Summer Zombie

Photo by Ryu Orn on Unsplash


Hansol berlari dengan kecepatan penuh menuju stasiun yang jaraknya tinggal beberapa meter lagi. Napasnya terengah, kakinya lelah, dan hatinya panik setengah mati. Pemuda itu baru saja selesai briefing untuk meeting besok dan mengecek ponsel untuk menemukan pesan kalau ibu Minjung akan tiba di stasiun Busan 10 menit lagi.

Betul, Minjung yang 'itu'.

Masalahnya adalah, baik Minjung dan Hansol tidak ada yang tahu kalau kereta dari ibukota hari ini mengangkut penumpang istimewa itu.

Hansol sudah sampai di stasiun sekarang, dan matanya mencari-cari sosok wanita paruh baya yang sudah ia hapal di luar kepala. Hampir sama tingkat dengan ibu kandungnya sendiri. Ponsel Hansol bergetar, tanda panggilan masuk.

"Kamu sudah di stasiun? Sudah ketemu ibu?"

"Aku baru sampai, aku telepon lagi kalau sudah ketemu."

"Oke."

Kemudian telepon terputus.

Hansol mengambil napas panjang dan mengeluarkannya tidak main-main. Suara Minjung masih sama, masih bisa membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Tapi sepertinya saat ini tidak tepat karena jatung Hansol justru serasa mau meledak.

Sudah hampir setahun mereka tidak mendengar suara satu sama lain lagi.

Iyap, tanpa disadari, hubungan Hansol dan Minjung renggang –kalau tidak mau dibilang putus. Entah karena hubungan jarak jauh, entah karena mereka sudah bosan.

Entah karena sudah saling tahu satu sama lain, jadi mereka menyerah?

Entahlah, yang Hansol yakin seratus persen tahu adalah, kalau ibu Minjung belum tahu tentang keadaan Hansol dan Minjung yang molar-molor seperti permen karet itu. Makanya, sepasang pemuda-pemudi itu belum mempersiapkan diri sama sekali.

Makanya juga, Hansol makin panik sekarang ketika wanita paruh baya itu terlihat mendekat dengan senyum lebar.

"Hansol!!" Serunya, lalu memeluk laki-laki yang jelas lebih tinggi darinya. "Astaga! Kamu pasti sering lembur ya?! Kamu kelihatannya makin kurus! Ya Tuhan, itu kantung mata atau batuu?? Oiya, kamu sudah makan? Tadi pagi sarapan?"

Hansol meringis mendengar semburan kasih sayang yang tidak disangka akan ia terima siang ini.

"Hansol nggak biasa sarapan bu, tapi pasti makan siang bareng-bareng sama teman-teman kantor biar nggak sendirian."

"Sejak kapan Ji Hansol nggak sarapan?! Kalau sendirian, kan ada Minjung?" Kata Ibu Minjung sambil mengeluarkan ponsel, mau menelepon seseorang. Hansol melirik namanya, Minjung. Mungkin mau member kabar kalau sudah sampai Busan.

Tapi Hansol tetap mengernyit bingung. Kan Minjung tinggal bersama orangtuanya? Beratus kilometer disana. Kenapa ibu Minjung bicara seolah Minjung dekat?

Pertanyaan Hansol terjawab ketika mendengar sebuah suara yang makin membuat jantungnya berdetak kencang, sampai hampir meledak, sampai lepas rasanya.

"IBU!!"

Minjung.

Hansol berbalik, menatap nanar Minjung yang berlari menuju ibunya.

"Kenapa ibu nggak bilang mau ke Busan sekarang, sih?! Kan bisa aku jemput!" Racau Minjung, persis seperti ibunya.

"Ibu sudah bilang Hansol!"

"Kenapa bukan aku!"

"Apa bedanya kamu sama Hansol! Toh, kalian berdua sama-sama anak ibu!" Sahut ibunya, yang membuat Minjung terdiam.

Di samping, Hansol tidak mengeluarkan sepatah katapun.

"Ya sudah, ayo aku antar ke rumah, Hansol harus cepat pergi, sepertinya dia sibuk." Minjung mengambil beberapa tas milik ibunya. "Terima kasih, Hansol. Kamu bisa pergi sekarang." Kata Minjung menatap Hansol sekilas, takut kalau lama-lama nanti malah drama.

"Eits! Apa-apaan sih! Ibu masih mau sama Hansol!" Ibu Minjung justru mengaitkan tangannya pada lengan Hansol. Minjung melotot.

"Ibuuuu!!" Nadanya seperti merengek pada ibunya untuk membuat situasi tidak makin rumit. Hansol menggenggam tangan ibu Minjung, sambil menenangkan Minjung dan berusaha membaca keadaan.

