Ship : Perjalanan Bersamamu

Photo by Katherine McCormack on Unsplash

“Kamu lihat itu?!” Teriaknya. Aku mengangkat ujung rok agar tidak terkena air yang terhempas ke sela-sela batu yang kami tapaki. “Oh, cepatlah!”

“Tunggu sebentar!” Aku berseru, lumayan kesal mendengar Ronald mendesak agar aku lebih cepat sementara dia sendiri memakai celana dan sepatu bersol datar. “Kamu tidak lihat kostumku!?” payah. Desisku dalam hati, tidak mau Ronald mendengar.

“Yah… itu yang dipakai perempuan pada masa ini.” Ronald meringis sambil akhirnya kembali dan membantuku berjalan lebih cepat menuju ujung yang paling dekat dengan air yang bisa kami raih. “Lagipula kamu cantik kok, hanya saja memang tidak praktis.”

Aku memutar bola mata. “Tolong jangan bawa kita ke tempat yang pakaian perempuannya tidak praktis.”

“Kapan lagi bisa melihat seorang Elizabeth memakai gaun? Lagipula, memangnya kamu mau berpakaian seperti laki-laki?”

“Aku tidak keberatan.” Dengan cepat aku membalas ucapan Ronald. Dia terkekeh.

“Iya-iya, nanti aku pikirkan tempat yang pakaian wanitanya nyaman.”

Kami akhirnya sampai di ujung pantai, menunggu bayangan itu mendekat. “Kamu yakin kita tidak menunggu objek yang salah?”

Dia mengangguk. “Tentu saja! Maksudku, tidak! Kita menunggu objek yang benar!” Ronald berdiri dan mencoba mengidentifikasi objek yang mengapung mendekat ke arah kami lebih dekat. “Aku sudah bilang ke kapten kalau kita akan menunggu di sini!” Kemudian ia mulai membelah air dengan kakinya.

“Ron! Jangan jauh-jauh!” Seruku khawatir karena sekarang air sudah merendam sampai pinggang Ronald.

“Tidak apa-apa, Liz! Aku pandai berenang!” Katanya tersenyum padaku, membelakangi matahari.

Ya betul sih, Ronald itu pandai berenang. Bahkan ada candaan kalau Ronald –yang ibunya melahirkannya dengan metode dalam air –sudah bisa berenang bahkan dari dalam perut. Dia sudah punya banyak prestasi sejak kecil dalam bidang olahraga renang, dan dia punya kolam renang besar di rumahnya –bahkan kolam renang itu lebih besar daripada rumahnya sendiri. Kami sering mengadakan pesta daging panggang di sana pada saat musim panas. Ronald dan kedua orangtuanya yang merasa sepi jadi senang kalau aku dan keluargaku bertujuh mengunjungi mereka.

Pokoknya, hidup Ron itu tidak jauh-jauh dari air.

Bahkan saat terakhirnya pun di air.

Tidak bisa dipercaya kan? Paru-paru yang hebat dan tubuhnya yang lincah tetap kalah dengan takdirnya. Air.

Kami semua sudah ada di skoci, tapi Ibu Ronald belum. Ia mengamati lautan yang dipenuhi apapun yang terhambur dari kapal, sampai ia menemukan ibunya dan meluncur menghampiri. Aku masih ngeri mengingat Ronald yang berusaha mati-matian menyelamatkan ibunya yang hampir hilang dilalap ombak. Ibunya selamat, tapi tidak dengan Ronald yang terlambat menggenggam tanganku.

Aku dan Ibu Ronald sangat ingin mati hari itu.

Sampai ketika beberapa bulan setelahnya, Ronald muncul di mimpiku. Membawaku berpergian menggunakan kapal yang kami tumpangi di saat terakhirnya. “Aku sudah kenal kaptennya, dia orang baik. Jangan khawatir.”

Kami berkelana ke semua tempat yang Ronald ingin kunjungi. Benar-benar semua tempat, semua ruang, dan semua waktu. Aku sudah dikejar-kejar T-Rex, bertemu dengan Socrates, mengunjungi kota Pompeii sebelum ledakan gunung Vesuvius yang dahsyat, dan sekarang Ronald bilang ingin mengunjungi Atlantis.

Aku sangat berharap aku bisa terus bersama Ronald sampai nanti. Sampai Atlantis, sampai kemanapun dia mau. Aku sangat berharap aku tidak terbangun.

