YWH : 2. What are You?

Dosenku belum hadir, padahal seharusnya kelas sudah berlangsung 15 menit yang lalu. Orang-orang di kelas mulai kasak kusuk untuk meninggalkan kelas. Beberapa bahkan sudah ada yang bangkit membawa tas. Sebagai mahasiswa tahun pertama, aku masih bisa bersabar menunggu dosen kok –kalau tidak mau dibilang takut.

Well... tidak ada salahnya menunggu sampai pas 30 menit.

"Wah, ternyata dosen bisa terlambat juga, yah." Sahut sebuah suara membuatku berjengit. Aku menoleh ke samping, kursi yang tadinya kosong kini sudah diduduki oleh si bocah laki-laki berseragam SMA.

"Bagaimana kamu bisa masuk? Sejak kapan kamu ada disini?" Seruku tertahan. Bukannya menjawab, bocah itu nyengir lagi.

"Bagaimana rasanya kuliah? Apakah menyenangkan?" Tanyanya sambil memutar-mutar kepala antusias. Aku terkikik melihat reaksinya yang seperti anak kecil. Yah... bagaimanapun dia masih SMA kan?

Tapi tunggu, kalau dilihat-lihat seragam itu seragam SMA ku dulu. "Ternyata kita satu alumni ya?"

Dia menoleh ketika aku menyebutkan alumni, lalu memicingkan mata, judging. "Ck... Baru sadar?"

"Yaaahh... ehem" Aku berdehem, mulai menyadari kebiasaanku yang lumayan memalukan. "Aku tidak dikenal sebagai orang yang peduli keadaan sekitar." Aku membela diri.

"Iya, kelihatan kok." Katanya pendek, cukup membuatku mengangkat buku untuk menimpuk, tapi kuurungkan. Bisa-bisa aku dituduh menyiksa anak dibawah umur.

Aku melihat garis hijau di tepi kerah jas sekolahnya, lalu warna seragamnya yang sudah pudar. Tanda-tanda itu tidak didapat oleh sembarang murid SMA kan?

"Kelas tiga?" Tanyaku menebak-nebak.

Dia berpikir sebentar, kemudian mengangguk, lalu nyengir. Kira-kira ekspresinya itu bunyinya 'Aku sudah besar kan? Aku keren kan?'

Tapi jawabannya –bagiku yang merasa sudah lebih tua darinya, adalah tidak. Tidak keren sama sekali.

"LALU APA YANG KAMU LAKUKAN DI SINI, BOCAH?" Teriakanku sedikit membuat orang-orang mengalihkan perhatiannya padaku. Bocah di depan menjauhkan telinganya dariku, sambil menahan kesal. Huh!

"Ada masalah?" Tanya Johnny, berjarak dua kursi di belakangku.

Aku menggeleng sambil tersenyum kecil ke arahnya, tidak mempedulikan si bocah yang melotot padaku. "Hehe... I'm- We're Good."

"Okay Then." Katanya sambil memasukkan earphone ke telinganya lagi. Sebelumnya sekilas aku bisa melihat kerutan di dahinya.

Aku kembali menatap tajam bocah adik kelasku ini. "Apa yang kamu lakukan disini? Bukannya belajar dengan benar!"

"Aku–"

Belum sempat dia menjawab, penanggung jawab kelas kami maju ke depan kelas untuk menulis di papan tulis. Aku baca tulisan lamat-lamat.

"Sial..." Desisku setelah paham apa yang terjadi. Dosen kami tidak dapat hadir. Suasana kelas menjadi sedikit ramai, mahasiswa doyan nongkrong langsung tancap gas pergi dari ruangan.

Aku menghela napas. "Yaah... padahal hari ini aku hanya ada satu mata kuliah saja."

Dan aku bersusah payah pergi dari rumah untuk menghadiri kelas yang dibatalkan?

"Kalau begitu ikut aku saja!" Seru si bocah.

Aku mengernyit. "Ikut? Kemana?"

"Ikut saja! Kamu juga tidak tahu mau kemana kan?"

