![]() |
Photo by Tom Gainor on Unsplash |
Terbangun dari tidur panjang, aku memandangi sekitar yang sama sekali asing bagiku. Aku berada di ruangan kosong, berwarna hitam, hanya 4 dinding yang mengelilingiku –oh, dan lantai yang mencuat, tempatku duduk sekarang.
“Aku tertidur sambil duduk...?”
Aku betul-betul tidak ingat apa yang terjadi sampai aku berada di sini.
Suhu ruangan ini cukup rendah. Pakaianku yang hanya berupa kain berbentuk gaun sederhana tidak cukup mampu menahan hawa dingin dan perasaan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya.
“Apakah ini...”
Sendirian?
Kesepian?
Suasana benar-benar sunyi, aku tidak mendengar apapun. Di sini yang aku bisa lakukan hanya memandangi dinding kosong. Aku sudah hampir melamun ketika ada seseorang menepuk bahuku. “Halo!”
Aku menatapnya bingung. Aku tidak mengenalnya, siapa dia?
“Kamu tidak ingat? Kita bertemu di depan tadi.” Matanya menghilang dibalik senyum, pipinya menggemaskan. Aku semakin tidak mengerti. Bertemu? Di depan? Ada pintu keluar?
Kemudian dia merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa permen, manisan, dan coklat dalam genggamannya. Aku meraih satu. “Terima kasih.”
Laki-laki seumuranku itu masih tersenyum, “sama-sama.”
Kemudian kami duduk berdua menghadap tembok. Aku tidak bicara apapun dengannya, dia juga tidak bertanya apapun. Tapi aku merasa lebih baik.
“Kenapa kamu ke sini?”
Aku menoleh pada asal suara. Dia menatapku lamat-lamat. Aku menggeleng. “Aku tidak tahu, begitu terbangun aku sudah berada di sini.”
Dia mengangguk-ngangguk sambil menurunkan bibirnya sedikit. Khas, aku suka bagaimana wajahnya menampilkan berbagai macam ekspresi. “Kamu butuh sesuatu?”
Aku berpikir sebentar sebelum menggeleng. “Aku belum merasa membutuhkan sesuatu.”
“Oh, ya sudah.”
Lalu kami kembali dalam hening. Betulan, tidak ada suara lagi meskipun kali ini sudah ada dua orang di dalam ruangan. Anehnya aku merasa nyaman, aman, dan perasaan yang pertama kali kurasakan tadi hilang.
Sendirian,
Kesepian,
Dan ketakutan.
Tiba-tiba aku ingin menangis. Aku merasa beban yang sebelumnya aku rasakan –sebelum aku terbangun di ruangan ini, langsung menyerbu. Seperti tugas yang terlambat, seperti janji yang akhirnya tetap harus ditepati.
Kali ini aku betulan menangis, aku terisak. Padahal aku hanya menatap dinding? Bicara pada orang yang disampingku saja tidak?
Laki-laki itu mengulurkan sapu tangan, aku gunakan untuk mengusap air mata di wajahku.
“Seka juga yang itu,” kekehnya sambil menunjuk hidungku yang sudah seperti air terjun. Aku melotot menatapnya. “Kenapa? Aku tidak keberatan. Aku juga seperti itu kok kalau menangis, dan rasanya tidak nyaman.” Tambahnya.
Aku masih diam, sesenggukkan, menunduk memandangi sapu tangan sambil ragu-ragu.
“Aku tidak akan pergi atau memejamkan mata. Aku bukan orang baik, tapi aku tahu kamu tidak akan menolak untuk dua kali jadi... buang ingusmu.” Dia masih tersenyum,
“sekarang.” Lalu wajahnya berubah serius.
Aku cepat-cepat mengikuti kata-katanya karena betulan –hidungku sudah seperti Niagara.
“Nah, begitu dong,” tangannya mengusap-usap rambutku sekarang. “Pintar!”
Aku masih mencerna apa yang terjadi.
Aku menangis dan membuang ingus di depan orang asing. Wow...
“Sudah merasa baikan?” Tanyanya. Aku mengangguk. “Serius? Hidung? Perasaanmu? Semuanya?”
Lagi-lagi aku melotot karena dia bertanya tentang hidung. “Hehe, bercanda. Tapi aku betulan mau tahu. Kamu sudah tidak apa-apa?”
Aku terdiam, mencoba merasakan bagaimana sekarang keadaanku. Anehnya, setelah dibawa melihat tembok, menangis, berinteraksi dengan orang asing ini, dan membuang ingus, aku merasa jauh lebih baik. Bahkan jauh lebih baik dari ketika aku terbangun pertama kali disini.
