Surat Raja


Hei, kalian sedang apa? Apakah kalian sedang duduk bersandar di kursi sambil membuka-buka naskah berlembar-lembar yang membuat mata kalian panas? Apakah kalian sedang bertumpu di meja dengan secangkir kopi yang harumnya menjadi sumber energi kalian seharian ini? Ataukah kalian sedang berpikir bagaimana cara terbaik beristirahat di rumah nanti karena hari ini adalah salah satu hari terpanjang kalian? Apapun itu, aku berdoa semoga kalian bahagia dan membuat orang lain baik-baik saja.

Tidak, tidak ada apa-apa. Hanya saja aku teringat pada salah satu dongeng, yang kemudian aku ingin ceritakan ke kalian. Ini tentang seorang Baginda yang mulia sang Raja nan Agung. Seperti raja pada umumnya, dia menikah dan punya anak. Jangan tanyakan istrinya, ceritanya panjang. Fokus saja ke manusia mirip beruang ini, oke?

Baginda yang mulia sang Raja nan Agung mengasuh anaknya dengan baik dan benar. Ia berikan ruangan paling besar di istana, makanan paling enak di seluruh penjuru negeri, dan jendela paling besar di antara ruangan-ruangan lain. Suatu hari, anaknya datang menghadap ayahanda Baginda yang mulia sang Raja nan Agung.

“Ayahanda Baginda yang mulia sang Raja nan Agung,” katanya, memanggil sang ayah. Baginda yang mulia sang Raja nan Agung hanya berdehem. “Ayahanda, aku melihat mahkota ayahanda miring. Mungkin ayah bisa melihat ke cermin dan membetulkannya. Akan sangat memalukan kalau sampai dilihat dayang, prajurit, dan masyarakat di luar.”

Lalu anaknya menunduk memberi salam sebelum kembali ke kamarnya yang merupakan hal yang harus disyukuri sampai mati karena ruangan itu adalah pemberiah dari ayahanda Baginda yang mulia sang Raja nan Agung.

Di tahtanya, muka Baginda yang mulia sang Raja nan Agung merah padam, muntab. Maka dia menulis surat, lalu mengutus anaknya untuk menyampaikannya pada raja di kerajaan sebelah. Anaknya yang tidak tahu apa-apa selain semut di halaman istana mengangguk dengan patuh, lalu segera melaksanakan perintah ayahanda Baginda yang mulia sang Raja nan Agung.

Sementara itu, panglima yang mendampingi anak si Baginda yang mulia sang Raja nan Agung berulang kali menangis di jalan. Masyarakat yang dilewati hanya meliriknya dan beberapa menutup mulut seolah tidak mempercayai bahwa hukuman seperti itu masih ada.

Beberapa lainnya menyumpahi anak Baginda yang mulia sang Raja nan Agung karena sudah durhaka dan berani menantang Baginda yang mulia sang Raja nan Agung.

Beberapa lainnya bersorak karena akhirnya ada yang melawan Baginda yang mulia sang Raja nan Agung, tapi bukan mereka.

Sesampainya di istana kerajaan sebelah, anak Baginda yang mulia sang Raja nan Agung disambut dengan kain merah dan hitam. Sepertinya sedang dilaksanakan festival, karena banyak hidangan di sepanjang jalan, dan anak Baginda yang mulia sang Raja nan Agung diizinkan untuk mengambil apapun yang dia mau.

Ia berencana untuk mengambilnya saat perjalanan pulang kembali ke istana milik Baginda yang mulia sang Raja nan Agung nanti.

Tak berselang lama, anak Baginda yang mulia sang Raja nan Agung sudah bertemu dengan raja di kerajaan sebelah. Dengan dua tangan, anak Baginda yang mulia sang Raja nan Agung menyerahkan surat yang sudah ditulis ayahanda Baginda yang mulia sang Raja nan Agung. Raja di kerajaan sebelah menerimanya. Sebetulnya tanpa dia baca, dia sudah tahu apa isinya. Namun surat itu tetap ia buka. Tetap ia baca. Tidak ada yang berbeda, hanya ada yang bertambah.

Maka raja di kerajaan sebelah pun menghunus pedang. Sebelum terkejut, anak Baginda yang mulia sang Raja nan Agung yang malang sudah tergeletak tak bernyawa.

“Apa yang terjadi?” Tanya raja di kerajaan sebelah pada panglima yang mendampingi anak Baginda yang mulia sang Raja nan Agung.

“Baginda yang mulia sang Raja nan Agung memakai mahkotanya miring, tidak ada yang berani mengingatkannya kecuali si anak ini.” Jawab panglima, tidak berani mengangkat kepalanya.

“Kalau begitu, kami harus bersiap.”

Genderang perang ditabuh, surat itu dibuang sembarang sampai mengenai kaki panglima. Disitu tertulis, “Bunuh orang yang memberikan padamu surat ini, orang yang karena kebodohannya pantas mati.”

Panglima ikut berperang, dia yang berhasil membawa Baginda yang mulia sang Raja nan Agung ke hadapan raja kerajaan sebelah, sebelum akhirnya raja di kerajaan sebelah menebas kepala si Baginda yang mulia sang Raja nan Agung.

Namun tak lama kemudian kepala raja di kerajaan sebelah menggelinding. Rupanya panglima yang memainkan pedangnya. Dia orang asing, tapi rakyat di kedua kerajaan bersorak sorai. Semua raja mati, dan anak Baginda yang mulia sang Raja nan Agung tetap mati sebagai orang yang karena kebodohannya pantas mati.

Dongeng ini cukup menghibur karena... sebetulnya semua orang itu bodoh, tapi mereka menunjuk satu sama lain dan akhirnya mereka membunuh satu sama lain. Percayalah, tidak ada yang lebih menyeramkan dari orang bodoh yang tidak tahu kalau dirinya bodoh. Tapi percayalah, aku juga tidak tahu lebih bodoh mana orang yang mau dibodohi oleh orang bodoh atau orang bodoh itu sendiri.







Tertanda, 


Panglima.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
cerpen ini dibuat dalam rangka mengikuti lomba cerpen ruang kreasi tahun 2020.
sayangnya, tidak masuk peringkat sama sekali. semangat untuk zuzu :)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Comments