Aku mengarahkan lensa, membidik, kemudian dengan jelas aku pampang senyum puas di wajahku. Dia hanya tersenyum, kemudian tertawa.
"Lama-lama aku akan meminta bayaran."
Mendengar kata-katanya aku ikut tertawa. Dia melanjutkan aktivitasnya. Kamera yang masih kugenggam, segera aku posisikan kembali. Dapat.
"Choi Minki." Ujarnya, kembali tertawa.
"Kamu juga sadar kamera sekali sih."
Dia mengangkat bahu, kemudian menyentil dahiku pelan demi menanggapi pernyataanku. Kemudian dia berbalik, kembali fokus pada yang ia lakukan tadi. Aku menscroll citra yang berhasil aku tangkap. Bunga di depan, jalan menuju kesini, Dongho dan aku yang sedang bertingkah konyol (diabadikan olehnya), tapi kebanyakan adalah dirinya.
Tanpa ia sadari, aku kembali mencuri beberapa pose darinya.
"Hei." Panggilku. Ia menoleh. Dapat.
Kemudian ia merengut, lalu tersenyum lagi. Dapat lagi.
Ekspresinya... Aku menyukainya saat dia menatapku. Yah, aku tahu tatapannya pada Dongho adalah nomor satu, tapi aku tidak menyukainya. Favoritku adalah ketika hazelnya menyapaku. Tersenyum, marah, kesal, sedih, menahan tangis, bingung, terkejut, bengong, tertawa, lapar, mengantuk, lelah, semuanya.
Guratan-guratannya, semuanya.
Ia cantik.
Entah kenapa ada sesuatu yang tertahan diantara kami. Jelas, kami mengetahuinya. Tapi fakta bahwa ia bisa melalui semua ini dengan baik adalah salah satu alasan untukku agar tidak merusak kebahagiannya, alasan yang lebih dari cukup.
"Hei."
Aku mencoba menarik atensinya lagi. Paras bersisa fokusnya bertumbuk dengan wajah bertopeng kameraku. Dapat. Bahkan, yang menurutmu hanya begitu saja, terasa sangat indah untukku.
"Kalau kamu hanya memanggil-manggil tidak jelas aku akan minta tolong Dongho atau Minhyun saja."
Dengan segera aku meletakkan kotak ajaib di meja, dan berlari kecil menghampirinya. Dia menatapku sedikit kesal -pipinya menggembung kecil.
Hentikan, tidakkah kau tahu aku menahan diri untuk tidak mencubitmu? Sangat?
Dengan sedikit kaku aku mengikuti apa yang ia kerjakan. Sesekali ia mengulangi instruksinya yang menurutku terlalu cepat. Kadang dia memujiku, tapi tidak sulit juga untuk menemukannya sebal karena aku tidak becus.
Aku tersenyum dalam hati.
Gemas, menggemaskan. Aku ingin mengusap pipinya atau mengusak rambutnya atau menggenggam erat bahunya ketika dia merengut. Tapi aku tidak bisa melakukannya ketika dia sedang mengatakan serentetan narasi tentang bagaimana anak-SD-jaman-sekarang-saja-bisa-melakukannya-dengan-baik, bukan?
Kalau saja ada kamera di tanganku, sudah pasti aku akan menangkapnya, memasukkannya dalam bingkai paling bagus dan akan kutatap kalau aku sedang bosan. Tapi tidak, aku lebih memilih untuk memandangnya sampai habis dengan kedua mataku. Dengan kamera termutakhir, yang tidak akan bisa kau cari baik tandingan maupun spare partnya.
Foto berbingkai bisa saja habis dimakan waktu, rayap, atau apapun kamu menyebutnya. Tapi memandangnya seperti sekarang, mendengar suaranya, menghapal aroma khasnya, dan merasakan sentuhan kecil tidak sengaja yang membuatnya berjengit malu -sekuat apapun dia menutupi, aku yakin dia sedikit canggung, sampai aku matipun rasanya tidak akan musnah dari kepalaku.
Kalau aku mau aku bisa memutar memori itu dimana pun dan kapanpun. Saat menunggu kereta, saat mengantuk mendengar ocehan client, saat melihatnya sedang menyeduh kopi untuk Dongho.
Memikirkannya membuatku sedikit terhibur, aku rasa dengan keadaan seperti ini aku cukup bahagia.
Mungkin aku sudah terlalu lebar tersenyum karena saat ini, pipiku seperti tertarik dan bibirku mulai sakit. Ditambah, matanya melebar menatapku dengan sedikit horor.
"Kamu mengerti kata-kataku tadi kan?"
"Eh? Apa?"
"CHOI MINKI!"
Dia memajukan dirinya, mulai memukul tubuhku dimanapun ia dapat. Tenang kawan, aku tidak mudah kalah. Tubuhnya yang mungil masih gampang kutangkis.
"Sedang apa?" Tanya sebuah suara dari balik tubuhku.
Ia sahabat baikku, tapi saat ini aku sedikit... sedikit, hanya secuil... berharap jika ia tidak ada disini sekarang, mungkin bisa muncul lebih nanti lagi.
"Minki nakal." Dia merengek, lalu berlari kecil, menggelayutkan lengannya pada suaminya.
Dongho menuju ke arahku, lalu mengusap rambutku pelan. "Anak baik, kamu tahu aku selalu disisimu, kan?"
Dongho mengedip, yang segera kubalas dengan semburan kata gila yang jangan harap kutulis disini. Tapi kemudian aku mengacungkan jempolku. Perempuan itu membulatkan matanya, menatap Dongho tidak percaya, lalu berjalan mendahului kami masuk ke dalam. Bibirnya manyun.
Dongho tertawa. Menyusul istrinya, Dongho berusaha membujuk istrinya yang merajuk, menarik pinggangnya dan mencium pipinya.
Nice Shoot!
Aku tahu dia paling tidak bisa jika Dongho sudah begitu, dan sekarang mereka sudah berpelukan, dengan Dongho yang mengacak kepalanya. Dia tertawa.
Bukan tawa yang kusukai.
Tapi, mau bagaimanapun, dia tetap yang terindah untukku.
-------------------------------------------------
Sudah menganggur kurang lebih lima tahun di draft wattpad hehe
-------------------------------------------------
Comments
Post a Comment