Goodbye For a Moment

photo by Matese Fields on Unsplash


Minjung menatap gunungan ransel di depannya. Tangan gadis itu meraba kipling merah berserabut di hadapannya, kemudian meremas gantungan kunci flanel berbentuk panda yang menggantung di salah satu ritsletingnya.

"Kamu beneran mau pergi?" Tanya Minjung, seolah berharap jawaban berbeda yang akan didapatnya. Pria sibuk berbenah itu menegakkan punggungnya, mendesah pelan.

"Minjung, sudah berapa kali kamu tanya hal yang sama hari ini?" Hansol menatap gadis yang masih memainkan gantungan kunci buatannya sendiri, hadiah untuk Hansol saat mereka lulus SMA.

"Habis..." Minjung tidak melanjutkan kata-katanya. Hansol mendekat.

"Wah... kamu sedih ya aku pergi?"

"Hha, nggak juga." Minjung membuang muka.

"Heol..." Hansol mencubit hidung Minjung.

"Sudah sana cepat, keretamu petang ini berangkat kan?"

"Ini aku sudah cepat-cepat tahu, tapi sepertinya ada yang berharap aku nggak jadi pergi." Hansol menatap mata Minjung. Yang ditatap pura-pura terbelalak sambil menunjuk mukanya sendiri.

"Siapa? Aku?"

"Memangnya ada orang lain disini?"

"Yang benar saja! Wah...!" Minjung menggenggam kepala Hansol lalu menggoyang-goyangkannya. Laki-laki itu mengaduh.

"Ck! Kamu ini laki-laki kan!" Hansol memegangi kepalanya, sambil mengarahkan tatapan 'ingin membunuhnya'. Minjung terkikik.

"Sudah sana berbenah lagi!" Minjung mendorong Hansol menuju buku-bukunya yang belum masuk kardus. Hansol mendecih, tapi menuruti kata-kata gadis itu. Sekarang suasana kembali tenang.

Minjung mengamati ruangan di rooftop rumahnya itu. Sang penyewa, Ji Hansol, adalah seorang pria Busan tulen ketika pertama kali mereka bertemu. Hansol yang saat itu masih tahun pertama di SMA –seumuran dengan Minjung, datang didampingi ibunya. Hansol mencoba hidup sendiri dengan bekerja part-time dan menjadi guru les untuk adik Minjung. Sampai lulus kuliah dan sekarang, Hansol diterima bekerja di salah satu perusahaan di kota asalnya, Busan.

Mungkin hal itu yang membuat Hansol dengan Minjung hampir tidak terpisahkan. Mereka satu sekolah, satu kampus –meskipun berbeda jurusan, mereka masih di fakultas yang sama, bahkan bisa dibilang mereka tinggal di bawah satu atap. Tidak jarang Hansol menyaksikan momen-momen memalukan Minjung, dan Minjung mendapati saat-saat terlemah Hansol. Meskipun saling menghibur dan menguatkan mereka juga sering bertengkar. Entah karena mereka terlalu berbeda atau terlalu sama. Dengan alasan yang sama pula pertengkaran mereka tidak pernah berlangsung lama. Mereka sama-sama mengakui dan menerima keadaan satu sama lain lalu meminta maaf.

"Kamu sudah makan? Biasanya jam segini Ibu memanggil kita untuk makan bersama." Tanya Hansol memecah keheningan.

"Sayang sekali, orangtuaku dan Minji sedang berada dirumah nenek. Kamu sih, nggak bilang-bilang kalau mau pulang sekarang! Ibu telanjur pergi, jadi nggak bisa ketemu kamu untuk terakhir kali." Minjung ingat, ibunya marah-marah karena tidak diberitahu Hansol akan pulang hari ini. Tapi mau bagaimana lagi? Minjung saja baru tahu ketika membuka pintu kamar Hansol sepulangnya dari kampus. Beruntung gadis itu sedang ada janji dengan salah satu dosen pembimbingnya, jadi dia tetap tinggal di tumah.

"Aku nggak ingin membebani kalian terus... masa yang seperti ini harus dibesar-besarkan sih. Aku kan hanya pulang–"

"Tapi kita semua nggak tahu kapan kamu balik kesini lagi!" Minjung berteriak. Hansol memutar badannya, memperhatikan gadis yang sudah mulai memerah wajahnya. "Kami menganggapmu lebih dari penyewa seperti sebelum-sebelumnya, tahu! Tapi kalau begini, kamu menganggap aku dan keluargaku apa?!" Minjung mengepalkan tangannya.


"Hei... aku kan hanya pergi untuk sementara, lagipula aku juga masih menyewa sampai akhir bulan ini kok, aku nggak akan pergi jauh–"

"Busan itu jauh, tahu!"

Minjung menyeka air mata yang mulai bandel keluar. Ia tidak ingin pemuda Busan itu melihatnya menangis. Tapi terlambat, Hansol sudah mendekat. Disekanya air mata gadis itu. Minjung sudah benar-benar menangis sekarang.

