YWH : 1. You Were

Pasca kejadian scooter nahas itu, aku tidak dibolehkan membawa kendaraan sendiri lagi ke kampus. Orangtuaku mempercayakan Yudha untuk mengantar, tapi aku tidak akan percaya Yudha. Sebetulnya bisa saja aku nekat bawa lagi, toh orangtuaku sibuk mengelola bisnis dan usaha di luar kota. Tapi manusia macam Yudha tidak bisa diremehkan, sekali orangtuaku bilang tidak, sampai mati pun Yudha akan tetap di sisi mereka.

Menyebalkan, yang anaknya itu aku atau dia sih???

"Hei, sudah, jangan marah dong... lagipula aku juga tidak menyangka kamu bakal langsung memakainya tanpa mengecek lebih dulu." Kata Yudha beberapa langkah di belakangku. Dia tahu aku kesal, makanya dia sedikit menjauh. "Kan aku juga sudah bilang sebelumnya kalau remnya agak bermasalah, meskipun bisa dipakai."

"Mana aku tahu kalau ternyata scooter itu barang rongsokan?!" Seruku sambil menatapnya.

"HEH! Jangan menghina baeki..." Sahut Yudha cepat, membuatku melotot padanya, kemudian mendahuluinya berjalan menuju halte.

"Iya deh iya... Aku minta maaf. Aku traktir makan mi deh!" Kata Yudha yang tidak aku pedulikan.

Cih, tidak akan mempan!

" Dan tiket mini konser standing egg!"

Eh...?

"Serta cheeseburger tiap minggu selama satu bulan!"

"OKE!" Seruku tanpa pikir panjang.

Aku menepuk kepala Yudha dan segera masuk ke bis menuju kampus, meninggalkannya yang masih bengong di halte.

"DASAR GADIS ULAR!" Teriaknya lalu menyusulku masuk ke bis.

Di dalam bis, aku sudah bisa tertawa-tawa lagi dengan Yudha. Lagipula, aku bukannya kesal sungguhan. Marahan dengan Yudha bukan opsi yang bagus. Aku dan Yudha adalah teman dekat dari SMA –setidaknya begitu yang aku ingat. Makanya, hal-hal trivia macam itu sudah biasa membuat kami bertengkar kecil. Tapi, semuanya akan selalu bermuara ke tempat yang sama.

Toh, aku tahu ini semuanya bukan salah Yudha, dan Yudha juga tahu aku tidak bisa lama-lama diam seperti itu.

Akhirnya kami tiba di kampus. Aku dan Yudha berpisah karena kami beda fakultas. "Jangan pulang sendirian!" Begitu pesan terakhir Yudha sebelum punggungnya menghilang di belokan sana.

Aku menghela napas. Entah sejak kapan, aku merasa agak diawasi –kalau tidak mau menyebut dibatasi. Tentang Baeki juga, aku beli diam-diam melalui Yudha karena orangtuaku tidak membiarkan aku mengendarai kendaraan sendiri di jalan raya. Kemarin itu, pertama dan terakhir kalinya aku naik scooter ke kampus, itupun dengan perjanjian Yudha akan mengikutiku dari belakang.

Kecuali saat pulang, karena aku nekat pulang sendirian tanpa menunggu Yudha yang masih ada kuliah.

Lagipula, usia kami sudah hampir 20 tahun! Masa iya kami harus selalu sama-sama terus? Urusan dan kepentingan kami sudah beda, tidak bisa disama-samakan lagi seperti saat sekolah. Aku juga merasa segan pada yudha. Selain itu rasanya tidak bebas!

Makanya, kemarin aku mencoba pulang sendiri, tapi sepertinya memang aku di desain oleh Tuhan untuk tidak menentang kata-kata orangtuaku. Buktinya? Scooterku rusak, dan aku hampir menabrak bocah laki-laki SMA yang secara random muncul di kampusku. Dengan kata lain, aku hampir menabrak dan justru jadi korban kecelakaan konyol tunggal.

Bicara tentang itu, aku jadi ingin minta ganti rugi sama si bocah laki-laki kemarin, yang sekarang sedang termangu di balkon gedung tempat kuliahku hari ini berada.

"Rasha, sudah tidak apa-apa?" Belum sampai ke si bocah, bahuku ditepuk dari belakang. Belinda dan Xandra, sudah seperti satu set.

"Iya, terima kasih untuk kemarin." Aku mengangguk.

