![]() |
photo by Remco Marien on Unsplash |
Rani menggenggam erat strap dari tas yang menggantung di pundak. Saat ini sudah malam. Di depannya terhampar lorong gedung N yang panjang, gelap, dan... sekarang menyeramkan. Rani menyesal mendengarkan cerita Rio dengan antusias. Tadi di laboratorium tempat mereka melakukan asistensi, Rio bercerita tentang bagaimana kamu akan bertemu 'sesuatu' atau mencium bau wangi disitu. Sebenarnya Rani tahu Rio hanya menakut-nakuti, tapi mau tidak mau Rani termakan juga. Ditambah lagi beberapa lampu yang sudah mempensiunkan diri, dan tidak segera diganti oleh pihak kampus. Rani mendesah pelan.
'hei.. sudah berapa kali aku melewati lorong ini? tidak apa-apa, lagipula aku sudah biasa melihat yang seperti itu.'
Rani mengambil langkah pertama. Sambil menguatkan diri, ia mulai berjalan menyusurinya. Rani memang dikaruniai kemampuan lebih, namun dia tidak dapat memakainya sembarangan. Kekuatan itu tidak bisa ia kendalikan. Terkadang dia mampu melihatnya, terkadang dia hanya dapat merasakannya. Saat pertama kali ia mengetahui tentang kelebihannya 5 tahun lalu, Rani takut bukan main. Tentu saja, gambar di TV dan poster tiba-tiba saja menjadi nyata. Namun, lama kelamaan dia mampu mengatasinya dengan memejamkan mata, atau merapal doa. Berusaha terlihat tenang dan tidak menarik perhatian mereka.
Maka dari itu, ketika Rio bercerita tentang lorong, Rani sudah tahu jika sebenarnya itu bohong. Di ujung lorong itu tidak ada Gadis bersepatu hak yang berbunyi tok... tok... tok... namun anak kecil dengan seorang nenek yang menggunakan tongkat, tok... tok... tok... Kemudian tentang pak Tua yang membawa kapak, hendak menegor pohon sekitar namun berujung nahas. Sebenarnya, pria itu masih muda, dan masih banyak lagi cerita Rio yang tidak sama dengan penglihatan Rani.
Rani menghela nafas. Sekarang dia sudah sepertiga jalan. Pria muda hampir dilewatinya. Rani was-was, memang selama ini mereka tidak mengganggu, namun Rani gemetar juga melihat tatapan dan wajah pucat mereka. Rani sudah dapat melihat punggung pria tersebut, ketika ada langkah kaki pelan, yang perlahan mendekat ke arah Rani. Gadis itu tidak menyadarinya.
Perlahan sepasang tangan terjulur, menggapai bahu Rani, dan...
"DOR!!!"
"HUWAAAA!" Rani terlonjak dari tempatnya, dan bergegas membalikkan badan. Tampak di hadapannya mahasiswa dengan rambut cepak dan berkacamata, nyengir, seolah tidak merasa bersalah.
"Astaga! BRAAM!" Rani memegang dadanya, merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. "Jangan main kaget-kagetan kaya gitu ah! bikin jantungan tau nggak!" Rani berteriak sebal.
"Habis.. kamu jalan pelan banget, kaya lagi main petak umpet." Bram, teman sekelas Rani itu terkekeh. "Ngapain pulang jam segini?" tanyanya pada Rani.
"Biasa, ada kegiatan lab." Sahut Rani sambil lanjut menyusuri lorong.
"Ck, lab mulu yang diurusin, kuliah tuh! Absen kamu udah berapa, mepet sih setahuku." Bram menyusul.
"Kan ada kamu," giliran Rani nyengir. Bram mengetuk kepala Rani pelan.
"Tapi tadi kamu serius beneran kaget?" Bram menoleh ke arah Rani, khawatir.
"Ya iyalah, barusan Rio cerita yang enggak-enggak tentang lorong ini, terus lampunya juga udah nambah satu yang pensiun. Kan, makin gelap jadinya."
"Iya juga sih..." Bram mengangguk. "Tapi bagus juga, tahu. Tuh, sinar bulannya jadi makin keliatan, enggak kalah sama lampu." Bram menunjuk ke arah bulan yang memang sedang bersinar.
"Oh iya ya, sebentar lagi purnama." Rani mengikuti telunjuk Bram. "Untung ada kamu Bram. Paling engga ada temen buat jalan disini. Kalo tiap hari lampunya pensiun satu, abislah lama-lama."