"Minjung..."

"Ya sudah sana cepat pergi! jangan berbalik lagi..."

"Kamu ngusir aku?"

"Nggak ada gunanya nahan kamu juga," Minjung tersenyum. "Karena kalau aku benar-benar nahan kamu, kamu benar-benar nggak jadi pergi. Itu nggak boleh terjadi. Perusahaan ini impian kamu dari awal masuk kuliah kan?"

Kali ini Hansol yang tersenyum. Ia mengusap kepala gadis itu. "Gara-gara katamu barusan, aku jadi berubah pikiran." Minjung melotot mendengar ucapan Hansol.

"Dengar dulu," Hansol tertawa. "Aku akan kembali lagi kesini. Mungkin dua minggu lagi, aku masih harus pamit secara benar sama Ibu, Bapak, dan Minji. Lagipula melihatmu merengek seperti ini mengganggu tahu."

Minjung cemberut. "Oh, maaf sudah mengganggumu!" Katanya sambil melipat tangan di dada, membuang muka. Hansol mencubit pipi Minjung.

"Sebagai gantinya, jaga barang-barangku disini baik-baik. Kamu lihat kardus-kardus itu? Aku bawa nanti deh, waktu pulang yang kedua. Sekarang aku cuma bawa tas pakaian sama berkas-berkas yang aku butuhkan dulu." Hansol menunjuk-nunjuk barang disudut. Minjung mengangguk pelan. Sekarang, gadis itu sudah sedikit tenang.

Hansol meraih tangan Minjung kemudian menggenggamnya. "Tunggu aku ya." Hansol menatap mata Minjung dalam. Gadis itu membeku. 

Mereka memang dekat, tapi tidak dalam hubungan yang seperti 'itu'. Minjung memang menyukai Hansol dari awal, tapi tidak pernah ia tunjukkan karena tidak mau merusak hubungan mereka yang sudah baik.

Hansol juga tidak ada bedanya. Ditambah Minjung adalah anak dari orangtuanya yang 'kedua' di sana. Pria Busan itu pikir-pikir juga untuk mengungkapkan perasaannya pada Minjung. Tapi, mengingat ia dan Minjung sudah sama-sama dewasa, dan bahkan sekarang Hansol sudah dapat pekerjaan, mungkin tidak ada salahnya mencoba. Apalagi orangtua Minjung sudah memberi kepercayaan yang sangat banyak pada Hansol, entah itu menjadi poin tambah untuknya atau sebaliknya.

Sekarang, Hansol harus pulang dulu ke Busan, mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan barunya. Ranselnya sudah siap di punggung, dan Taxi juga sudah menunggu diluar. Minjung yang pesan, Minjung juga yang bayar sampai ke stasiun. Hansol hanya menurut saja. Dia sedang malas bertengkar dengan gadis yang sekarang berdiri di depannya. Mukanya masih menahan tangis.

"Apa aku sudah boleh pergi?" Hansol mengangkat tangannya yang masih digenggam erat Minjung. Gadis itu tersentak kemudian melepas genggamannya. Hansol tersenyum. Minjung terlihat sangat lucu saat ini.

"Jangan pasang muka begitu, dong." Hansol mengacak rambut gadis itu.

"Lalu aku harus pasang tampang apa?" Minjung menatap Hansol. Sejak kapan pria itu jadi setinggi ini? Dulu memang Minjung lebih pendek, namun selisihnya tidak seberapa. Tapi sekarang, Minjung rasanya seperti melihat tiang listrik.

"Goodbye, Minjung, for a moment." Kata Hansol, kemudian menarik Minjung kepelukannya, membuat gadis itu terkejut. Tak lama kemudian, Hansol mengecup keningnya. "Tunggu aku, kalau aku kembali lagi kesini... I'll ask properly." Katanya kemudian mencubit pipi Minjung.

Minjung masih melongo karena perlakuan Hansol. Apa... katanya... barusan?

"Kamu sendirian kan? Kunci pintu, tutup gorden, dan jangan bukakan untuk orang asing! Tiap satu jam aku akan mengecek keadaanmu sampai kamu tidur. Besok keluargamu sudah kembali lagi."

Di saat normal, pasti Minjung akan berteriak 'memangnya aku anak kecil!'

Tapi saat ini Minjung hanya mengangguk tanpa sadar. "Hei... Ji Hansol, barusan kamu ngapain–"

"Aku pergi dulu ya!" Hansol memotong kata-kata Minjung, kemudian segera berlari menuju Taxi.

Minjung memegang dadanya yang bergemuruh tidak karuan. Disaat Taxi Hansol sudah melaju...

"YEAAYY!!"

--------------------------------------------------------
Part 1 dari 2 cerita.
Klik di sini untuk membaca part 2.
pernah di post di wattpad.
--------------------------------------------------------

Comments