Leaving

Aku mengamati pemuda di depanku yang masih sibuk mencari sesuatu di semua saku yang ada pada pakaiannya. Tak dipedulikannya kesibukan khas airport di sekitar. Di bahunya terpasang ransel yang cukup berisi dan terlihat tidak ringan. Di sampingnya berdiri koper yang isinya cukup untuk memenuhi kebutuhannya beberapa minggu ke depan.

"Ck, aku yakin aku sudah menyiapkannya tadi malam," katanya.

"Mencari apa sih? Ponsel? Paspor?" ujarku tak sabaran. Melangkah mendekat untuk membantunya.

"Oh iya! Dimana paspor ku?" Tanyanya pada dirinya sendiri. Tuh kan, selalu saja begini.

"Ish! Berikan ranselmu!" Ujarku kemudian tanpa menunggu tangannya yang memberikan, aku segera mengaduk-ngaduk isi ransel yang masih menggantung di punggungnya.

"Kamu ini! Sesuatu yang penting seperti paspor letakkan di tempat yang mudah kamu jangkau. Kalau perlu, letakkan dekat ponselmu biar nggak kelupaan dan selalu kamu bawa-bawa di tangan." Aku menyerocos tak jelas, sambil masih mencari di ranselnya. Ketemu.

"Nih!" Aku menyerahkan paspor ke arahnya.

"Oo... Mei memang hebat!" Katanya, tersenyum menggodaku. "Tapi ranselku jadi berantakan! Dasar Mei!" ujarnya lagi sambil menurunkan ranselnya, membenahi isinya yang sebenarnya sudah berantakan dari tadi.

"Enak saja! Dari awal sudah seperti itu, tahu! Dasar!" Ujarku bertahan diri, tidak terima. Pria di depanku hanya tertawa kecil, kemudian sibuk dengan isi tasnya.

Aku berbalik. Tak ingin Kun mengetahui kalau sedari tadi aku menahan agar air mataku tidak jatuh. Sebelumnya, aku tidak mengerti orang-orang yang sedih atau menangis di stasiun, bandara, atau terminal. Apa yang mereka takutkan? Putus kontak dengan orang-orang yang mereka sayangi? 

Hm... pernah dengar telekomunikasi? Itu lho, teknologi yang membantu kita untuk berkomunikasi pada jarak jauh. Caranya gampang kok. Gunakan ponsel saja, bisa untuk menelepon, chatting, atau bahkan video call untuk komunikasi real time dengan internet jaman sekarang yang sudah mulai mengaplikasikan teknologi broadband network. Belum lagi 5G yang saat ini digadang-gadang sebagai yang tercepat dan terbaik performansinya, melebihi LTE. Juga ada media sosial yang memudahkan untuk stalking tanpa harus terlihat meminta kabar. Ada banyak kok caranya.

Setidaknya itu yang aku pikirkan kemarin-kemarin.

Tapi tidak sekarang.

Aku sudah terbiasa dengan keberadaan Kun, teman dari kami baru lahir hingga saat ini, yang selalu bersamaku. Bisa dibilang kami tidak pernah terpisahkan. Bahkan, tanpa broadband, ponsel, atau apalah itu kami masih dapat berkomunikasi dengan baik. Aku yang pada dasarnya tidak terlalu gemar memainkan ponsel dan Kun yang rumahnya bersebelahan dengan rumah kami, dengan jendela kamar yang saling berhadapan membuat kami mampu menghiraukan teknologi yang termutakhir sekalipun. Bahkan sampai sekarang, kami satu kelas dan masih tidak punya nomor ponsel atau id SNS satu sama lain.

Kami lebih suka bertemu langsung.

Mendengar suara jernihnya, menatap matanya ketika kami saling berbicara, melihatnya tersenyum, merasakan wangi khas Kun, itu sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh apapun.

Aku takut kehilangannya.

Dan aku takut karena ini perpisahan pertamaku dengan Kun, seseorang yang tidak pernah aku bayangkan akan pergi sejauh ini. Aku menggigit bibir. Tidak, aku tidak akan menangis di depannya. Dan aku tidak akan membuat hari ini jadi pertama kalinya aku menangis didepannya.

"Mei?" Suara Kun membawaku kembali di keramaian lalu-lalang bandara. Aku bisa merasakan presensinya dibalik punggungku. Aku menarik napas.

"Hm? Ada apa?" Pipiku terasa sakit karena memaksakan ekspresi datar. Ia mengangsurkan secarik kertas. Aku menerimanya. Apa ini?

"Itu nomorku, alamat yang mungkin bisa kamu hubungi waktu aku disana, dan semua ID SNS ku," katanya sambil menunjuk-nunjuk tulisan tangannya diatas kertas itu. Aku menatap matanya.

