YWH : 3. A Year

Aku baru tahu kalau aku bisa lihat hantu.

Maksudku, aku tidak akan bisa jawab kalau kamu tanya 'apa ada satu disini?' tapi tetap saja, aku bisa melihat hantu.

Pantas saja, kalau ada bocah SMA itu hawanya jadi lebih dingin. Wajahnya juga kelihatan pucat. Aku pikir dia tipe bocah penyakitan yang tiap hari harus dipantau oleh ibunya. Tapi tentu saja tidak, bagaimana mungkin ibunya memantau jika dia terus kabur ke kampusku?

Akhirnya, setelah ancaman untuk mengadakan ritual pengusiran arwah jika dia tidak ceritakan semua dari awal, dia janji akan menemuiku di tempat kemarin setelah kelasku berakhir hari ini.

"Baik, kirimkan lewat email tugas hari ini, paling lambat jam delapan malam, sekian." Itu adalah kata pertama dari dosen yang aku tangkap hari ini. Aku langsung beranjak dan sedikit berlari ketika dosen itu mengakhiri kelas.

Sesampainya di rooftop, aku bisa melihatnya berdiri di ujung, merentangkan tangan. Berpose seolah dia hendak melompat ke bawah.

Aku melotot. Sedikit banyak pernah menonton adegan ini di drama. Instingku melejit, dengan segera aku menghampirinya.

"HEI HENTIKAN!" Seruku. Dia menoleh. Aku segera berlari mendekat. "Hentikan! Aku tahu kamu putus asa tapi jangan menyerah seperti ini!"

Bocah itu menatapku tak percaya, lalu melayang dan dengan mulusnya mendarat di depanku.

Oh... iya, ya...

"Aku sudah mati, bodoh." Jawabnya, kasar.

Aku masih sedikit shock. Tapi kuusahakan tertawa, menertawakan kebodohanku sendiri.

"Hahaha... Benar... Kamu itu hantu..." Aku mengusap kepalaku, lalu menarik napas dalam. Bagaimanapun ini pertama kalinya aku melihat hantu kan?

"Bodoh kok dipelihara." Katanya lagi, memancing keributan.

Aku melotot melihatnya tertawa mengejekku. Tanpa pikir panjang, aku meninju dadanya.

Tembus.

Lengan, perut, lalu aku tendang kakinya.

Tembus.

"HA! Haha hentikan." Dia masih tertawa, tapi sejurus kemudian menatapku tajam.

"URGH!" Dengan frustasi aku meninju kepalanya, yang tentu saja tembus. "HUWAH!"

"AKU BILANG HENTIKAN! ISH!" Dia makin melotot.

"Huwah... tembus! kepala... tembus!" Aku memandang tanganku dengan mulut yang menganga. Lagi-lagi masih belum terbiasa dengan yang barusan terjadi.

"Hubungi aku kalau sudah selesai bermain-main." Bocah itu memasukkan tangan ke kantung celana seragamnya sambil berlalu.

"Bagaimana caranya, bodoh?!"

"Apa kamu sedang memanggil dirimu sendiri?" Serunya lagi dengan ekspresi yang sangat menyebalkan.

"HEH! BOCAH! PERLIHATKAN SEDIKIT SOPAN SANTUNMU!"

"AKU BUKAN BOCAH!" Dia mengusap wajahnya sebal. "Duduk!" Katanya tajam. Akhirnya aku duduk di salah satu kursi bekas disana.

Oiya... aku kesini karena mau mendengar ceritanya.

Kami diam cukup lama. Sampai aku yang memecah kebisuan. "Jadi?"

"Jadi begini..." Dia menatap langit sebentar, bingung mau mulai darimana.

"Mungkin... mulai dari penyebab kamu..." Aku sedikit berhati-hati saat mengucapkannya, takut akan melukai perasaan bocah tengil ini. "Mati?" Tapi dia justru menjentikkan jarinya dan dengan semangat mengubah posisi duduk menjadi posisi ternyamannya.

"Setahun yang lalu, beberapa minggu sebelum kelulusan SMA, ada seorang gadis cantik dan baik hati sedang menyeberang jalan..."

"Apa kamu sedang mendongeng?"

"Apa kamu punya seribu mulut?"

"Aku akan membuatmu merasakan mati dua kali." Kataku sambil berusaha memancarkan laser keluar dari mataku –yang tentu saja tidak akan terjadi.

