Aku was-was dari balik jendela, mengintai ayah yang bergerak cepat mengambil layang-layangku. Benda berbentuk jangkrik itu tersangkut di ranting-ranting yang semakin lama semakin memanjang, mendekat ke jendela kamarku karena sudah lama tidak dirapikan. Wabah misterius membuat kami menutup rapat semua pintu dan jendela rumah kami, takut terlalu lama berada di luar. Tapi ternyata, jendela kamarku yang sudah lapuk tidak bisa bertahan lagi.
Ayah buru-buru masuk ke rumah lalu masuk ke kamarku. “INI! JANGAN SAMPAI KELUAR LAGI!” Serunya marah. Aku mengangguk takut-takut sambil menerima layang-layang itu.
“Ck! Dia kan sudah besar, kenapa tidak ambil sendiri!” gerutu ayah sambil menutup pintu kamarku rapat. Sampai jendelaku bergetar. Aku buru-buru menghampiri dan memastikan kalau jendela itu masih tertutup rapat.
Aku menghela napas. Entah takut atau lega.
Layangan ini buatan ayahku, hadiah ulang tahunku tiga tahun lalu. Aku tidak tahu apakah itu hadiah atau bukan karena pada beberapa pandangan, layang-layang ini menyeramkan. Jangkrik! Kenapa harus jangkrik? Bagaimana dengan kupu-kupu? Pesawat? Bahkan layang-layang berbentuk layang-layang saja aku sudah berterima kasih! Tapi ini jangkrik!
Si jangkrik inilah yang terbang keluar saaat jendela terbuka dan angin mengajaknya bermain sampai ia tersangkut di ranting. Aku masuk kamar dalam keadaan si jangkrik sudah tergantung pasrah diantara daun-daun.
“Aku tidak bisa.”
“Minta ayah saja!”
“Panggil ayah!”
Karena panik, aku bangunkan ayahku sampai ia membuka pintu kamarnya dengan rambut dan baju acak-acakan. Aku takut dengan layangan jangkrik, tapi aku lebih takut dengan ayahku, dan sangat takut dengan pandemi yang bisa merubah eksistensi manusia menjadi yang lain.
Makanya ayahku misuh-misuh, lebih terdengar gondok.
Mungkin aku tahu kenapa alasannya karena malamnya tubuh ayah demam, dan besok paginya dia berubah menjadi seperti zombi. Tangannya tiba-tiba kurus kering seperti ranting pohon di depan jendela kamarku, tubuhnya berwarna hijau, kepalanya miring seperti lehernya tidak mampu menahan beratnya lagi. Matanya bulat mendelik, samar-samar menyala kuning. Jelas, ayah terjangkit pandemi.
Keluarga kami panik. Ayah buru-buru kami kunci di kamar karena kami tidak tega membiarkannya keluar. Tapi ayah berhasil membobol pintu kayu kamarnya. Matanya memandang kami satu persatu.
“RRAAWWRRR!!” katanya. “RRAAWWRR!! RRAAWWWWRRRRRR!!!!”
Ibuku dan adik-adikku serta asisten di rumah kami memandangku, menyipitkan mata. Tiba-tiba mereka memberiku senapan. Aku paham, mereka ingin memberikan tugas sekaligus hukuman untukku karena membiarkan ayah berada di ruang terbuka kemarin.
Ayahku menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha menyadarkan diri tapi gagal. Dia menatapku sendu sambil memohon. Beberapa kali dia berusaha memanggil namaku, sambil menggumamkan sesuatu yang seperti nasihat-nasihat yang biasanya dia ucapkan padaku.
“CEPAT!”
“TUNGGU APA LAGI!”
“BIDIK!”
Ibuku dan adik-adikku serta asisten di rumah kami mendesakku, sudah tidak tahan melihat ayahku yang berubah menjadi monster. Sebetulnya mereka muak dengan ayah, makanya mereka yang paling semangat menyuruhku membidik kepala ayahku. Mereka takut tangan mereka kotor.