"Don't mention it." Sahut Xandra, chic seperti biasa. Kemudian mereka berdua berlalu menuju kelas,sambil mengangguk kecil pada si bocah SMA. Sekarang bocah itu melihatku.

"HOI!" Seruku. Ia terkekeh.

"Wah, sudah kuduga kamu akan ke sini kalau melihatku." Katanya.

Aku membulatkan mata. Itukah hal pertama yang ia katakan setelah peristiwa kemarin?

"Bukannya seharusnya kamu minta maaf gara-gara kemarin?" Tanyaku, tapi dia hanya tersenyum sambil memiringkan kepalanya sedikit. Tahu kan? Sedikit angkuh tapi tidak mau dibilang angkuh.

Kekanak-kanakan.

"Aku tidak menyangka kalau kamu bakal bicara denganku."

"Hah?"

"Yaah... sudah lama aku jalan-jalan sendirian di kampus ini, dan tidak pernah ada yang peduli denganku. Lalu tiba-tiba kamu berteriak kesetanan menyuruhku minggir jadi aku pikir itu bukan untukku." Kemudian dia nyengir.

"Hah?! Maksudnya apa sih??" Aku sedikit kesulitan mengikuti arah bicaranya. Jadi dia terlalu ansos begitu? Sampai tidak ada orang yang mempedulikannya? Tidak ada orang yang mengajaknya bicara? Atau karena kepalaku saja yang masih agak tidak jelas karena jatuh kemarin? "Urgh! Tidak ada gunanya juga marah pada orang sakit sepertimu..."

"Apa? Memangnya aku sakit?"

"Kamu..." Aku memutar telunjukku disamping dahi. Awalnya dia tidak mengerti, tapi sedetik kemudian,

"AKU TIDAK GILA!" Teriaknya tidak terima. Aku tertawa melihat reaksinya yang spontan dan lucu. "SEMBARANGAN!"

"Iya iya! Baiklah baik, habisnya dari kemarin kamu meracau tidak jelas begitu. Ya sudah, yang penting kamu tidak apa-apa." Kataku menenangkan si bocah yang saking terkejutnya sampai wajahnya memerah karena mendengar omong kosongku.

Hening.

"Rasha!" Sebuah suara membuatku mengalihkan atensi ke arahnya. Johnny. "Eh? Kamu tidak apa-apa?! Aku dengar kemarin kamu ada insiden di turunan keluar? Kamu bisa izin tidak masuk dulu..." Katanya, sebagai penanggung jawab kelas, dia memang cocok berkata seperti itu.

Aku tersenyum, kemudian menunjukkan luka yang sudah ditutup dan diobati. "Aku sudah baikan kok, lagipula ada Yudha yang membantuku."

"Sebegitu parahnya?" Tanya si bocah khawatir. Aku menghela napas, sedikit merasa bersalah membuatnya merasa bersalah. Lah?

"Sana, kembali ke sekolah! Jangan bolos terus, belajar yang benar! Biar dapat nilai bagus dan bisa lanjut kuliah!" Kataku mengibaskan tanganku. Dia hanya tersenyum samar.

"Kalau begitu, ayo ke kelas. Sebentar lagi dimulai." Aku menyambut tangan Johnny yang membantuku jalan.

"Sudah ya, aku mau ke kelas." Kataku lagi sambil kemudian berlalu menuju ke kelas. Johnny melihat sekilas ke arah yang sama denganku, sedikit bingung. Tentu saja, mana ada anak sekolahan yang berkeliaran di kampus pagi-pagi begini?

Ckck... dasar bocah masa kini, ada-ada saja tempat untuk bolos. Anak SMA jaman sekarang memang beda. Haha, sedikit lucu mengatakannya karena aku pun baru saja melepas seragam SMA ku beberapa bulan –hampir satu tahun lalu.

Ngomong-ngomong, si bocah SMA itu memangnya kenal dekat denganku? Dia mengobrol seperti aku temannya saja! Tidak sopan! Aku ini kan, lebih tua darinya? Aku ini kakak kelasnya, kan?

Tapi, aku merasa pernah melihatnya. Ada perasaan familiar saat aku menatap dan berbincang dengannya.

Apa dia anak tetangga?

-------------------------------
pernah di post di wattpad.
klik ini untuk ke daftar isi.
klik ini untuk ke part selanjutnya.
klik ini untuk ke part sebelumnya.
-------------------------------


Comments