"Ya, ya! pokoknya, dia sedang pulang dari tempat kursus yang sama denganku. Seperti biasa, aku hanya berani melihatnya dari kejauhan.

Sebenarnya aku mengenalnya, dia teman sekelasku. Tapi –Ya, kamu tahu lah! Itu... hmm..." Bocah itu sedikit salah tingkah, seperti bingung hendak mengatakan kalimat selanjutnya.

"Kamu menyukainya?" Tanyaku tepat sasaran.

Dia mengangguk pelan.

Aku tertawa. Bocah ini di luar dugaanku, innocent. Tampang sangar yang dihasilkan dari mata tajam dan rahang lancipnya itu sirna. "Lalu apa yang terjadi?"

"Aku tidak terlalu ingat. Ketika aku sedang melihat ke arah lain, tiba-tiba dia sudah di tengah jalan dengan mobil berkecepatan tinggi melaju ke arahnya. Lalu tanpa sadar aku mengumpankan diri dan..."

Aku menahan napas. Dia menangkap ekspresiku yang menegang.

"Dia selamat, hanya terluka karena aku mendorongnya dan membuatnya terpental tak jauh dari mobil itu tapi aku..." Dia tak melanjutkan kata-katanya, menunduk, memainkan tangannya.

Aku diam, merasa sedikit aneh kalau bocah yang bertengkar denganku beberapa saat lalu adalah bocah yang sama dengan anak laki-laki di depanku. Aku jadi merasa iba.

"Saat itu juga, aku pergi. Kamu tahu? aku pikir hal yang paling menyeramkan adalah melihat dirimu sendiri terkapar di tengah jalan dengan genangan darah di sekitarnya, dan menjadi tontonan orang-orang, serta melihat perempuan yang kamu sayangi tidak sadarkan diri di trotoar..."

Dia tertawa kecil, lalu melanjutkan, "Tapi ternyata, hal yang paling menyeramkan adalah... ketika kamu melihat upacara kematianmu sendiri dengan keluargamu yang menangisi kepergianmu, padahal kenyataannya kamu terperangkap disini dan tidak tahu kapan bisa pergi."

Lalu suasana hening. Aku tidak tahu harus bersuara seperti apa di situasi seperti ini.

"Sudah puas?" Dia melihat ke arahku dengan tatapan sayu. Jelas, dia menahan emosinya yang sepertinya sudah lama ia tahan. Coba bayangkan? Sendirian di dunia 'itu', tidak punya siapapun yang diajak bertukar pikiran. Ditambah masih harus mencari seseorang yang ia cintai, yang bahkan dia tidak tahu harus mulai darimana –hanya sedikit petunjuknya.

Mau tidak mau aku jadi ikut sedih melihatnya berusaha tidak meledak, tidak menangis di hadapanku.

Tanganku terangkat perlahan, mencoba menyentuh pipinya yang memerah. Kali ini aku tidak bercanda tembus-menembus seperti tadi. Aku mencoba mengusapnya, meskipun hanya angin yang menyambut kulitku.

Bocah itu menatapku heran, tapi aku tahu dia sedang menunggu tindakanku selanjutnya.

"Kamu..." Aduh, suaraku jadi ikut serak. "Harus kuat! Aku akan bantu apapun agar kamu bisa mengatakan hal yang harus kamu katakan pada gadis itu!"

-------------------------------
pernah di post di wattpad.
klik ini untuk ke daftar isi.
klik ini untuk ke part selanjutnya.
klik ini untuk ke part sebelumnya.
-------------------------------










Yudha menelan ludah. Ia melihat Rasha lagi di atap, seolah sedang mengobrol tapi dengan angin. Yudha menggigit bibir.

Bagaimana ini? Rasha kenapa?

"Hei, tenang." Bahu Yudha ditepuk dari belakang. Yudha menoleh, kaget.

"Hah? Siapa..."

"Aku teman sekelas Rasha, yang waktu itu membawa Rasha ke klinik kampus."

Yudha manggut-manggut. Pantas wajah pemuda jangkung ini tidak asing.

"Rasha betulan tidak sendirian kok." Pemuda itu menunjuk angin yang sedang ditatap Rasha. Ia menjentikkan jari seolah menunjukkan pada Yudha dengan lebih jelas. "Coba perhatikan lebih teliti."

Yudha mengikuti kata-kata Johnny dan,

"Tidak mungkin!"


Comments