"Hmm..." Aku sedikit berpikir. Meskipun aku belum mengenal lama si bocah, entah kenapa ajakannya itu tidak semestinya kutolak. Iya memang, kalau aku pulang juga masih harus menunggu Yudha, jadi tidak ada salahnya bermain sebentar dengan si bocah ini.

Tapi, ada hal lain yang tidak ingin membuatku berpisah dengannya.

Masa perasaan itu secepat ini, sih?

"Sudahlah ayo!" Dia bangkit duluan, seperti tahu kalau aku sudah pasti mengikutinya. Benar, kemudian aku susul berjalan dibelakangnya.

Sebenarnya anak ini siapa sih?

Tapi toh, aku tidak menyesal mengikutinya, karena sekarang aku bisa sedikit relaks di rooftop yang selama ini aku tahu selalu dikunci. Meskipun tadi aku sempat kesal karena dia menyuruh-nyuruh untuk memindahkan barang-barang yang menghalangi –apa dia lupa aku ini habis mengalami kecelakaan? dan mengambil kunci yang ternyata hanya digantung di samping pintu saja –kalau begitu buat apa dikunci?

Itupun tertutup lemari dan harus digeser dulu lemarinya. Tebak siapa yang melakukannya? Oh, itu aku, dengan disertai perintah dari si bocah.

"Darimana kamu tahu ada tempat seperti ini?" Tanyaku.

"Aku sudah lama berkeliaran disini, tahu." Jawabnya, sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang menghantam lembut wajahnya.

Kami sedang bersender di pembatas, di bawah sana terbentang taman dan jalan dengan para mahasiswa yang sibuk berlalu-lalang.

"Berapa lama?" Tanyaku lagi, karena jawabannya masih menimbulkan pertanyaan lain. Lagipula aku hanya ingin mengobrol.

"Hmm, satu tahun?" Dia terlihat sedang menghitung.

"HAH?!" Seruku tanpa sadar.

"Dua minggu lagi sih, baru satu tahun." Jawabnya sambil mengusap rambutnya ke belakang.

Ckck, aku tidak habis pikir mendengar jawabannya. Memangnya apa yang mau dia lakukan sih? Satu tahun itu bisa dibuat belajar masuk perguruan tinggi! Untuk apa menghabiskan waktu di momen yang tidak tepat?

"Memangnya tujuanmu apa?" Tanyaku mencoba memahami si bocah yang kini memejamkan matanya.

"Awalnya aku mencari seseorang." Katanya pendek.

"Sudah kamu temukan?"

"Bisa dibilang begitu..." Dia membuang muka, menghindari tatapanku.

"Kenapa kamu mencarinya?" Tanyaku lagi, mengejar matanya.

"Ada yang ingin aku sampaikan padanya. Jika tidak bisa, aku pikir aku tidak akan pergi dari sini." Jawabnya, lalu berjalan menjauh sedikit.

"Apa itu?" Tanyaku lagi, mengikutinya.

"Kenapa tanya terus sih?! Memangnya kamu pengacara?!" Serunya, memandang mataku tajam. Akhirnya kesabarannya habis.

"Habisnya aku penasaran! Apa sih yang membuat anak SMA sampai bersikeras mencari orang sampai sebegitunya. Bukannya belajar..." Desisku, kemudian tanpa dosa aku nyengir. Aku masih ingin tahu kelanjutan ceritanya.

"Ish..." Cibirnya. Dia melihatku dari atas sampai bawah dengan tatapan terganggu. Aku tertawa.

"Memangnya kamu tidak tahu dia mahasiswa fakultas apa?" Tanyaku lagi ketika dia sudah terlihat sedikit relaks. Sedikit lebih mudah kalau ada informasi tentang orang itu kan?

"Hmm... mulanya aku hanya tahu fakultas yang dulu ingin dia masuki. Tapi dia tidak ada di sana, makanya cari satu-satu. Tapi sekarang aku sudah tahu, dia ada di fakultas yang berbeda dari tujuan awalnya."

"Kenapa dia tidak jadi ada di fakultas yang dia inginkan?"

"Entahlah, mungkin karena kejadian..." Dia tidak melanjutkan kata-katanya. "Ish! Mana aku tahu?! Aku juga baru bertemu dengannya!" Lanjutnya, terlihat kesal.

