Besok adalah hari kematian Satria. Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan... dan aku pastikan.
Aku menunggunya di rooftop. Sebenarnya aku ada rapat dengan kegiatan mahasiswa yang aku ikuti, tapi selama dua minggu ini aku selalu izin tidak hadir dan membuat hubunganku dengan ketua divisi sedikit tidak baik.
Tapi toh aku tidak peduli. Aku hanya ingin bertemu Satria saat ini.
Ditambah lagi, aku dan Yudha juga sudah jarang mengobrol meskipun kami selalu berangkat dan pulang bersama. Kalau aku sedang bersama Yudha, aku selalu mengangkat topik Satria, dan itu membuat Yudha segan. Itulah yang membuatku lebih memilih diam di depan Yudha.
Petang sudah lewat, dan aku sudah menyalakan satu-satunya lampu yang ada disini. Aku menggosok-gosokkan tanganku berusaha mengusir hawa dingin yang menerpa. Satria masih belum terlihat tanda-tanda kemunculannya.
Aku duduk di dekat pintu, karena disitu tempat yang lebih hangat. Posisiku menekuk lutut, dan lama-lama kantuk mulai datang. Ketika aku hampir tertidur, tiba-tiba hawa di sekitar semakin dingin.
"Masih keras kepala, huh?" Sebuah suara menyapa, membuatku mendongakkan kepala melihatnya.
"Satria..." Aku berdiri, tapi aku tidak mau mendekat. Air mataku mulai menggenang di pelupuk, dan aku tidak ingin Satria melihatku menangis.
"Kamu sudah tahu semuanya, apalagi yang mau kamu tanya?" Suaranya terdengar kesal, aku hanya diam. Suaraku pasti tercekat kalau aku menjawab pertanyaannya.
"Kemarin kamu mengunjungiku, kan?" Tanyanya lagi. Sungguh ironis, aku mengunjungimu tapi tidak bisa melihatmu.
"Terimakasih... bunga dan doanya." Dia mengusap belakang kepalanya sambil melihat ke arah lain.
"Satria, aku mohon." Akhirnya aku bersuara, mau tidak mau. Karena besok adalah hari kematiannya dan sudah tidak ada waktu lagi. "Selesaikan urusanmu disini, dan pergilah, aku tidak mau melihatmu menjadi roh jahat."
"Kamu ingin sekali aku pergi, ya?"
"Satria..." Aku menunduk, menahan tangisanku. Gagal, aku menangis tanpa suara.
"Dengar, untukku, bisa bersama sampai waktu terakhirku sudah lebih dari cukup, aku tidak peduli dengan apa yang akan terjadi denganku. Biar aku yang urus, yang penting aku pergi dari sini kan? Tidak peduli kapan dan bagaimana!"
"Tapi bagaimana dengan perasaan gadis itu?!" Seruku, menanggapi kata-kata egois Satria.
Dia terdiam.
"Bagaimana jika dia tahu kamu menjadi roh jahat? Apa kamu tega membiarkannya melihatmu menjadi hal buruk seperti itu?!"
Dia masih diam.
"Bagaimana denganku?" Aku mengatakan yang terakhir dengan suara pelan. Satria menatapku tak percaya ketika aku menyebutkannya. "Gadis itu..."
"Jangan lanjutkan." Satria menatapku tajam.
"Satria, aku sudah tahu semuanya, gadis itu..."
"AKU BILANG JANGAN LANJUTKAN!" Satria berteriak, matanya menatapku tak percaya. "URGH!" Dia mengacak rambutnya frustasi, kemudian berbalik, ia berjalan menjauh.
"Tunggu... Satria..." Dia tidak mendengarkanku dan hanya berjalan semakin menjauh.
"SATRIA!" Akhirnya aku berlari mengejarnya. Tapi lagi-lagi, kaki kananku tersandung kaki kiriku. "SATRIã…¡"
"AWAS!"
"AH!" Aku memekik, memejamkan mata karena yang aku tahu terakhir kali menghujam lantai semen rasanya cukup sakit.
Tapi tidak, aku ditangkap oleh sesuatu yang empuk dan hangat.
Aku membuka mata.
Satria.
"HAH?!" Kami berdua sama-sama terkejut. Tubuh Satria menahanku membentur lantai semen.
"Ap... apa... bagaimana.." Satria menatapku tak percaya. Bibirnya bergetar, tapi tangannya masih erat menahanku. Tanpa pikir panjang aku segera menariknya dalam rengkuhanku. Kutenggelamkan kepalaku dalam dirinya.
Iya, aku bisa menyentuh Satria.
Rasanya hangat, dan nyaman. Seperti sudah semestinya aku berada dalam dekapannya.