Mereka tidak pikir bahwa dengan mereka muak pada ayah, maka mereka juga tidak ada bedanya denganku. Aku juga muak, aku juga tidak mau tanganku kotor, tapi ini membuatku bimbang. Ayahku menatapku untuk terakhir kalinya sebelum dia berubah menjadi jati dirinya yang asli. Dia merusak, membanting, berusaha mencelakai ibuku sampai akhirnya sebuah peluru bersarang di kepalanya.
Aku sudah durhaka, dan selamanya Tuhan tak akan mendengarku lagi.
Suasana hening, kecuali televisi yang menyiarkan berita tentang pandemi misterius di dunia.
“Ini bukanlah pandemi.” Kata laki-laki berdasi dan berkacamata, terlihat pintar. “Ini adalah pergerakan angin yang membawa partikel kecil yang ketika dihirup akan membangkitkan senyawa dalam tubuh. Untuk anda para manusia normal, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun bagi monster yang selama ini menjelma menjadi manusia, mungkin anda harus berhati-hati.”
Kami semakin hening. Pandangan kami tertuju pada jasad ayah... bukan, monster yang tergeletak di ruang rekreasi kami. Aku telah membunuhnya. Tanganku kotor.
“Bagi monster yang tidak tahu kalau anda monster, lalu merusak hidup manusia, maka tidak ada hukuman lain selain mati.” Kata pria pintar di televisi lagi.
Ibuku membuang muka.
Aku menarik napas, menatap tanganku hampa. Hal yang menyakitkan adalah aku sadar bahwa orang yang selama ini aku panggil ayah ternyata adalah monster. Dia bukan manusia, dan hal yang bisa aku lakukan saat ini adalah menjadi pembenci dan pembunuh.
Sayangnya tidak ada yang tahu kalau dia bukan manusia kecuali kami yang melihat dengan mata kepala sendiri, karena jasad monster itu semakin pudar warnanya, matanya terpejam, dan tangan kurusnya justru hanya menjadi bukti kalau kami tidak merawatnya dengan baik.
Bulik dan keponakan-keponakan ayahku berhamburan datang. Suaranya menyerang kami tapi jari telunjuknya menunjukku. Sepertinya, hanya mereka yang tidak tahu kalau ayah bukanlah manusia.
Tapi kemudian terselip senyum di wajah mereka.
“Oh...”
Kemudian aku tertawa, sampai terbahak, sampai terpejam mataku dan terlipat badanku.
“Dia gila!”
“Dia tidak tahu diuntung!”
Rupanya mereka hanya menutup mulut, takut kalau ayah menunjukkan jati diri monsternya di dekat mereka. Mereka hanya tutup mata. “Biar kalian saja,” begitu pikirnya.
Mereka juga takut tangan mereka kotor.
“Jangan salahkan dia!”
“Ayah yang monster!”
“Ayah berubah makanya kakak tembak dia!”
“Ayah yang salah!”
Adik-adikku membela, yang justru jadi bumerang.
“Kalian anak monster!”
“Berarti kalian juga monster!”
Bulik dan keponakan-keponakan ayahku mulai mengangkat senapan, mereka membidik adikku yang paling kecil dulu, lalu berurut ke yang lebih tua, sampai akhirnya sampai padaku.
Aku menamati wajah semua orang di ruangan. Ibuku, mendapat simpati dari masyarakat karena dia menikahi seorang monster tanpa ada yang menyelamatkannya. Asisten kami tidak mendapat apapun karena mereka orang asing, dan mereka tidak ada hubungan dengan keluarga monster kecuali membersihkan sampah-sampah. Lalu bulik dan keponakan-keponakan ayahku yang mungkin akan menyembunyikan fakta kalau mereka bersinggungan darah dengan monster (setidaknya mereka tidak memiliki ayah yang sama dengan ayahku). Lalu adik-adikku yang masih manusia, bersimbah darah di lantai. Maafkan aku belum bisa melindungi kalian. Maafkan aku karena tangan bersih kalian tidak berguna. Maafkan aku karena –DOR!
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
cerpen ini dibuat dalam rangka mengikuti lomba cerpen ruang kreasi tahun 2020.
sayangnya, tidak masuk peringkat sama sekali. semangat untuk zuzu :)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Comments
Post a Comment