Apa kamu pernah jatuh cinta?
Aku pikir jatuh cinta adalah saat di mana bumi berhenti berputar, jantung berhenti berdetak, kelopak bunga bertebaran, dan segalanya bergerak dalam kecepatan rendah –slowmotion. Tapi aku tidak mengalami hal seperti itu. Aku jatuh cinta dalam keadaan sadar, sangat sadar. Bumi berputar, jantungku berdetak, dan aku tidak terlalu memusingkan keadaan sekitar, karena pikiranku hanya tertuju padanya, di depanku.
Dia itu... bagaimana aku mengatakannya? Dia tidak cantik, dia tidak langsing, singkatnya, jauhkan pikiranmu dari gadis mungil berkulit putih dengan wajah yang bisa membuatmu mengatakan "Imut sekali~"
Dia sangat biasa saja.
Dia suka makan, sangat suka. Dia suka makan mi, terutama mi rebus, dan dia akan menghabiskan kuahnya duluan. Dia suka memenuhi mulutnya dengan nasi yang sudah dicampur jadi satu lauk dan sayurnya, lalu mengunyahnya pelan-pelan. Dia suka minum cokelat kalengan. Apalagi kalau dapat kupon makan siang yang potongan garisnya tidak beraturan –dari salah satu teman sekelas kami yang usilnya kadang kelewatan kalau menurutku.
Dia juga suka makan cheeseburger. Dia akan membuka mulutnya lebar-lebar dan melahap sampai tidak bisa bicara saking penuhnya. Orang-orang akan berkata "Jorok!" Tapi aku tidak. Aku tidak peduli, toh makan seperti itu tidak akan membuat gigimu tumbuh di hidung bukan?
Tapi mungkin, memang seharusnya dia pelan-pelan karena dia mulai tersedak.
Dia berbicara seadanya. Dia tidak terlalu lemah seperti gadis pesakitan di sinetron, ataupun gadis keras kepala seperti di novel remaja. Dia itu apa adanya.
Rupanya saat bangun tidur berantakan, rambutnya kusut dan wajahnya belepotan, tapi aku tahu itu dia. Setelah mandi dan berbenah, rambutnya sudah disisir rapi dan wajahnya bersih, tapi tidak membuat dia menjadi orang yang berbeda.
Dia itu tidak terlalu supel –sudah kubilang dia apa adanya. Jika dia bisa, dia berteman. Jika tidak, ya sudah, cukup mengenal saja dan tidak membuat masalah.
"Dia terlalu apa adanya."
Tapi aku tetap luluh padanya.
Dia adalah gadis alam. Semuanya berjalan apa adanya, tak kurang tak lebih. Berada di dekatnya, menatapnya lama. Dia terasa nyata, sangat nyata bagiku. Dia membuatku menjadi manusia, membuatku menjadi diriku apa adanya –karena dia jujur terhadap dirinya sendiri. Dia tidak membawaku terlalu jatuh, atau melambungkanku ke awan. Dia membuatku tetap berpijak dimana aku berada.
Aku suka mengamatinya. Aku suka melihatnya tersenyum kecut karena lelucon yang menurutnya tidak lucu. Aku suka mendapatinya melotot karena menahan kesal diganggu terus-menerus, dan aku suka mendengar suara tawanya saat melihat temannya yang dari tadi mengganggunya tersandung kakinya sendiri.
Dan, oh. Aku suka melihat ekspresinya yang... bagaimana ya? Pokoknya lihat, seragamnya terkena noda dari coklat yang dia minum –kata Yudha satu sama. Iya, aku suka ketika aku ada di sampingnya dan merasa aku ada untuknya.
---
"Aku punya kemeja putih yang masih bersih di loker." Katanya, lima menit sebelum bel masuk berbunyi. Rutukanku terhadap Yudha jadi berhenti begitu murid laki-laki di depanku ini mengulurkan tangannya yang menggenggam pakaian putih bersih.
Makanya, sekarang aku memakai seragam tanpa nama milik teman yang duduk di bangku belakangku. Sepanjang pelajaran aku tidak bisa tidak membenahi pakaian yang menempel di tubuhku. Ini memang seragam laki-laki, tapi bisa sangat pas di badanku –Yudha akan sangat puas mengataiku babi kalau dia dengar pikiranku. Tapi, hey, temanku itu memang kurus! Lihat saja rahangnya, tegas dan kulitnya membentuk tulangnya sempurnya.
Tiba-tiba sebuah jaket tersampir rapi di kedua pundakku. Aku menoleh untuk menemui murid laki-laki berdagu lancip serta bermata tajam –yang sama dengan yang sedang kupikirkan, menatapku lembut.
'Pakai saja dulu.' Mulutnya bergerak tanpa suara.
Aku mengangguk tanda terima kasih.
Untungnya, sepanjang pelajaran siang itu sampai sepulang sekolah, tidak ada masalah berarti akibat seragamku yang 'sedikit' berbeda.
"Hei, makasih..." Aku melirik nama di seragamnnya. "Satria."
Satria akhirnya menyambut tanganku yang mengulurkan jaketnya, setelah ragu apakah dia harus menerimanya lagi atau tidak. "Sama-sama, Rasha. Tapi kamu bawa jaketku dulu saja, tidak apa-apa."
