" Bocah SMA itu tiba-tiba muncul di depanku. Aku sedikit berjengit.
"Jangan mengagetkanku seperti itu! Aku memiliki hati yang lemah, tahu!"
"HA! Lemah?!" Dia tertawa. Lalu tatapannya berubah serius. "Jangan bilang pada Yudha."
"Bilang apa?"
"Jangan katakan apapun tentangku ke Yudha... dan lainnya." Katanya tajam. "Terutama pada orang yang membantumu menyingkirkan scooter tempo hari."
"Johnny?"
Dia mengangguk. "Ada yang aneh darinya, aku tidak suka."
Aku diam, menunggu reaksinya selanjutnya. Tapi tidak ada, matanya masih menatapku tak lepas.
Akhirnya aku mengangguk. "Iya, aku tidak akan bilang siapa-siapa."
Lalu dia tersenyum dan duduk di trotoar, seolah menghitung mobil yang lalu lalang lewat begitu saja. Aku mengikutinya.
"Terimakasih." Katanya.
"Untuk apa?"
"Karena kamu sudah berjanji untuk tidak mengatakan apapun."
Aku tidak menjawab. Entah kenapa lidahku merasa kelu. Merasakan nada kesepian darinya, yang sebetulnya dia pasti ingin ada yang menganggapnya 'ada' kan? Tapi mungkin karena suatu keadaan tertentu dia jadi tidak bisa dengan leluasa menunjukkan siapa dirinya.
Suatu keadaan yang kebetulan hanya aku mengetahuinya.
"Kejadiannya di situ." Dia menunjuk zebra cross tak jauh dari tempat kami. "Aku dan dia les setelah pulang sekolah di situ."
Aku membulatkan mata ketika dia menunjuk tempat aku belajar agar bisa lulus ujian saringan masuk universitasku sekarang. Dan memang, sekolah kami cukup dekat dari sini -dengan kata lain, transportasinya cukup mudah dari sini.
"Dulu aku hanya iseng coba-coba mengikuti kursus ujian masuk karena dia, agar kami bisa masuk universitas yang sama." Dia tertawa tertahan.
"Hei... aku juga kursus disana, apa mungkin aku mengenalnya? Kamu bisa mengatakan padaku siapa orang itu agar jika kamu butuh bantuan, aku bisa langsung menemuinya."
Demi mendengar perkataanku, dia mengernyitkan dahinya. "Untuk apa?"
"Yah... Kamu kan, perlu menyampaikan sesuatu padanya, jadi aku rasa aku bisa menjadi media yang baik." Aku berdehem, berusaha tidak terlihat kaku. Jujur saja, aku hanya penasaran siapa orangnya.
"Haha, tidak perlu." Dia tertawa.
"Dia memang seharusnya menghadapi takdirnya sendiri..." Katanya lagi. Bocah itu menghela napas. "Tapi karena aku tiba-tiba berdiri di antara mereka, Tuhan menghukumku dengan membuatku terperangkap di sini. Awalnya aku kesal, tapi sekarang, aku berterima kasih. Tapi dengan eksistensi ku yang perlahan menghilang..."
"Menghilang? Maksudnya?"
"Dulu ketika kejadian itu belum lama, aku bisa dengan sesuka hatiku memunculkan diri atau berpindah tempat. Tapi sekarang... itu sedikit sulit."
Aku menelan ludah. Meskipun baru kenal dua hari, entah kenapa aku merasa sudah mengenalnya lama dan sedikit sedih untuk mendengarnya mengatakan itu.
"Dan semakin kesini, aku hanya bisa membuat diriku terlihat pada waktu tertentu."
"Seperti saat di rooftop?"
Dia mengangguk.
"Apakah untuk saat ini kamu sedang sangat berusaha?"
Dia mengangguk lagi. "Dan aku bersyukur Tuhan mengizinkanku untuk saat ini."
Aku tersenyum.
Tuhan, berilah bocah ini sedikit kasih sayangmu, dia hanya bocah polos yang berusaha menyelamatkan seseorang yang dia sayangi tanpa memikirkan dirinya sendiri...
"Kamu menyesal menyelamatkan si gadis itu?" Tanyaku, yang membuatnya menatapku tajam.
"Tidak sama sekali. Kalaupun ada yang harus disesali, itu adalah kebodohanku yang tidak bisa berbuat lebih baik disaat aku bisa melakukannya." Jawab si bocah tegas dan mantap. Matanya sedikit melembut. Duh, aku tidak tahan kalau ekspresinya begitu.
Dear orang yang dicari bocah, tolong ketahui kalau dia sudah berusaha lebih dari yang bisa dia lakukan.
"Kalau begitu betul, kamu tidak perlu menyesal. Kamu sudah sangat mendekati sempurna, jauh di atas lebih baik. Kamu sudah sejauh ini, kalau dia masih minta lebih..." Aku menunjukkan kepalan tanganku pada bocah. "Dia akan menerima ini."
"Ada-ada saja!" Bocah itu terkekeh. "Tuh, Yudha sudah datang..."
Aku menoleh, netraku menatap Yudha sedang berjalan ke arahku.
"Terima kasih." Katanya. "Dan ingat! jangan katakan apapun tentang semua ini pada Yudha..." Itu pesan terakhir si bocah ketika aku tidak melihatnya lagi di sampingku.
"Maaf, tadi mengantri di kasir." Yudha merogoh-rogoh kantung plastik di tangannya, lalu menyerahkan minuman cokelat ke arahku. Kesukaanku ketika membutuhkan moodbooster.
"Kamu pasti lelah dengan kuliah dan kegiatanmu yang lain, kan? Makanya sampai bicara ngelantur begitu."
Aku menerimanya lalu berdiri. "Ahaha... iya sepertinya begitu..."
-------------------------------
pernah di post di wattpad.
klik ini untuk ke daftar isi.
klik ini untuk ke part selanjutnya.
klik ini untuk ke part sebelumnya.
-------------------------------
Awalnya Yudha tidak mau percaya dengan apa yang dilihatnya. Semua itu tidak bisa dijelaskan dengan ilmiah, bukti konkrit belum ada. Tapi setelah Rasha sendiri yang bercerita, secepat kilat Yudha menyusul Johnny yang baru saja ia lihat dengan ekor matanya masuk ke minimarket dekat tempatnya dan Rasha berdiri.
"Johnny!" Yudha berseru dan menghampiri Johnny yang berdiri di kasir. "Bagaimana ini? Rasha betulan bisa melihatnya!"
Yudha menghela napas. "Ya... mungkin sudah takdirnya?"
"Tapi Rasha tidak boleh!" Kata Yudha. "Dia sudah berjuang sampai sejauh ini? Kenapa sih, bocah itu harus muncul lagi?!"
Johnny menyentil kepala Yudha, kemudian tertawa kecil. Lebih mirip mengejek. "Heh, anak muda! Mungkin dia sedang melunasi takdir yang dia punya. Biar impas, biar seimbang." Kata Johnny santai kemudian menyeruput minuman kalengnya sambil meninggalkan mini market.
Yudha melongo, diam diantara bising siang itu.
"Sudah takdir? Melunasi?"
Comments
Post a Comment