"Nggak apa-apa, aku bisa minta izin sehari ke kantor. Lagipula pekerjaanku sudah selesai, anak-anak pasti mengerti."

Minjung menggigit bibir bingung, tapi kemudian, "Oke! Kamu sama ibu, biar aku yang bawa barang-barang ibu ke rumah!"

Kemudian Minjung berusaha membawa tas-tas ibunya yang berisi pakaian dan kotak-kotak makanan rumahan itu. Sedikit kesusahan, makanya Hansol langsung membawakan yang terlihat paling berat... sekaligus kotak berisi makanan. Tadah, semuanya sudah bisa diangkat menuju mobil.

"Ke mobilku." Kata Minjung pendek karena tidak ada yang bisa dia bawa lagi. Hansol sebetulnya bingung kenapa dari tadi Minjung bilang rumah, dan cepat muncul di stasiun setelah Hansol tanya tentang kunjungan mendadak ibunya.

Tapi Hansol jadi makin paham ketika Minjung dengan tegas berjalan ke mobilnya dan membuka bagasi.

"Ibu mau sama Hansol? Aku ke kantor dulu kalau begitu." Kata Minjung lalu bergerak menuju kabin kemudi.

"Ibu sudah sampai jauh kesini, kamu nggak mau ketemu ibu?" Kata-kata ibunya jatuh di titik lemah Minjung.

"Tapi kan! Ibu maunya sama Hansol..." Kata Minjung pelan. Ibunya jadi bingung.

"Memang kenapa sih!? Memangnya Hansol Cuma punya kamu?!"

"Bukan begitu Ibu!"

"Ibu, Minjung." Hansol menengahi. "Kita bertiga bisa pergi sama-sama. Aku bisa bawa mobil Minjung, kalau Minjung nggak keberatan."

Hansol melirik Minjung yang terlihat bergetar bibirnya. Minjung membuang muka, dan Hansol sudah tahu jawabannya. Makanya dia meraih kunci dari tangan Minjung, lalu membimbing ibu Minjung duduk di sebelah kursi kemudi.

"Ibu mau di belakang saja." Kata Ibu Minjung. Gerakan Hansol terhenti, tapi tetap mengabulkan keinginan Ibu Minjung.

Itu membuat Minjung membuka pintu penumpang depan lalu menutupnya keras dari dalam. Hansol menarik napas panjang.

Di dalam mobil suasana agak tegang, karena baik Minjung atau Hansol tidak ada yang bicara. Paling, Ibu Minjung yang memecah hening, untuk diladeni Hansol atau bertengkar kecil dengan Minjung.

Pada saat makan sudah sedikit membaik, karena suasana hati Minjung meleleh ketika berhadapan dengan makanan kesukaannya. Ketika agak sore, barulah mereka mengantar Ibu ke rumah Minjung. Lagipula ibunya khawatir kalau makanannya tidak cepat dimasukkan ke kulkas akan cepat basi.

"Jadi, nanti Hansol antar Minjung ke kantor ya? Aku titip Minjung ya, nak, aku tahu kamu nggak akan macam-macam bawa mobilnya." Kata Ibu Minjung menepuk lengan Hansol sebelum masuk ke kamar untuk istirahat setelah menata lauk di kulkas.

Sekarang di ruang tengah hanya ada Hansol dan Minjung. Suasana makin canggung.

"Ayo, aku antar ke kantor." Kata Hansol mendului Minjung keluar. Minjung menelan ludah, tidak ingin lama-lama dalam situasi ini.

Tapi sama saja, di mobil, sunyi masih jadi kata yang cocok menggambarkan suasana.

"Belum bilang ke Ibu tentang kita?" Hansol memecah kesunyian.

Minjung menggeleng sebelum menjawab "Aku bingung mulai darimana."

Lalu keadaan sunyi lagi. "Kamu sendiri belum bilang?" Giliran Minjung yang tanya.

Hansol diam, tidak mau bilang kalau dia merasa malu dan bersalah bukan hanya dengan Minjung, tapi juga kedua orangtuanya. Makanya, Hansol hanya menggeleng.

"Jadi, kamu sudah kerja di Busan?" Tanya Hansol mengalihkan pembicaraan, dengan mata ke jalan dan tangan pada kemudi.

Minjung mengangguk. "Iya, menuju enam bulan."

"Ooh... pantas, aku nggak tahu soal ini."

"Karena kita putus setahun lalu?"

Hansol yang mengangguk sekarang.

Minjung menghela napas. "Kamu turun di kantormu saja, nanti biar aku yang bawa sendiri ke kantor."