"Kamu pengen dikagetin lagi?"
"Kamu pengen aku pukul?"
Kemudian mereka tertawa.
"Lagian, Rio kamu percaya, diemin aja sih." Bram teman satu kosan Rio, mungkin ada baiknya Rani menuruti kata-katanya, sehingga Rani mengangguk.
"Kamu sendiri ngapain Bram? Habis dari student center?"
"Iya, ada pleno sama anak futsal, sekarang lagi musim tanding gara-gara ada college cup."
"Ooh..." Rani mengangguk.
Sepanjang jalan itu, mereka mengobrol sampai tak terasa anak kecil dan nenek bertongkat di ujung lorong sudah mereka lewati. Sekarang, Rani dan Bram sudah sampai parkiran motor.
"Kamu pulang sendirian? sama aku aja." Bram menawarkan diri.
"Eh... ng..." Rani tampak berpikir sebentar. Rani dengan senang hati akan mengiyakan kalau saja bukan karena dirinya yang mudah insecure dengan berat badannya. Sebenarnya ini bulan pertama mereka masuk setelah musim liburan. Rani takut dan malu kalau Bram tahu berat badannya bertambah. "Tapi katyaknya aku tambah berat Bram. Nggak dulu deh, aku pulang sendiri aja. Deket kok."
"Ya elah, udah tahu. Kelihatan kok." Bram terkekeh. Rani cemberut.
"Selo aja kali, yang bawa kamu -kita, kan motornya. Bukan aku. Sini naik," Bram memutar, kemudian mendekatkan motornya ke Rani. Akhirnya karena sudah larut dan gadis itu juga takut jalan sendirian di malam hari menuju kosan yang lumayan sepi, ia menaiki boncengan di belakang Bram.
"Lebay." kata Bram ketika Rani sudah duduk di belakangnya.
"Apanya?"
"Kamunya, nggak berat kok." kata Bram sambil menutup helmnya, kemudian melaju. Mau tak mau Rani menghela napas lega dan dalam hati berterimakasih pada Bram karena berusaha menghiburnya.
---
3 hari kemudian, Rani berdiri lagi di depan lorong, lagi-lagi setelah mendengar cerita Rio. Ditambah satu lampu sudah pensiun dini. Rani menelan ludah. Ini adalah satu-satunya lorong terdekat yang menghubungkan lahan aktivitas mahasiswa dengan bagian depan kampus. Sebenarnya ada jalan lain, namun Rani harus memutar lebih jauh dan melewati jalan dengan pohon rindang dan kondisi lampu minim juga. Tidak, itu lebih beresiko.
"Lab lagi?" Sebuah suara mengejutkan Rani.
"Bram!" Seru Rani yang langsung disambut senyuman lebar pria di depannya.
"Segitu senengnya kamu ketemu sama aku," kata Bram sambil mengikuti langkah Rani yang mulai menyusuri lorong.
"Eh?" Rani tersadar. "Habisnya, aku ngga ada temen, tuh lampunya mati satu lagi."
"Rio juga cerita aneh-aneh lagi?" Rani mengangguk cepat.
"Yak tull sekali!"
"Gampang ketebak kamu tuh!" Bram mengetuk kepala Rani pelan.
"Cih," Rani mendengus sambil mengelus kepalanya yang sebelumnya disentuh oleh Bram. Ia tersenyum kecil.
"Liat deh, bulannya mulai bundar," Bram menunjuk ke arah luar. "Cahayanya makin terang ya," katanya lagi.
"Iya, bagus." Kata Rani yang masih senyum-senyum sendiri. Kemudian mereka diam.
"Lagi ada masalah Bram?" Kata Rani yang menyadari perubahan Bram. Tidak biasanya cowok berisik dan tukang usil itu membiarkan suasana menggantung.
"Hm... biasa, anak futsal. Lagi-lagi berantem sama anak basket, rebutan lapangan." Katanya sambil memasukkan tangan ke saku. "Heran deh, orang udah mahasiswa tingkat tua juga, udah gede, udah ada peraturan dari BEM, masih aja main serobot! Kan acara latihan rutin futsal berantakan jadinya!" Dengus Bram sebal. "Kasian adek-adek tadi, mana college cup bentar lagi kan, terus ditekan sama senior basket. Yaudah, aku sama yang lain turun juga deh jadinya." Sahutnya.
"Ooh gitu... Tapi udah kelar masalahnya?" tanya Rani.