Dia membalasku, ia mengeratkan tangannya, seolah tak ingin melepaskanku dan tak ingin pergi.
Aku bisa merasakan ia menangis.
"Satria... gadis itu aku kan?" Tanyaku. Setelahnya, ia eratkan lagi pelukannya padaku. "Cepat, katakan padaku."
"Tidak mau!"
"Katakan padaku! Sesuatu yang harusnya kamu sampaikan ketika kita bisa masuk universitas ini,"
"Biarkan seperti ini dulu," Kata Satria halus, tapi tajam. "Aku masih belum ingin pergi."
Lalu baik aku dan dia tidak ada yang bersuara lagi selama beberapa waktu. Tiba-tiba pintu terbanting seirama dengan tangan Satria yang melambai.
"Ada apa?" Tanyaku, mendongak menatap ke arah pintu, kemudian ke wajahnya. Tanganku masih belum bisa lepas.
"Pengganggu." Jawabnya. "Urusanku belum selesai, dasar tidak tahu aturan!" Gerutunya. Aku terkekeh melihat ekspresi kesalnya yang dibuat-buat. Kemudian Satria kembali membenamkan wajahku di dirinya. Ia mengusap-usap kepalaku lembut
"Satria..." Ujarku memohon. Jujur saja, aku juga tidak ingin melepasnya, tapi daripada mendapati Satria menjadi sosok yang menyeramkan... "Aku ingin mengingatmu dengan indah, aku tidak mau kamu jadi menyeramkan."
Akhirnya ia melepaskan diri, tapi tangannya masih menggenggam tanganku.
Ia menghela napas sebelum kemudian bersuara. "Dengar," Katanya membuatku menatapnya yang juga menatapku. Kelam di matanya sudah berubah menjadi galaksi dengan ribuan bintang, berkelip.
"Aku sudah lama ingin mengatakannya, tapi aku hanya bisa memandangimu dari jauh, dan berpura-pura terlibat masalah yang sama denganmu agar bisa membantumu, karena kamu terlalu ingin menghindari masalah dan tidak ingin terlibat dengan hal tidak penting. Ck, dasar!"
Satria menyentil dahiku. Aku dan dia tertawa.
"Tapi kamu juga punya hak untuk membela dirimu sendiri, kamu punya hak untuk bilang 'tidak' dan menolak melakukan yang tidak harus kamu lakukan! Kamu itu penting, dan sangat penting untukku." Ia mengeratkan genggaman tangannya padaku. "Aku..."
Akhirnya, inilah saatnya. Aku menunggu Satria yang membiarkan kalimatnya menggantung, berusaha membeli waktu agar kami bisa berlama-lama seperti ini. Sekarang, keinginanku agar Satria tetap tinggal hampir sebesar keinginan Satria untuk tidak pergi.
Satria tetap tidak melanjutkan kata-katanya, tapi perlahan wajahnya semakin mendekat, hingga aku bisa merasakan napasnya menyapu pipiku. Matanya sedikit terpejam, tanpa sadar aku ikut memejamkan mataku. Sedikit demi sedikit aku merasakan bibirnya menyentuh bibirku.
Rasanya manis dan hangat. Aku bisa merasakan air matanya bercampur dengan air mataku.
Kecupan itu tidak berlangsung sebentar, tapi tidak lebih. Ia melakukannya seolah ingin mengungkapkan apa saja yang ia rasakan selama ini. Dan aku menerima semuanya, luapan perasaan seorang pria pendiam di kelasku yang membuatku merasa hangat ketika ia tersenyum.
"Aku menyukaimu," Katanya ketika ia melepaskan pagutannya. Ia tersenyum, lalu menghapus air mataku yang semakin menderas. "Tangisi aku, tapi aku tidak akan memaafkanmu kalau itu terjadi setelah upacara peringatan kematianku."
"Kamu itu mengizinkan aku menangis atau tidak, sebenarnya? Kenapa malah mengancamku?!" Protesku disela-sela tangisanku. Ia tertawa.
"Kamu tahu, Yudha sepertinya orang baik."
"Apa?"
"Jangan merasa bersalah lagi." Dia menghapus air mataku yang sepertinya akan terus mengalir. "Aku pergi ya, jaga dirimu baik-baik. Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau kamu tidak bahagia."
"Biar! Biar kamu gentayangan! Biar kamu tidak pergi jauh-jauh dari aku!"
"Siapa yang bilang tidak ingin aku jadi hal yang menyeramkan?!" Seru Satria lalu lagi-lagi menyentil dahiku pelan.
"Aku menyayangimu." Ia mengecupku sekilas. Lalu tersenyum.