Hansol menggeleng. "Nggak apa-apa, aku juga ingin tahu tempat kerja Minjung seperti apa." Lampu merah sekarang, makanya Hansol menatap Minjung yang juga menatapnya. "Aku ingin tahu semua tentang kamu selama setahun ini, kalau kamu nggak keberatan."

Hansol melepas matanya dari Minjung, karena lampu sudah hijau lagi.

Sekarang laki-laki itu benar-benar tidak mengerti. Minjung sendiri yang minta putus, Minjung yang menghindar kalau diajak bertemu, Minjung yang tidak mau mengangkat telepon, Minjung yang sok sibuk. Tapi, tatapan mata itu beda dari Minjung yang tiba-tiba minta pisah tahun lalu. Setidaknya, hal ini menguntungkan untuk Hansol yang hampir gila karena Minjung.

Sampai di kantor Minjung, baik keduanya tidak ada yang turun, seolah masih banyak yang ingin disampaikan.

"Sudah..." Minjung duluan yang membuka mulut, membuat Hansol menatapnya lagi. "... Sampai."

"Minjung," Hansol memutar badannya agar bisa melihat Minjung lebih jelas. "Sebenarnya alasan kita putus, apa sih?"

Berbeda dengan Hansol, lagi-lagi Minjung memilih buang muka.

"Karena aku?" Tanya Hansol. Minjung menggeleng.

"Karena pekerjaanku?" Tanya Hansol lagi. Minjung memejamkan matanya erat, bertahan agar air matanya tidak mengalir, kemudian menggeleng.

"Terus karena apa?" Tanya Hansol, masih lekat matanya pada Minjung.

"Kan sudah kubilang karena aku." Kata Minjung dengan suara serak. Tangannya mau membuka pintu mobil tapi ditahan Hansol.

"Itu bukan jawaban, Minjung." Kata Hansol, membawa kedua telapak tangan Minjung mendekat ke arahnya. "Sekarang aku mau tahu alasan yang sebetulnya, kenapa Han Minjung minta putus sama Ji Hansol."

Minjung masih diam.

"Gara-gara perempuan yang namanya Han Minjung itu, setahun ini Ji Hansol jadi punya julukan 'zombie patah hati' di kantor, tahu. Karena si bodoh Ji Hansol itu lebih memilih membuang dirinya ke pekerjaan daripada tenggelam di jurang yang namanya 'putus dari Han Minjung'." Sambung Hansol.

"Yang bodoh itu si perempuan Han Minjung." Kata Minjung, suaranya sedikit tenang karena dia tidak seperti membicarakan diri sendiri, tapi seperti menyalahkan orang lain yang namanya juga Han Minjung.

"Si perempuan Han Minjung itu, terlalu sayang sama Ji Hansol, pengen sama dia terus sampai-sampai sering kecewa kalau Ji Hansol suka membatalkan janji karena urusan di kantor. Padahal, itu kan masa-masa sulit Ji Hansol, harusnya Han Minjung bisa mendukungnya dalam situasi apapun. Bukan ngerecokin kayak gitu." Minjung menatap Hansol sekarang.

"Tapi Han Minjung nggak bisa, Minjung sering merasa egois karena minta waktu Ji Hansol lebih dari yang Hansol punya untuk Minjung. Makanya, daripada Han Minjung bikin susah Ji Hansol, lebih baik Han Minjung menghilang sekalian. Biar Ji Hansol enggak terbebani sama perempuan kekanak-kanakan yang namanya Han Minjung."

Hansol menatap Minjung tidak percaya. Hansol membuka sabuk pengamannya cepat dan kembali meraih tangan Minjung.

"Makanya, Han Minjung bilang ke Ji Hansol kalau dia minta putus, dan nggak boleh lagi cari tahu tentang Minjung. Bahkan, Han Minjung berharap Ji Hansol bisa ketemu sama perempuan lebih baik dari Minjung, yang bisa mendukung Hansol kapanpun, di waktu sesulit apapun. Makanya Minjung bilang ke Hansol kalau Hansol nggak boleh deket-deket Minjung." Minjung menatap Hansol yang makin lekat menatap Minjung.

"Makanya, Minjung harus cepat pergi dari sini, kalau enggak, Minjung nggak bisa putus sama Hansol."

Kemudian Minjung melepaskan tangannya dari Hansol, membuka sabuk pengamannya dan membuka kunci pintu mobil.

Tapi Hansol lebih cepat untuk menarik Minjung duduk, menutup pintu dan mengunci manual, lalu memutar kepala Minjung lembut dan meletakkan bibirnya di bibir Minjung.