"Ah tidak perlu, pakai jaket panas. Yang ini saja, aku pinjam dulu ya." Aku menunjuk seragamnya yang masih aku pakai.
Setelah memastikan tas ranselku terpakai dengan benar, Satria mengangguk. Setelah matanya berusaha menghindariku, akhirnya kami bertemu lagi, dan dia tersenyum. Aku baru tahu kalau anak laki-laki yang terkesan pendiam dan dingin itu punya senyuman yang hangat.
Sebetulnya, aku juga baru tahu kalau namanya Satria, dan aku baru sadar kalau sedikit demi sedikit aku selalu menantikan untuk bertukar sepatah dua patah kata dengannya.
"Eh? Kok jadi bersih? Tadi kan bagus, jadi polkadot! HAHA!"
Aku mendelik mendengar suara mengesalkan yang sekarang menahanku melangkah lebih jauh keluar kelas. "Ya iya baguslah! Daripada kotor, gara-gara seseorang!" Dengusku sebal sambil berlalu.
Dasar! Bukannya minta maaf, malah meledek lagi. Beda betul memang.
Tapi tiba-tiba aku ditahan lagi di koridor, dengan orang yang sama yang menahanku di pintu kelas.
"Itu punya siapa?"
"Bukan urusanmu!"
"Punya laki-laki ya?"
Aku terdiam. "Memangnya kenapa?"
Bukannya menjawab dia malah melempar jaketnya ke wajahku.
"YUDHA KAMU KENAPA LAGI SIH?!"
"MAKANYA KALAU KE SEKOLAH BAWA JAKET!"
"KENAPA SIH TIBA-TIBA JAKET!" Seruku tidak mau kalah. Satria jaket, Yudha juga jaket. ADA APA DENGAN JAKET SIH?
---
"POKOKNYA BAWA!" Seruku tak mau kalah. Dia menatapku bingung, tapi percayalah aku lebih bingung lagi bagaimana menjawab rasa penasarannya.
"Kamu pakai jaketku saja dulu, ya." Aku menarik paksa ranselnya, masih diiringi tatapan kesal campur ingin tahunya. Ya bagaimana ya? Pokoknya, dia harus pakai dulu.
Bibirnya cemberut, tapi aku tahu dia pasti menurut.
Dari sini, aku bisa merasakan tatapan yang seakan menembus punggungku. Tatapan itu pemiliknya sama seperti tatapan yang dari tadi mengamati gadis yang sekarang sedang menggerutu memakai ranselnya di atas jaketku yang sedikit kepanjangan lengannya.
"Panas, Yudha!"
"Pokoknya pakai!"
"IH! MENYEBALKAN!"
Sepanjang perjalanan ke tempat parkir, dia sengaja mengobrol banyak-banyak degan Sonia dan membiarkanku diam sendirian. Aku tahu dia kesal, tapi percayalah... aku melakukan itu untuk kebaikannya sendiri.
"Dadah!" Katanya pada Sonia yang sudah berlari ke arah motor kekasihnya dari kelas sebelah. Siapa namanya ya? Aku lupa.
Sekarang, tinggal aku dan Rasha yang juga masih diam. Aku masih bisa sok sibuk mencari kunci motor, sedangkan dia hanya berdiri menggenggam strap ranselnya canggung.
"Kenapa tidak dari tadi sih, cari kunci motornya?"
"Oh, sudah mau bicara?"
Rasha memutar matanya malas. Aku terkekeh.
"Naik." Kataku dari atas motor. "Om yang nyuruh aku bawa baeki buat antar jemput kamu les. Kalau bukan karena beliau, aku lebih milih naik bis."
Demi mendengar kata-kataku, dia seolah melompat naik di jok belakang motorku. Setelah memastikan dia nyaman, aku mulai memacu baeki meninggalkan sekolah.
"Besok naik bis saja, aku juga lebih suka naik bis." Katanya di lampu merah pertama. Aku mengangguk.
"Kamu tahu nggak, bedanya kemeja perempuan sama laki-laki?" Tanyaku. Dia menggeleng.
"Kalau perempuan tuh, atasannya lebih tebel dan kaku, betul tidak?" Seingatku, seragamnya seperti itu. Jangan buruk sangka, aku pernah disuruh pulang lalu ke sekolah lagi untuk mengambil baju di rumah Rasha hanya karena dia salah pakai seragam. Huh, mentang-mentang saat itu aku bawa motor -.-
"Kalau laki-laki?"
"Kalau laki-laki bahannya tidak sekaku punya perempuan..." Lampu hijau, dan aku mulai bersiap melaju lagi. "...kainnya juga lebih tipis!" seruku melawan angin.
Awalnya dia tidak mengerti, tapi dari kepalanya yang menunduk menyembunyikan wajah yang memerah dan tangannya yang menggenggam ranselku erat, aku tahu dia sudah tahu kenapa aku panik tadi di sekolah. Meskipun dia pakai ransel, tapi tetap saja terlihat.
Dasar Rasha.
pernah di post di wattpad dan medium.
klik ini untuk ke daftar isi.
klik ini untuk ke part selanjutnya.
-------------------------------
Comments
Post a Comment