"Udah, ternyata mereka juga pengen latian buat college cup. Tapi, nggak liat-liat itu lapangan dipake atau engga. Akhirnya yang basket pake lapangan di deket asrama sana. Lagian, udah futsal duluan kan yang ngetag lapangan sini." Bram mengacak rambutnya.
"Yauda Bram, yang penting dua-duanya bisa latian." Rani menepuk pundak Bram.
"Iya Ran," kata Bram sambil tersenyum ke arah Rani. Lagi-lagi mau tidak mau wajah Rani memerah demi melihat Bram yang bermandikan cahaya rembulan malam itu.
---
Rani kesal setengah mati. Hari ini adalah jadwal pleno untuk membahas pembagian divisi untuk junior yang mendaftar rekruitmen asisten praktikum dan riset baru di laboratorium mereka. Tapi coba lihat? kurang dari setengah yang hadir. Sebagai HRD mau tidak mau Rani pusing juga. Memang rekruitmen ini adalah tanggung jawabnya, tapi sebagai member bukankah ini tanggung jawab semua orang juga? tugasnya hanyalah mengkoordinasikan, bukan menyelesaikan dan menanggung semuanya. Rani tidak kesal dengan orang yang hadir malam itu, Rani hanya kesal karena orang-orang itu saja yang masih mau hadir, sedangkan yang lain sudah tidak peduli. Dikata Rani dan teman-teman yang hadir tidak punya urusan lain apa?
Saking kesalnya tanpa sadar Rani sudah masuk menyusuri lorong sendirian. Untuk mencairkan suasana, tadi di klub Rio bercerita tentang lorong ini lagi sebenarnya. Namun demi emosi Rani yang sedang memuncak, gadis itu tidak terlalu memusingkannya.
Tiba-tiba Rani mencium sesuatu.
"Aku tau kamu ada di belakangku, ngga usah main kaget-kagetin lagi!" Rani berseru sebal.
"Wow... pedes banget bu? lagi dapet ya? hehe." Bram, menyamakan langkah dengan Rani. Gadis itu tidak menjawab.
"Ada masalah apa?" Bram mengamati waut wajah Rani.
"Lab, pleno, regenerasi..." Rani menceritakan semuanya pada Bram. Pria itu manggut-manggut.
"Iya sih, yang kaya gitu emang bikin kesel. Tapi di luar kuasa kita juga Ran," Bram menenangkan Rani. "Daripada kamu jadi kurus mikirin yang engga dateng, kenapa kamu engga lebih mengapresiasi yang dateng aja?"
"Mengapresiasi yang datang?"
"Iya. Kamu kerjain aja tugas kamu ada atau nggak ada mereka yang udah nggak dateng, tunjukkin kesungguhan kamu, dan jangan main-main." Bram menoleh ke arah Rani. "Terus jangan lupa berterima kasih sama yang lain juga." lanjutnya.
"Hmm..." Rani berpikir, menelengkan kepala. "Iya. Makasi ya, Bram." Ujarnya kemudian, sambil tersenyum ke arah Bram.
Laki-laki di depannya mengetuk kepala Rani pelan. "Nah, gitu dong, senyum! Kamu nyeremin tau kalo lagi marah, nenek lampir aja takut." Katanya.
Rani yang tersipu langsung berjengit, mendekatkan diri ke arah Bram. "Oiya, aku lupa! Kita sudah masuk ke lorong legendaris." Rani berbisik.
"Yeeuu! kirain kenapa!" Bram mengacak rambut Rani.
"Lampunya mati satu lagi!" Rani mengamati sekitar... tapi anehnya...
"Tapi ngga gelap, kan?" Kata Bram, sambil menunjuk ke atas.
"Oiya Bulan!" Rani menjentikkan jarinya. Bram tersenyum kemudian mulai berlari-lari.
"Kamu ngapain Bram?" tanya Rani bingung. "Ngejar bayangan kamu," katanya sambil kemudian menginjak siluet hitam di belakang Rani.
"Yang bayangannya paling banyak keinjek, dia harus nurutin permintaan yang menang!" katanya sambil mulai berlari.
"Eeh, curaang! Sini kamu!" seru Rani, sambil mulai mengejar Bram. Tanpa mereka sadari, kaki mereka sudah memasuki parkiran.
"Yeey aku menang!" Bram mengepalkan tangannya keatas. Rani terengah-engah di belakangnya.
"C.k.. kamu mau apa?" tanya Rani. Sambil mengatur napasnya. Bram tersenyum, kemudian berjalan menghampiri Rani.