Hansol tahu Minjung sedang menangis sekarang, tapi Hansol juga tahu Minjung tidak betul-betul menolak dirinya. Keputusannya saat itu merupakan pertahanan diri Minjung. Minjung tidak membenci Hansol, tapi Minjung membenci dirinya sendiri.

Justru itu yang Hansol tidak inginkan terjadi.

Minjung masih tidak mau menatap Hansol ketika mereka sama-sama melepaskan diri. Hansol mengusap air mata Minjung dengan ibu jarinya.

"Hansol nggak marah karena Minjung egois, tapi Hansol marah karena Minjung jahat sama Minjung sendiri." Kata Hansol, suaranya mulai serak juga. "Hansol senang karena Minjung merasa kecewa sama Hansol, tapi Hansol sedih karena Minjung lari dari Hansol."

Minjung menatap lurus Hansol.

"Kalau Ji Hansol minta Minjung jadi pacarnya lagi, Han Minjung mau nggak, ya?"

"Hansol..." Nada suara Minjung meminta Hansol berhenti.

"Minjung, please, kita sudah sampai sejauh ini, apa lagi yang mau kamu tolak? Apa lagi yang mau kamu hiraukan?"

"Nggak semudah itu,"

"Tapi lebih sulit sendirian, kan?" Hansol mengecup kening Minjung. "Aku sulit, sendirian. Aku butuh kamu. Aku nggak merasa keberatan kamu 'ngerecokin' aku, tapi tolong jangan benci diri kamu sendiri. I need you, I miss everything you do to me."

Hansol menatap Minjung. Mata perempuan itu sama 'bohongnya' seperti mata Minjung tahun lalu, ketika Hansol baru bangun sebelum diserang sama Minjung dengan kata-katanya yang membuat Hansol terdampar sampai sejauh ini –Padahal Hansol belum bilang 'iya putus' tapi Minjung main 'putus' saja. Hansol merasa yakin, kalau perasaan mereka berdua masih sama sampai saat ini.

Hansol masih menunggu Minjung, yang sekarang justru menangis dengan suara keras. Tuh kan... batin Hansol. Ia terkekeh, kemudian membawa Minjung ke pelukannya.

"Kenapa nggak dari awal bilang, sih! Kan kita nggak perlu sampai setahun tersiksanya..." kata Hansol mengusap kepala Minjung.

"Semua gara-gara Ibu! Kalau Ibu nggak kesini, aku nggak akan gagal..." Isak Minjung, kemudian dia mengangkat kepalanya dan mencari tisu, lalu terdengar suara yang menurut orang lain menjijikkan. Tapi buat Hansol, justru makin bikin gemas sama Minjung.

"Ya justru karena Ibu jadi kita bisa ketemu dan ngomongin masalah ini kan? Kamu dihubungin susah banget sih! Disamperin juga kabur terus." Hansol menyerahkan lebih banyak tisu dan membuang yang sudah dipakai Minjung.

"Kalau laki-laki lain, pasti sudah jijik lihat kamu ingusan kayak gitu." Kata Hansol sambil tertawa, tangannya merapikan rambut Minjung. "Untung aku Ji Hansol, jadinya nggak jijik."

"Gombal!" Kata Minjung lalu berkemas. "Aku mau kerja. Sudah sana pergi! Aku nggak mau kamu dimarahin bos lagi gara-gara aku."

Hansol makin tertawa. "Sekarang aku yang marahin orang, tahu. Gara-gara kamu, aku jadi kerja terus, jadi kesayangan bos, jadi cepat naik pangkat!"

Tapi Hansol tetap pergi karena Minjung mengusirnya dan mengancam tidak mau bertemu kalau Hansol belum kembali ke kantor.

Hansol tidak bisa berhenti tersenyum sampai-sampai para engineer pemula satu timnya heran lihat managernya yang biasanya mendung mendadak cerah seperti musim panas.

"Anu, pak, rapat nanti malam..." Salah satu asisten Hansol menyerahkan materi rapat untuk nanti malam.

Hansol tersenyum. "Mulai sekarang, meeting harus selesai sebelum jam pulang, ya. Terus untuk rapat nanti malam diubah ke besok pagi saja," Ji Hansol mengemasi barangnya dan mengendurkan kemejanya –setelah sekian lama, dia bisa bernapas. "Nanti malam aku sibuk."

Kemudian Ji Hansol melenggang pergi dari perusahaan cabang yang belum lama ini ia bawahi, diiringi sorak sorai para 'anak-anak' yang sudah membuat julukan baru untuk 'zombie patah hati' jadi 'zombie musim panas'.

--------------------------------------------------------
Part 2 dari 2 cerita.
Klik di sini untuk membaca part 1.
pernah di post di wattpad.
--------------------------------------------------------

Comments