“Hei…” Ronald menggenggam tanganku yang sekarang memeluknya dari belakang. Air sepinggang Ronald tingginya sampai ke bawah rusukku. “Ada apa?”

Aku semakin memeluknya erat. “Ron,” aku mendongak, bertemu pandang dengan wajah yang juga mengamatiku. “Berjanjilah kalau aku akan selalu ikut denganmu.”

Ron tertawa. “Aku akan senang kamu ikut,” dia melepas tanganku. Sekarang kami berhadapan. “Tapi Atlantis adalah pemberhentian terakhir kita –kamu.”

Aku menggigit bibir menahan tangis. “Kamu dengan kurangajarnya muncul, mengajakku pergi kemana-mana, tapi kemudian menghempaskanku begitu saja?!”

BROOOONG!

Kapten sudah sampai. Ronald menarikku menuju tangga yang sudah kapten ulurkan. Dia membantuku menaikinya dan memastikan aku sampai di dek dengan aman.

“Kapten, jalan!”

Laki-laki tua berjenggot putih itu melambaikan tangan ceria. Setelah memastikan kapalnya jalan dengan tenang, dia duduk di kursi kesayangannya dan tidur.

Mau hidup, mau sudah tidak hidup, sama saja.

“Liz,” panggil Ronald ketika horizon sudah terbentang di hadapan kami. Betul-betul hanya laut saja, kanan kiri depan belakang tidak ada penanda sampai dimana dan ada dimana kami.

Aku masih ingin mengacuhkan Ronald, tapi gagal. Ronald melepaskan peganganku pada pinggiran dek dan memaksaku menatap matanya. “Hei, kamu marah padaku?”

Aku masih diam, tapi aku juga masih menatap matanya. “Liizz!”

“DIAM!” Seruku. Ronald terkekeh.

“Kamu ingat, kan? Aku punya janji kalau aku bakal ajak kamu keliling dunia, kemanapun aku mau.”

Suara kapal membelah laut yang jadi pengiring kami saat ini.

“Sekarang aku sudah bisa, makanya aku mau ajak kamu. Aku tentu saja senang kalau kamu masih bisa ikut sampai nanti. Tapi aku tidak tahu, apakah kamu…”

Ronald tidak meneruskan kata-katanya. Aku menghambur ke pelukannya. Akan canggung kalau tiba-tiba aku bersikap begini, tapi Ronald juga merengkuhku erat. Canggungnya hilang, diganti canggung yang lain.

“Oh, Gosh! Aku sangat merindukanmu,” bisiknya di telingaku. Oh, Ronald tidak canggung, hanya aku yang terlalu takut kalau detak jantungku terasa sampai tubuh Ronald.

“Makanya bawa aku!”

“Well,” Ronald melepaskan pelukannya, mempelajari wajahku.

Aku dan Ronald memang teman sejak kecil, sahabat dekat, kemana-mana selalu bersama. Aku sudah kenyang dengan tingkah konyolnya, dan dia sudah hapal dengan semua dramaku.

Tapi kami yang bersikap seperti ini pada satu sama lain?

Jari Ronald menelusuri pipiku. Aku tahu, Ronald juga tidak ingin aku cepat kembali. “Ronald,” aku memanggil namanya, mencoba menyadarkannya ketika wajah sayunya mendekat. Sekarang dia sudah sadar, dan hampir menarik diri. Namun justru aku yang mendekat dengan cepat dan menyatukan bibir kami.

Aku selalu membayangkan –di awal pubertasku yang lebih dulu daripada dia, seperti apa rasanya? Akan seperti apa aku dan Ronald?

Tapi di ujung dua puluh tahun kami, aku menemukan jawabannya.

Rasanya dingin, apalagi Ronald masih terkejut. Tapi tiba-tiba semuanya mencair. Ronald menarikku lebih dalam ke pelukannya, bibirnya menyambut bibirku, menerimaku.

Lalu semuanya jelas.

“Aku tidak akan kembali.” Kataku ketika kami melepaskan tautan kami. Ronald menatapku tajam. “Liz…”

“Ketika kamu muncul, kamu tahu apa yang aku lakukan sebelum tidur?”

Ronald membulatkan mata.

“Menurutmu kenapa aku tidak bangun selama ini?”

“Liz!”

“Aku tidak akan kembali, Ron. Aku akan pergi denganmu, sampai kemanapun, sampai ke ujung dunia, sampai ke ujung waktu.”

-------------------------------------------------------------------------------
pernah di posting di medium dengan judul yang sama.
-------------------------------------------------------------------------------

Comments