"Mulai sekarang pulang bareng aku ya?" tanyanya sambil mengulurkan tangan, menunggu Rani menyambutnya. Rani melongo."Ya?" tanyanya lagi, sambil menggoyangkan tangannya di depan Rani.
Tersadar, Rani menunduk malu, sambil meraih tangan Bram. Bram tertawa pelan kemudian menarik Rani mendekat ke arahnya. "Ck, kamu tuh cewek, mau kaya gimana juga tetep bahaya kalo pulang malem sendirian." katanya lagi, masih menggenggam tangan Rani.
"Uh.. habisnya.. anggota lab udah pada pulang duluan sih..." Rani masih menunduk, tidak berani menatap Bram. Tiba-tiba dagunya terangkat oleh tangan Bram. "Rio mana? dia kan ketua? masa ngebiarin kamu pulang sendirian?"
Rani memandang manik mata didepannya. "Rio mampir ke klub taekwondo, dia ikut college cup juga, jadi harus latihan tiap malem." Kata Rani gugup dengan tingkah temannya yang sebetulnya sudah ada di hatinya sejak pertama kali mereka sekelas.
Bram tersenyum lembut. "Yaudah, pulang sama aku aja yaah!" katanya sambil meraih tangan Rani satunya, kemdian ia genggam dengan erat. Rani tersipu, wajahnya memerah dan ia yakin warnanya sudah seperti kepiting rebus.
"I..iyaa," jawabnya. Melihat tingkah gadis di depannya, Bram mencubit pipi Rani gemas. "Dasar." Ujarnya, kemudian kembali tersenyum memamerkan lesung pipinya yang membuat wajah Rani semakin memerah.
---
Rani memandang lorong di depannya dengan malas. Tidak, Rio tidak bercerita macam-macam hari ini, tapi lorong itu sudah sepenuhnya gelap karena semua lampu memutuskan untuk pensiun. Rani menelan ludah. Di saat seperti ini dia berharap jika Bram datang mengejutkannya atau mendadak mengatakan sesuatu di sampingnya.
Harapan Rani terkabul. Rani mencium wangi khas Bram. Kemudian Rani berbalik kebelakang. Lihat, Bram sudah berdiri tersenyum dibawah sorot lampu hall lahan aktivitas mahasiswa.
"Bram!" pekik Rani kemudian menghampiri Bram. "Kamu baru pulang?" tanyanya. Bram hanya mengangguk, kemudian menggenggam tangan Rani. Rani teringat kejadian tempo hari di parkiran, membuatnya memerah lagi.
"Kenapa?" tanya Bram ketika Rani tidak segera berjalan menyusuri lorong. Rani tersadar. "Ah enggak... hehe." ujarnya tersipu malu. Bram mengacak rambutnya. "Ayo, mumpung belum terlalu malam." katanya. Rani mengangguk.
Akhirnya mereka memasuki lorong tersebut.
"Gimana lab kamu Ran?" Tanya Bram.
"Syukurlah lancar... aku mulai belajar ngikutin saran kamu. Mungkin beberapa masih suka ngga dateng, tapi akunya udah ngga terlalu ambil pusing lagi." kata Rani, sambil terselip nada bangga disitu. Bram tertawa pelan.
"Kalo kamu Bram? gimana Futsalnya?" tanya Rani.
"Hm... baik-baik aja. Aku yakin mereka bisa jalan sendiri meskipun ngga ada aku. Mereka orang-orang hebat." Kata Bram tenang.
"Waah.. syukurlaah!" Rani tersenyum, menoleh ke arah Bram. Namun perlahan senyum itu hilang. Di bawah cahaya rembulan purnama paling terang Januari itu, tampak Bram yang berdiri tegap di samping Rani. Senyumnya masih sama, tangannya masih menggenggam tangan Rani. Namun, sekujur tubuhnya dipenuhi luka, dan... itu bukanlah tatapan orang yang masih bernapas. Rani menutup mulutnya, matanya mulai menggenang. Dia tidak dapat percaya apa yang dia lihat saat ini.
"Bram..." Katanya tercekat. Kakinya tidak mampu melangkah. Bram menghentikan langkahnya, memutar tubuh menghadap Rani, tersenyum.
"Kamu udah tahu ya?" katanya. "Aku pikir kamu takut karena engga bisa lihat, ternyata kamu bisa." Senyumnya masih berada disana, sambil menghampiri Rani. "Kalo kamu bisa lihat, kenapa takut?" tanyanya lagi.