"Ini yang dari tadi kamu cari-cari?" tanyaku. Bisa kudengar suaraku sedikit tertahan.

Kun tersenyum sambil mengangguk. Lihatlah, apa aku tidak akan bisa memandang dirinya dengan segala kepolosannya lagi?

Aku menunduk menatap benda ditanganku yang mulai kabur. Hei tunggu...

tuk...

Setitik air membasahi kertas itu, membuat angka terakhir dari nomornya sedikit luntur. Aku mengusap wajahku. sial.

"MEI!" Kun mendekat. Tidak, jangan mendekat.

"Mei," tangannya sekarang sudah berada di pipiku, mencoba mengangkat wajahku agar sejajar dengan wajahnya. Aku benci melihatnya masih berbinar-binar. Apa hanya aku yang sedih disini?

"Ini hanya dua bulan, aku berjanji akan kembali lagi. Lagipula ini hanya Korea, dekat kan?" Ia tersenyum. Aku masih tidak mampu mengatakan apapun.

"Tunggulah sebentar, aku akan jadi seperti Jay Chou dan Kim Jongdae kesayanganmu itu." Matanya menyipit ketika ia tertawa kecil. 

Tidak, aku ingin kamu menjadi Kun saja seperti kemarin, jangan tinggalkan aku.

"Aku akan berada di panggung yang sama dengannya, kamu harus melihatnya," katanya sambil mengusap air mata yang dengan kurang-ajarnya kembali mengalir di pipiku.

"Jangan nangis Mei, kalau kamu nangis, aku nggak akan bisa pergi," katanya lagi. Aku melepaskan tangannya, menghapus sisa air mataku.

"Pintar," Kun menepuk puncak kepalaku lalu mengecup pelan keningku.

"Hubungi aku selama disana ya," ia mengacak poniku. "Ah, mengingat sifatmu yang menyebalkan itu, sepertinya aku yang bakal menghubungimu duluan," katanya sambil tersenyum kecut. Aku tertawa. Dalam hati aku berjanji akan menghubunginya setiap hari.

---

Tanpa terasa, sudah saatnya Kun pergi. Pesawatnya akan segera take-off. Kun menghela napas, dirasakan ia berat juga meninggalkan tanah kelahirannya, pergi jauh demi mimpinya ke Korea. Mimpi sedari kecil Kun yang menjadi seorang seniman suara, dengan Mei yang semakin membesarkan dan membuatnya tumbuh.

Kun pergi tidak hanya memenuhi mimpinya sendiri, tapi juga demi Mei. Seseorang yang paling bahagia melihatnya menyanyi. Seseorang yang berharga untuk Kun.

"Sampai jumpa Mei Mei tukang marah." Kata Kun, mengacak rambut Mei untuk yang terakhir kali.

"Take care Kun kacau balau." Mei menyentil dahi Kun pelan. Kun tersenyum, kemudian berbalik. Melangkah semakin jauh, pergi meninggalkan Mei.

Tapi entah apa yang ada di kepala Mei sekarang, tapi gadis itu berlari. Berlari, sampai ia dapat menemukan Kun.

"KUN!" Teriaknya, kemudian menerjang masuk ke pelukan laki-laki itu. Tak dipedulikannya napasnya yang terengah-engah. Sekarang ia hanya diam, meletakkan kepalanya di dada Kun. Mendengarkan detak jantung Kun yang perlahan semakin cepat.

"Aku pasti akan merindukanmu, tapi jangan khawatirkan aku. Aku akan menunggumu ketika kamu pulang, aku juga akan menunggumu sampai kamu bersinar diatas panggung impianmu. Berjanjilah satu hal : kamu nggak akan menyerah karena ini mimpi kita berdua." Ujar Mei cepat.

Pemuda itu terpaku. Kun tidak dapat menggerakkan tubuhnya sekarang. Entah karena ia terkejut oleh Mei yang baru kali ini bersikap seperti ini, atau terlalu senang karena akhirnya Mei jujur terhadap perasaan kepadanya. Kun mendorong Mei hingga pelukannya terlepas. Gadis itu terkejut, menatap manik mata Kun tajam, sebelum akhirnya Kun memangkas jarak diantara mereka berdua. Kun mengecup bibir Mei. Wajahnya hanya beberapa inchi dari Mei, sedangkan napasnya menyapu pipi Mei.

Gadis itu semakin terkejut dengan perlakuan Kun, namun perlahan larut di dalamnya. Mereka terpaksa menghentikannya karena notice keberangkatan Kun mulai menggema di bandara itu.

Kun tersenyum menatap Mei yang merona. "Tunggu aku," katanya pendek. Mei mengangguk.

"Wo ai ni,"

-------------------------
pernah di post di wattpad
-------------------------

Comments