"Selamat tinggal." Ia memelukku, mengizinkan aku merasakan kehangatannya untuk terakhir kali. Tidak peduli dengan pintu yang tiba-tiba menjeblak terbuka.
Perlahan kehangatan itu semakin pudar, dan aku kembali sendirian di rooftop itu.
Sejumlah titik cahaya menggantikan posisinya. Mereka bertahan, melayang di depanku lalu melesat pergi, jauh ke atas. Bersamaan dengan kegaduhan di belakangku yang mendekat.
Cahaya-cahaya itu sempat bermain di depanku, menari kecil sebelum menghilang. Seolah mengatakan selamat tinggal untuk terakhir kalinya.
-------------------------------
pernah di post di wattpad.
klik ini untuk ke daftar isi.
klik ini untuk ke part selanjutnya.
klik ini untuk ke part sebelumnya.
-------------------------------
"BOCAH NAKAALL!!" Suara yang bukan milik Johnny menggelegar dari tubuh milik Johnny. Xandra geleng-geleng, sedangkan Belinda menghela napas dan terlihat berusaha berkomunikasi dengan 'Johnny'.
"Aku butuh bocah itu." Kata 'Johnny' menanggapi Belinda. "Dia tugas yang seharusnya kuselesaikan dari 19 tahun yang lalu. Aku tidak punya pilihan selain membawanya, aku tidak boleh kembali tanpa dia."
"Merepotkan." Desah Belinda pendek. Yudha mendelik. Berani betul?
"Kalau bukan karena..." 'Johnny' menunjuk Yudha, yang ditunjuk melongo. Tiba-tiba keringatnya dingin. "Semua tidak akan semerepotkan ini."
'Johnny' mendekat ke arah Yudha. "Kalian penyebabnya." 'Johnny' mendesis sebal. Tanyannya menelusuri pipi Yudha dengan telunjuk, rasanya dingin. "Kalau saja manusia-manusia lemah seperti kalian tidak merusak takdir, dan mengikuti arus hidup sebagaimana mestinya, keadaan tidak serumit ini."
Yudha tidak menjawab, hanya memandang 'Johnny' bingung.
"Maksudnya? Itu salah Yudha punya takdir yang seperti itu? Protes sama yang buat sana!" Cetus Xandra yang langsung mendapat timpukan dari Belinda. Yudha gantian menatap Xandra penuh tanya.
'Johnny' terkekeh. "Manusia bodoh."
"Lalu aku harus bagaimana?!" Seru Yudha. "Apa yang harus kulakukan?!" Tidak mengerti maksudnya, tapi dia jadi penasaran juga tentang takdirnya.
'Johnny' diam, dia kesal, tapi dia juga tidak bisa menyalahkan Yudha begitu saja. Dia terkekeh. Kalau dari mata manusia memang Yudha, tapi siapa tahu ada yang punya skenario lebih bagus? Siapa tahu dibalik ini semua, mereka punya naskahnya masing-masing.
Tapi naskahnya sekarang, adalah mengurusi anak bau kencur bernama Satria dan menyelesaikan tanggung jawabnya. Dia sudah lelah dengan tugasnya satu ini, selesainya butuh satu tahun! Kalau ditotal, 19 tahun, hampir 20 tahun! Yang benar saja! Maka dari itu, 'Johnny' membuka pintu yang sudah melemah kekuatannya, melesat pergi menuju Rasha dan Satria yang masih sibuk mengucapkan salam perpisahan. Xandra mengikuti, berjaga-jaga kalau Johnny yang asli celaka.
Yudha menatap perpisahan Rasha dan Satria dari tangga melalui pintu yang terbuka. Dia diam, tapi tangannya mengepal.
Belinda mengusap punggung Yudha, berusaha menenangkan Yudha sekali lagi. Belinda tidak tahu apa yang baru saja mereka bicarakan, dan apa yang Yudha rasakan. Tapi Belinda yakin kejadian setahun lalu jelas bukan sesuatu yang dengan mudah diselesaikan.
Yang Belinda tahu, kisah Rasha, Yudha, dan bocah bernama Satria masih belum berakhir.
"HEI BANTU AKU!" Seru Xandra dari rooftop. "Johnny sudah sadar! Eh, bukan, Johnny pingsan!"
Yudha tersadar dari lamunannya, dan segera menghampiri Xandra yang sedang menahan tubuh Johnny, dibantu oleh Rasha. Belinda menyusul, memastikan 'Johnny' sudah tidak ada di situ.
Iya, 'Johnny' sudah pergi, yang artinya-
"Kamu sendirian?" Tanya Yudha pada Rasha sambil mengambil alih Johnny dari Xandra.
Rasha terdiam sebentar, kemudian mengangguk. "Iya, aku sendirian sekarang."
Comments
Post a Comment