Semua pertanyaan Bram, Rani hanya bisa diam. Gadis itu tidak mampu menjawab apapun. Bahkan badannya mulai lemas yang segera ditangkap Bram, kemudian pria itu merengkuhnya dalam dekapannya. "Maafin aku, Rani." Katanya pelan.
"Kamu... apa yang terjadi? kenapa bisa gini?" Air mata mulai lolos dari mata Rani.
Bram melepas pelukannya, masih dengan Rani di dekapan, demi melihat wajah gadis itu. Di elusnya pelan wajah Rani, disingkirkannya anak rambut yang menutupi wajah mungil Rani. "Yah... Begitulah... yang aku ingat, aku sedang mengendarai motorku dari rumah. Hari ini aku pulang karena mama kangen sama aku. Terus tiba-tiba ada truk, semua silau dan..." Bram tidak melanjutkan kalimatnya. Rani mulai menangis.
"Enggak... semua belum terlamba! Ayo kita kembalikan kamu ke tubuh kamu!" kata Rani sambil menarik Bram, yang segera dihentikan oleh pria itu. Rani mematung melihat Bram menggeleng.
"Aku di rumah sakit Ran, mama aku dalam perjalanan menuju ke sana. Kamu minta anter Rio ya ke sana, temenin mama aku." Katanya sambil tersenyum. Rani menggoyangkan kepalanya, tangisannya mulai menggema.
"Aku tahu kamu gadis yang kuat, itu yang aku suka dari kamu. Kamu ngga boleh nangis lagi karena aku, kamu ngga boleh terhambat karena aku. Inget aku boleh, tapi jangan sedih karena aku." Kata Bram sambil menghapus air mata Rani yang jatuh di pipi gadis itu.
"Jangan takut lagi sama gelap, kamu itu bersinar." Katanya lagi sambil mengetuk kepala gadisnya itu. Rani menggenggam tangan Bram erat.
"Jangan pergi," isak Rani. Bram mengelus puncak kepala Rani perlahan. "Aku bela-belain kesini buat ngeliat kamu untuk terakhir kali." katanya, kemudian mendekatkan wajahnya ke Rani. Dikecupnya bibir Rani perlahan. "Selamat tinggal Rani, aku selalu sayang kamu." katanya sambil tersenyum, khas Bram, dengan lesung pipi. Perlahan genggaman tangan mereka mulai melemah, dan Bram tidak lagi ada di depan Rani.
Gadis itu terduduk, menangis. Tak di pedulikannya tatapan pria muda dan anak kecil dengan neneknya di situ. "Rio," kata anak kecil yang sudah ada di sampingnya, mengingatkan. "Oh iya." Rani mengusap air matanya sambil mengeluarkan ponsel.
"Halo?" Jawab Rio di seberang sana.
Rani menangis lagi.
---
2 Bulan berlalu sejak kepergian Bram. Hari ini, beberapa anggota berkumpul di ruang lab untuk menyambut member baru mereka. Rani terlihat sibuk mondar-mandir memastikan semua berjalan dengan lancar, mengingat dia adalah penanggung jawab regenerasi ini. Acara berlangsung sesuai rencana. Member lama dan baru terlihat mulai akrab dan mengenal satu sama lain. Ketika makan bersama, Rio memulai cerita aneh-aneh lagi. Rani yang ada d idekat situ tersenyum samar.
Malam itu, semua berjalan dengan baik. Suasana hati Rani juga baik. Ketika pulang, langkah kaki Rani berhenti di depan lorong yang menghubungkan lahan aktivitas mahasiswa dengan bagian depan kampus. Tidak, Rani sudah berusaha menaklukan gelap sekarang, dan lagipula lampunya sudah diganti dengan yang baru. Rani juga tidak takut dengar cerita Rio lagi, karena Rani sudah melihat hantu paling seram menurutnya.
Rani menunggu wangi itu.
Rani menunggu wangi yang terkadang tercium seiring dengan hembusan angin malam. Gadis itu menghitung sampai 10. Jika tidak ada apa-apa, maka gadis itu akan pulang.
'Ia tidak datang malam ini'
Namun, jika...
1... 2... 3... 4... 5... 6... 7... 8... 9...
Rambut Rani bergerak mengikuti angin malam itu. Ia tersenyum.
'Wah, kamu datang...'
Ia mulai berjalan menyusuri lorong, diiringi oleh hembusan angin yang membawa wangi Bram.
Wangi seseorang yang ia sayangi.
pernah dipost di wattpad.
--------------------------------------------------------
Comments
Post a Comment