YWH : The Day [Epilog]

"Jadi, dulunya Rasha, Yudha, dan anak SMA yang namanya Satria itu satu sekolah." Kata Belinda di indekosnya. Johnny dibawa Yudha ke tempat Belinda karena dekat kampus, dan hanya perlu lewat jalan pintas untuk menuju ke sana dari gedung tragedi 'Johnny' dan Satria.

Xandra menyerahkan air minum pada Johnny yang baru bangun. "Ini tempat Belinda, sudah minta izin sama ibu kos tadi." Jawab Xandra. Johnny hanya mengangguk, tidak mengindahkan kalau Xandra menjawab sebelum Johnny bertanya.

"Mereka dulu satu tempat les juga, di perempatan dekat kampus, lampu merah pertama." Belinda mengangsurkan tisu pada Johnny yang mengusap-usap dahinya dengan ujung kemejanya. "Tiba-tiba, entah bagaimana, Yudha turun ke jalan padahal lampu hampir merah. Bisa bayangkan sendiri bagaimana kecepatan kendaraan saat itu?"

"Lalu?" Tanya Johnny nimbrung. Wajahnya sudah tidak sepucat tadi. Matanya masih kuyu tapi tidak terlihat mengantuk seperti tadi.

"Yah... Rasha mencoba menyelamatkan, tapi justru Rasha yang hampir membahayakan dirinya."

"Hampir?" Xandra bertanya tidak yakin. Belinda mengangguk.

"Hampir, karena akhirnya yang kena bahaya Satria. Dia membiarkan dirinya sendiri yang kena. Yudha dan Rasha selamat, tapi Satria..."

Mereka bertiga terdiam.

"Darimana kamu tahu?" Tanya Johnny polos. Belinda tersenyum, Xandra terkekeh.

"Dia itu freak, jangan hiraukan, bersikap seperti biasa saja." Jawab Xandra asal yang mengundang kotak tisu dari Belinda.

"Bersikap biasa bagaimana?"

"Ya bagaimana lagi?" Kata Belinda sinis. "Anggap seperti kami tidak ada, seperti kami kuman atau orang aneh. Begitu saja tanya." Sambungnya sarkas.

Xandra terkekeh. "Sepertinya, kamu yang lebih tahu." Katanya tenang.

Johnny diam, mengingat bagaimana selama ini sikap dan prasangka teman-teman sekelas. Dalam hati, dia punya beribu maaf dan terima kasih pada dua teman sekelasnya ini.

---

"Hipnoterapi?"

Yudha mengangguk, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Saat ini mereka sedang ada di rumah Satria, memperingati satu tahun kematiannya. Sudah sampai sejauh ini, akhirnya Yudha mau buka suara tentang kejadian tahun lalu setelah didesak Rasha.

"Setelah kejadian itu, kamu koma, baru sadar setelah pemakaman Satria. Jelas, banyak suara yang tidak mengenakkan."

"Seperti orang-orang menyalahkanku? Teman-teman bilang aku tidak pantas untuk selamat karena merenggut kehidupan Satria? Lalu ibu Satria berteriak ingin membunuhku?" Canda Rasha, tapi setelah melihat ekspresi beku Yudha, Rasha jadi diam.

"Hal seperti itu bisa jadi lucu menurutmu?" Kata Yudha sinis.

"Lanjutkan," balas Rasha cepat. Gadis itu menelan ludah, tidak menyangka kalau itu memang benar terjadi.

"Aku benci mengatakan ini, tapi ya, suara-suara yang semacam itu lah. Kamu jadi menyalahkan diri sendiri, murung, kehilangan, marah, semua jadi satu. Kata dokter juga depresi..." Satria tidak melanjutkan kata-katanya, sedikit membaca raut Rasha. Gadis itu masih datar, justru memberi gesture untuk melanjutkan ceritanya.

"Makanya om dan tante membawamu ke ahli hipnoterapi, membatasi kamu mengakses memori tentang SMA dan Satria. Kamu tetap masuk universitas yang kamu idamkan, tapi dengan jurusan dan fakultas yang berbeda dari kebanyakan teman, karena orangtuamu khawatir jika kamu akan mendengar sesuatu tentang kejadian nahas hari itu. Kamu seperti orang baru yang bertemu dengan orang baru juga."

'Hanya Yudha yang masih mau berada disampingku, dan membantuku melewati masa-masa sulit.' Batin Rasha. Tiba-tiba Rasha jadi merasa emosional, air matanya merebak.

"Semuanya berjalan mulus, sampai kamu bertemu Satria siang itu, di jalan menuju gerbang keluar kampus. Sepertinya Satria yang jadi trigger untuk membuat semua proses hipnoterapi panjangmu sia-sia." Lanjut Yudha.

Aku menghapus air mataku di depan kotak kaca di kamar Satria. Yudha mengusap punggungku.

"Aku tunggu di luar." Katanya memberi waktu untukku sendirian. Aku menanggapi Yudha dengan mengangguk.

Baru saja aku selesai berdoa, Ibu Satria menghampiriku. Aku cepat-cepat menyingkir, karena besar kemungkinan Ibu Satria akan mengusirku. Tapi tidak, Ibu Satria justru menahan tanganku.

"Nak, ada yang ingin tante bicarakan." aku menelan ludah, diam, menunggu beliau melanjutkan kata-katanya. "Semalam, Satria menemuiku di mimpi."

Aku membulatkan mata. "Benarkah?"

Beliau mengangguk. "Katanya, ini untuk yang terakhir kalinya. Ia mengucapkan terimakasih, dan beberapa kata-kata lain yang selama ini ingin ia katakan padaku."

Beliau memejamkan mata, sedikit mengeratkan tangannya padaku. Mencari penguatan. "Lalu ia juga ingin aku berhenti menyalahkan dirimu, karena semua ini murni bukan kesalahanmu. Ia juga meminta maaf karena dia, kamu menjadi menderita."

Lagi-lagi air mata mulai merebak di pelupuk mataku.

"Katanya, kalau dia bisa, dia ingin bilang ke semua orang kalau ini bukan salahmu."

Air mataku sudah jatuh.

"Dia juga bilang, jangan menyalahkan dirimu sendiri."

Aku mengangguk.

"Dia itu orang yang pemalu, dia tidak bisa mengatakannya langsung padamu jadi maklumi saja ya..."

Aku dan Ibu Satria tertawa kecil.

"Sebenarnya aku sudah tahu kalau ini bukan salahmu... Tapi maaf, aku belum bisa menerima semuanya begitu saja. Itu terlalu mendadak."

"Tante, aku minta ma-"

"Aku minta maaf." Kata Ibu Satria, kemudian menarikku ke pelukannya. "Aku benar-benar minta maaf."

Aku tersenyum. Baik Ibu maupun anaknya, mereka sama-sama memiliki pelukan dan kepribadian hangat.

Di depan kotak kaca Satria, aku dan Ibunya sudah berdamai.

Satria, kamu sudah tenang kan?

Selamat tinggal, Satria.

Selamat tinggal, cinta pertamaku.

-------------------------------
pernah di post di wattpad.
klik ini untuk ke daftar isi.
klik ini untuk ke part sebelumnya.
-------------------------------

Comments