“Kalau kamu butuh sesuatu, kamu bisa kembali ke sini.”
Aku memandanginya antusias. “Bagaimana caranya?”
Dia mengerutkan kening, matanya melihat ke arah lain menandakan kalau dia berpikir. “Seperti... caramu tadi kesini?”
“Aku bahkan tidak tahu bagaimana dan kenapa aku ada di sini.”
Dia mengusap dagu.
Oh, Tuhan, dia siapa sih? Malaikat? Kenapa lucu sekali seperti anak anjing?
Aku ingin memukul kepalaku karena sudah berpikiran yang tidak-tidak di situasi aneh macam sekarang.
“Yah, kalau kamu sudah butuh, kamu pasti bisa kok datang ke sini,” aku mengikuti arah pandangnya yang dari tadi fokus ke tanganku, tapi kemudian dia kembali menatap mataku. “Kita juga bisa bertemu lagi lain waktu.”
Kemudian dia bangkit berdiri, menepuk pakaiannya –kemeja yang dimasukkan ke celana yang sepertinya kainnya sama denganku. “Kamu mau pergi?”
“Bukan, tapi kita.” Dia mengulurkan tangannya. Kepalanya ia goyangkan sedikit. “Ayo.”
Tapi aku belum ingin pergi, aku masih ingin disini, di ruangan ini, bersamanya.
“Percayalah, kita masih bisa bertemu lagi, kamu masih bisa ke sini lagi.”
“Kamu akan selalu ada di sini?”
“Hmm...”
Tidak ada jawaban. Hanya tangannya yang masih menggantung, menunggu.
“Aku tidak yakin, tapi percayalah. Kita pasti bertemu lagi.” Dia makin mendekat, tangannya sudah tepat di depan wajahku. Kali ini aku mengangkat tanganku ragu-ragu.
“Ada pintu keluar?” Tanyaku memutar kepala, mencari celah.
“Oh! Cepatlah!” Serunya mulai kesal. Haha, lucu.
Akhirnya aku menggengam tangannya dan menjadikannya tumpuan untuk berdiri. Dia tersenyum, mengeratkan tangannya, lalu aku terbangun.
Benar-benar terbangun.
Kali ini aku tahu aku ada dimana. Baunya, interiornya, dan seseorang yang mengutak-atik infus di sampingku.
“Oh, sudah bangun?” Tanya perempuan muda itu ramah. “Kakakmu sudah melewati masa kritis, tapi masih perlu istirahat. Ada di ruangan sebelah.”
Aku mau bangkit tapi masih sedikit pusing. “Kenapa saya juga di sini, suster?”
“Tenang, kamu hanya kelelahan dan stres, kamu akan baik-baik saja setelah cairan ini habis.” Suster menunjuk infusku yang baru dipasang. “Ini yang kedua.”
Aku menelan ludah. Berapa biayanya?
“Kamu istirahat saja, jangan khawatirkan kakakmu dia sudah baik-baik saja, dan –oh! Jangan lupa makan! Nanti akan ada perawat lain yang akan membawakanmu makanan. Lalu...” Suster meraih sesuatu dari meja di samping kasurku. “Ada yang memberimu ini tadi ketika kamu belum sadar. Ini akan membantu.”
Suster meletakkan sehelai kain dengan berbagai manisan, permen, dan cokelat di atasnya. Aku tertegun.
“Siapa...?”
“Anak laki-laki yang menunggu denganmu di depan. Aku sempat lihat kalian tadi ketika kamu masih histeris.” Suster itu mencatat sesuatu di kertas di atas papannya.
Aku mengamati sapu tangan itu, jelas sangat tidak asing. Sapu tangan yang... ah, ingus.
Lalu permen-permen ini...
“Suster, dia masih ada di depan?”
“Hm? Kurasa tidak. Aku habis dari luar tapi tidak bertemu siapa-siapa.”
Aku menghela napas kecewa. Aku ingin bertemu dengannya, apakah dia orang yang sama yang kutemui di ruangan kosong itu?
Dan, hei, aku mulai melupakan wajahnya.
Tapi aku benar-benar merasa baikan sekarang. Aku mencomot salah satu cokelat dan mengulumnya. Manis.
“Aku tinggal dulu, kalau ada apa-apa kamu bisa memanggilku. Junho sudah bilang pokoknya apapun untuk kalian berdua.” Kata suster, lalu pergi dari ruangan.
Aku sangat merasa lebih baik. Apalagi kalau nantinya aku bisa masuk ke ruangan itu lagi, dan bertemu dengan anak laki-laki misterius itu lagi.
--------------------------------------------------------
prekuel dari Around the Amazing You
--------------------------------------------------------
Comments
Post a Comment