"Ya sudah! Langsung katakan saja apa yang ingin kamu katakan padanya!" Seruku.

"Kamu pikir itu mudah?!"

"Lah, sudah ketemu, memangnya mau tunggu apa lagi?!" Aduh, aku jadi pusing. Bocah laki-laki itu berkeliaran mencari orang karena ingin menyampaikan sesuatu, dan sudah ia temukan. Tapi kenapa dia seperti menahan diri untuk tidak bertemu dengannya? Masalahnya jadi tidak selesai dong?

"Ck... aku sudah menemukannya! Tapi setelah bertemu dengannya, rasanya aku tidak ingin pergi dari sini." Lalu dia tersenyum. Senyum yang... menurutku sedikit menyedihkan.

"Well, aku harap masalahmu dengan dia cepat selesai." Kataku mencoba menghibur.

Dia terdiam sebentar, kemudian berdecak. "Terimakasih doanya, sangat membantu." Jawabnya pendek.

Aku memicingkan mata ke arahnya. "Apa itu sarkasme?"

"Aku tidak menggunakan sarkasme dengan orang yang tidak bisa menerimanya."

"Apa kamu bilang aku bodoh?!"

"Aku hanya bilang terimakasih!"

"Dasar bocah!" Teriakku.

Aku merangsek ke arahnya, hendak memukulnya. Entah kenapa kaki kananku malah tersandung kaki kiriku sendiri yang membuatku limbung. Bocah SMA itu berusaha menangkapku tapi hal aneh terjadi.

"AWAS!" Bocah itu berseru, menjulurkan tangan seperti hendak menahanku.

"AH!" Aku memekik.

Seolah menembus angin, aku jatuh begitu saja ke lantai semen.

GUBRAK!

"Ap... apa yang..." Aku memandang ngeri tanganku yang sekarang menahan tubuhku sendiri di lantai semen. Jelas, bocah itu sudah berusaha menahan tubuhku agar tidak membentur lantai, tapi kenapa aku tetap jatuh?

"Aku..." Bocah itu gelagapan, terlihat terkejut sekaligus khawatir.

"Apa yang baru saja terjadi?"

Dia hanya membalasku dengan tatapan canggung dan bersalah. Aku menatapnya bingung campur terkejut.

"Kamu ini sebenarnya apa?"

-------------------------------
pernah di post di wattpad.
klik ini untuk ke daftar isi.
klik ini untuk ke part selanjutnya.
klik ini untuk ke part sebelumnya.
-------------------------------










Dari tadi pemuda ini sibuk mondar-mandir dari ruangan kelas, perpustakaan, kantin, bahkan menanyai mahasiswi yang baru saja keluar dari toilet. Tapi tetap saja, perempuan yang namanya Rasha belum bisa ia temukan. Pesan-pesannya tidak dibalas, dan hanya ada suara gemerisik kalau di telepon. Pesan terakhir gadis itu hanyalah,

'Kelasku dibatalkan, aku pulang cepat.'

Bagaimana Yudha tidak panik?

"CK! DIMANA SIH???"

Yudha menghembuskan napasnya keras, kakinya lelah, dan hatinya kalut. Akhirnya pemuda itu duduk di salah satu bangku yang ada di taman fakultas Rasha. Pikiran-pikiran buruk mulai menyergap. Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Rasha? Bagaimana kalau Rasha berbuat yang tidak-tidak? Bagaimana kalau... akhirnya Rasha ingat?

"HOARGH! HUSH! HUSH!"

Yudha mengusap wajahnya kasar. Rambutnya ia tarik-tarik, entah untuk menghukum dirinya karena pikiran yang kacau atau untuk mengencangkan sekrup imajiner yang ada di kepalanya. Tapi, ketika ia mendangak, di atas sana, di rooftop, terlihat sosok familiar yang ia cari beberapa jam ini.

"RA–!" Yudha yang sudah berdiri jadi berhenti. Iya, betul kok, Rasha yang ada di atas sana. Rasha terlihat seperti mengobrol dengan seseorang.

Yudha memicingkan mata sekali lagi, berusaha menangkap objek di depan Rasha yang masih belum bisa ia temukan. "Rasha... bicara dengan siapa?"

Comments